Sabtu, 29 Juni 2013

Jika Satrio Piningit Muncul

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

JIKA SATRIO PININGIT MUNCUL

أَلَمْ تَرَ‌ إِلَى الْمَلَإِ مِن بَنِي إِسْرَ‌ائِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ 

أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ وَقَدْ أُخْرِ‌جْنَا مِن دِيَارِ‌نَا وَأَبْنَائِنَا ۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ 

بِالظَّالِمِينَ 

 وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّـهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ 

اللَّـهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّـهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah 2: 246-247)


   Salah satu hikmah mengapa Al Qur'an banyak sekali menceritakan kisah- kisah umat terdahulu adalah supaya kita bisa mengambil pelajaran untuk menghadapi masa kini maupun masa depan kita. Tidak dipungkiri bahwa sejarah selalu terulang, meskipun tidak sama persis. Tapi bisa dikatakan skenarionya tidak jauh berbeda.
   Demikian pula kisah di atas. Kebetulan saya mempunyai kesempatan berinteraksi dengan kaum muslim dari beberapa negara, India, Pakistan, Syiria, dan beberapa lagi. Bagi mereka yang peduli dengan kondisi umat Islam di dunia saat ini, ada beberapa hal yang sama yang muncul setiap ngobrol dengan tiap- tiap orang. Dan jika saya cermati, maka point- pointnya tidak jauh berbeda dengan kisah di atas.

Umat Islam sekarang ini dalam kondisi lemah.
   Kekacauan- kekacauan yang terjadi di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tak lepas dari campur tangan negara- negara kafir yang tidak menyukai Islam. Bahkan jika kita tengok di dalam negeri, setiap ada konflik antar agama, maka pertama kali yang ditunjuk sebagai tersangka adalah pihak Muslim. Begitu juga ketika ada kasus teror atau pengeboman, segera pihak- pihak yang tidak menyukai Islam menunjuk ke pihak Muslim. Ini membuktikan bahwa posisi umat Islam saat ini sangat lemah sehingga dengan mudahnya menjadi bulan- bulanan pihak kafir.
   Maka tidaklah berlebihan jika kisah di atas bisa disamakan dengan kondisi Umat Islam sekarang ini. Pada kisah di atas ketidakberdayaan Bani Israil tercermin dalam kalimat: Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?".

Umat Islam menginginkan persatuan antar Muslim sedunia di bawah satu komando.
   Orang- orang yang sempat berdikusi dengan saya selalu melontarkan hal yang sama, bahwa saat ini umat Islam lemah karena tidak adanya persatuan antara sesama Muslim sendiri. Mereka yakin bahwa jika Umat Islam sedunia bisa bersatu, maka tidak akan ada yang berani macam- macam dengan Umat Islam, baik secara individu maupun dalam skala negara.
   Jika kita simak keyakinan mereka ini, maka ini sungguh cocok dengan keyakinan pemuka- pemuka Bani Israil itu. Hasil analisa mereka menyatakan bahwa kelemahan mereka disebabkan mereka tidak mempunyai pemimpin yang kompeten untuk memimpin mereka. Mereka yakin jika mereka mempunyai raja yang kompeten, maka mereka akan bisa mengalahkan musuh yang menindas mereka. Maka dari itu, mereka meminta kepada nabi mereka supaya dipilihkan seorang raja yang mampu mempersatukan mereka, dan memimpin mereka dalam menghadapi penindas.

* * * * *

   Jika memang kondisinya sudah sama, maka mari kita coba mengambil pelajaran dari kisah di atas untuk menghadapi kondisi sekarang dan masa depan kita.

Pemimpin tidak harus yang populer atau berkedudukan tinggi (kaya).
   Nabi mereka mengangkat Thalut atas kehendak Allah untuk menjadi pemimpin mereka. Di mata mereka, Thalut bukanlah siapa- siapa. Dia hanya seorang miskin dan bukan berasal dari keluarga terhormat. Namun, syarat untuk menjadi pemimpin bukanlah itu, tapi pemimpin hendaknya mempunyai ilmu yang luas dan karena dia juga merangkap menjadi panglima perang, maka diapun disyaratkan mempunyai fisik yang kuat, meskipun bukan yang terkuat. 
  Maka, sangat mungkin salah jika kita memilih pemimpin hanya karena kepopulerannya, hanya karena kekayaannya, atau karena dia berasal dari keluarga yang terhormat. Apalagi hanya karena sebelum memilih mendapat amplop.... Pemimpin se,acam itu, yang tidak punya kemampuan memadai, tidak akan sanggup mengentaskan umatnya dari krisis, bahkan mungkin semakin menenggelamkan.

