Rabu, 31 Juli 2013

"Ketidak Sempurnaan" Itu Adalah Kesempurnaan

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 "KETIDAK SEMPURNAAN" ITU ADALAH KESEMPURNAAN

   Seandainya baru pertama kali saya membaca Surat Maryam, niscaya pada awal- awal surat ini, saya berpikir ujung dari tiap ayat akan sama semua sampai akhir, yaitu '..yya' atau '...y-a' (Yaa sukun- Hamzah). Tentu saya berharap Surat Maryam ini akan seperti Surat An Naas atau Surat Asy Syams yang akhir ayatnya sama dari ayat pertama sampai terakhir, yaitu 'naas' pada Surat An Naas dan 'ha' pada Surat Asy Syams. Tentu harapan saya semakin besar karena setelah sekian banyak ayat yang saya baca dalam Surat Maryam ini terus menerus berakhir dengan bunyi 'yya' dan 'y-a' tadi, kecuali ayat pertama yang berisi huruf- huruf abjad (Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad). Namun ternyata pada ayat ke- 34 akhirannya berubah tidak lagi berbunyi 'yya' atau 'y-a'. Dan hanya berselang 7 ayat, kembali akhiran 'yya' muncul lagi dari ayat 41 sampai ayat 74, kemudian berubah lagi sampai akhir surat, yaitu ayat 98.
   Bagi saya yang tidak mengetahui seni sastra, terutama sastra Arab, dan hanya tahu bahwa keindahan Syair itu adalah ujung tiap- tiap barisnya seragam, maka tentu awalnya menyayangkan sekali perubahan bunyi dari tiap ayat dalam Surat Maryam tadi. Timbul dipikiran saya, kenapa ayat- ayat yang bunyi akhirannya beda digabung dengan ayat- ayat yang sangat panjang dan bunyi akhir tiap ayatnya sudah sama semua. Apalagi pada ayat 33 itu bisa dijadikan penutup tema cerita, dan ayat 41 pun sepertinya bukan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Kemudian Surat Maryam inipun bisa saja diakhiri di ayat 74, artinya ayat 34- 40 dan ayat 75- 98 dijadikan surat lain, atau digabung ke surat yang lain. Jika demikian "sempurna"lah Surat Maryam ini. Tapi, begitukah?
   Banyak orang, khususnya yang tidak menyukai Islam, suka mencari- cari kelemahan Islam. Salah satu yang mengganggu mereka adalah klaim bahwa Al Qur'an yang ada sekarang ini bukanlah seperti aslinya. Ada pula yang menyangsikan kebenaran penyusunan Al Qur'an yang dilakukan oleh Utsman r.a. Mereka menuduh bahwa dalam penyusunan Al Qur'an ini, Utsman melakukan kesalahan, tebukti ada Al Qur'an versi lain. Namun kenyataannya tuduhan mereka itu tanpa disertai bukti- bukti yang valid, hanya didasarkan kedengkian bahwa kitab suci yang mereka punyai tidak asli seperti Al Qur'an adanya.
   Surat Maryam adalah salah salah satu bukti bahwa Utsman r.a tidak menyusun Al Qur'an menurut keinginannya. Seandainya beliau dalam menyusun Al Qur'an memakai sedikit saja nafsunya, atau seleranya, niscaya beliau akan mencoba menyusun Al Qur'an itu seindah- indahnya seperti selera beliau. Namun karena beliau menyusun Al Qur'an seperti apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW, maka beliau tidak berani merubah- rubah susunan ayat dalam Al Qur'an, apalagi menambah atau mengurangi. Dan jika beliau menyusun Al Qur'an menurut selera beliau, pasti hasilnya tidak akan seindah aslinya, tidak sempurna! Itu hanya akan menjadi seperti syair- syair buatan manusia. Maka meskipun bunyi akhiran tiap ayatnya berbeda- beda, namun Al Qur'an tetap yang paling indah, dan sempurna. Maka dengan perbedaan yang tadinya saya sayangkan, ternyata itu merupakan cara اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjaga keontentikan Al Qur'an. Masyaa Allah.
   Dan seandainya Utsman r.a