Tidak mundur jika pemimpin memberi perintah.
   Kewajiban dari bawahan adalah mematuhi pimpinan. Ini paten, di manapun, baik di pemerintahan, kemiliteran, atau di tempat kerja. Pengecualian hanya jika pemimpin menyuruh berbuat maksiat. Tapi apa yang terjadi dalam kisah di atas? Banyak yang mundur ketika pemimpin mereka memerintahkan sesuatu yang berat, dalam hal ini berperang. Padahal mereka sendirilah yang meminta dipilihkan pemimpin untuk berperang. Maka orang- orang semacam ini diberi stempel zhalim oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . 
* * * * *

   Di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, kita sudah akrab dengan istilah Satrio Piningit. Dia diyakini akan mampu memimpin umatnya untuk bangkit dan membawa kejayaan. Jika kita kaitkan dengan kondisi Umat Islam saat ini yang sedang mencari pemimpin, rasanya istilah Satrio Piningit ini bisa kita gunakan untuk menjuluki pemimpin kita nanti. Tapi sebelumnya kita jauhkan embel- embel suku, ras, bangsa, dan sebagainya, karena kelak kepemimpinannya bersifat global, tidak hanya di suatu area yang sempit saja.
   Hanya saja yang jadi pertanyaan, sudah siapkah kita mengikuti (sendika dhawuh/ sami'na wa'atho'na) kepada Sang Satrio Piningit kelak? Jangan- jangan ketika pemimpin yang tadinya kita harap- harapkan benar- benar datang, kita malah mengingkarinya. Maka dari itu, kita harus menyiapkan diri kita sendiri, keluarga, dan siapa saja yang mampu kita ajak untuk bersiap- siap jika waktunya datang. Saya sangat meyakini bahwa hal ini pada saatnya akan terjadi. Maka yang harus kita persiapkan adalah:

  1. Mengenali kriteria pemimpin yang kompeten dengan jabatannya. Jelas nantinya akan banyak calon pemimpin yang muncul. Maka kuncinya adalah jika sang pemimpin menyandarkan segala permasalahan kepada Al Qur'an dan Sunah (QS 4: 59), maka dialah pemimpin yang wajib kita ikuti. Jangan sampai kita salah dalam menyikapi, ketika muncul pemimpin yang haq kita tidak mengikutinya, atau sebaliknya saat ada pemimpin yang mengusung sistem dajjal kita malah tertipu dan mengikutinya.
  2.  Patuh dan taat kepada pemimpin yang haq meskipun berat. Kita harus menyiapkan mental kita untuk menaati perintah pemimpin. Ini sangat berat, makanya kita harus bersiap sejak dini. Dan batas untuk ditaatinya jelas, yaitu tidak menyuruh kepada maksiat. Jangan sampai stempel zhalim dari  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menempel pada kita.
   Namun seperti kisah yang tertulis di awal tulisan, maka kelak yang terjadi adalah banyak Umat Islam yang tidak mengikuti pemimpin ini. Dan hanya sedikit saja yang mau mengikutinya. Ini yang saya yakini sebagai sejarah akan terulang kembali. Tapi sedikitnya jumlah Umat Islam yang mau bersatu tidak menghalangi untuk mencapai kejayaan. Karena barang siapa yang bersedia menaati pemimpinnya meskipun printahnya sangat berat, maka bisa diukur bahwa kualitasnya sangat tinggi. Ini yang dibuktikan oleh Bani Israil saat itu. Dengan jumlah yang sedikit mereka mampu mengalahkan tentara penindas yang dipimpin oleh Jalut, manusia yang sangat perkasa. Dan bahkan mampu menurunkan generasi yang sangat hebat, terbukti di kemudian hari muncul kerajaan yang tiada banding yang dipimpin oleh Sulaiman.

Allahu a'lam bishshawab.


Jumat, 28 Juni 2013

Kala Bersedekah Menjadi "Pesugihan"


بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

KALA BERSEDEKAH MENJADI "PESUGIHAN'

   Tentu kita, terutama yang berasal dari Suku Jawa, sudah akrab dengan istilah "pesugihan". Seseorang yang karena hidupnya sengsara dalam kemiskinannya, dan tidak kuat lagi menanggungnya, maka jalan pintas yang diambil adalah memelihara pesugihan. Banyak macam pesugihan, antara lain tuyul, babi ngepet, kandang bubrah, jaran pinoleh, sampai pada tokoh Nyi Blorong. Semua jenis pesugihan itu disyaratkan mempersembahkan tumbal, umumnya berupa jiwa, baik diri sendiri maupun orang lain. Semua sudah sepakat bahwa hal ini adalah sesat, dan semua juga meyakini bahwa setelah si pelaku pesugihan meninggal, maka arwahnya akan sengsara.
   Dari dahulu sampai sekarang, memang menjadi salah satu keinginan manusia untuk menjadi kaya. Sayangnya banyak orang yang menginginkannya secara instan. Tidak peduli halal atau haram, masuk akal atau tidak, mereka menginginkan menjadi kaya. Maka banyak orang yang justru memanfaatkan orang- orang semacam itu, misalkan orang yang mengklaim bahwa dia bisa melipatgandakan uang. Atau menyediakan semacam jimat atau mantra- mantra supaya rejeki lekas datang. Pada akhirnya tidak sedikit yang tertipu. Setelah menyerahkan uang yang cukup banyak, atau membayar tarif yang lumayan mahal, akhirnya kecele, uang hilang dan tidak dapat ganti.
   Banyak juga yang sadar bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan dosa, tapi toh tetap ingin kaya dengan cara instan. Lalu, akhirnya mereka mendapat alternatif yang bukan hanya tidak dosa tapi malah mendapat pahala (katanya) dan bisa membuat mereka kaya. Ditambah lagi sudah banyak yang membuktikan. Apa itu?
   Setiap kali saya pergi ke toko buku, banyak saya temukan buku yang mengulas cara mendapatkan rizqi dengan cara bersedekah. Silahkan anda cek ke toko buku manapun, ke bagian Agama Islam, niscaya anda akan menemukan bermacam- macam judul buku yang kira- kira temanya "Kedahsyatan Sedekah", atau "Dengan Sedekah Menjadi Kaya", dan semacamnya. Selain itu beberapa kali saya terlibat perbincangan dengan tema yang sama, entah sumbernya dari ceramah, membaca atau melihat video di internet.
   Apakah memang sedekah bisa membuat pelakunya menjadi kaya? Jawabannya jelas: YA.  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  sendiri yang menjamin. Ini tertuang salah satunya dalam Surat Al Baqarah ayat 276:

  يَمْحَقُ اللَّـهُ الرِّ‌بَا وَيُرْ‌بِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّـهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ‌ أَثِيمٍ

  Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al Baqarah 2: 276)

Dari ayat di atas bisa diartikan bahwa barang siapa yang bersedekah, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  akan menyuburkan/ menjadikan yang disedekahkan itu berlipat ganda. Jadi memang tidak salah bahwa dengan bersedekah maka dia akan mendapat balasan yang berlipat- lipat. Jadi apa dong permasalahannya?

 
Melipatgandakan uang.
   Yang jadi masalah adalah ketika orang yang bersedekah mengharapkan balasan yang lebih banyak (di dunia), atau sedekahnya sebagai jalan agar cita- cita atau keinginannya tercapai. Jelas ketika orang menginginkan dirinya kaya, berarti dia bersedekah untuk mendapat balasan yang lebih banyak, dan bisa dikatakan bukan karena Allah. Mari kita renungkan Al Qur'an Surat Al Muddatsir ayat 6 berikut:

  وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ‌
 
  dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.  

Nah, sudah jelas larangannya. Jika bermaksud untuk mendapat balasan yang lebih banyak, maka niat lillahi ta'ala-nya hilang. Tapi sudah banyak bukti bahwa dengan bersedekah orang- orang itu menjadi kaya, atau tercapai keinginannya, paling tidak mendapat ganti yang berlipat- lipat! Berarti diterima dong sedekahnya oleh  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى! Ya, tentu sedekah mereka tidak akan sia- sia begitu saja, baik lillahi ta'ala maupun bukan, tetap saja janji اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sudah tetap dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Tapi ada baiknya kita renungkan Al Qur'an Surat Asy Syura ayat 20 berikut:

 مَن كَانَ يُرِ‌يدُ حَرْ‌ثَ الْآخِرَ‌ةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْ‌ثِهِ ۖ وَمَن كَانَ يُرِ‌يدُ حَرْ‌ثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَ‌ةِ مِن نَّصِيبٍ

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (QS Asy Syura 42: 20)

Jelas sekarang bahwa memang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  memberi balasan kepada orang yang bersedekah karena menginginkan balasan di dunia, namun balasan itu hanya sebagian keuntungannya saja, bukan semuanya, sedangkan di akherat (pahala) ia tidak mendapat sama sekali. 
    Memang betul dengan bersedekah maka hidup akan lebih baik, tapi jika niatnya bukan lillahi ta'ala, maka tidak ada pahala baginya sedikitpun. Jangan sampai amal mulia kita justru menjadi seperti "ngingu pesugihan" atau upaya melipatgandakan uang. Bedanya yang ini tidak berdosa dan tanpa tumbal. Dan dari renungan di atas maka sedekah semacam ini tidak bisa dikatakan mendapat pahala. Sungguh sangat disayangkan jika nanti di akherat kita tidak mendapatkan balasan sedekah kita. Sedangkan bagi yang bersedekah dengan niat lillahi ta'ala, ikhlas, tanpa mengharap suatu balasan, maka untuknya balasan/ keuntungan di dunia dan di akherat. Mungkin saja kelihatannya dia tidak mendapat balasan di dunia, tapi siapa tahu balasannya nanti dibayar kontan di akherat.
   Ada kisah seseorang yang bersedekah dari hasil menjual HP bututnya kemudian merasa mendapat keuntungan/ balasan sampai miliaran rupiah, maka jika dia niatnya lillahi ta'ala, maka bisa kita bayangkan bahwa uang miliaran itu hanya sebagian saja, bagian yang lebih besar lagi masih akan diterima di akherat, betapa besarnya!  
   Namun satu lagi kaidah bersedekah supaya tidak hapus keuntungan kita di akherat, yaitu seperti yang tercantum dalam Al Qur'an Surat Al Insan ayat 9:

  إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِ‌يدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورً‌ا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. 

Jika mengharapkan ridha dari  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  maka mestinya kita tidak mengharap balasan, bahkan sekedar mengharap ucapan terima kasihpun akan membatalkan keridhaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .

Allahu a'lam bishshawab.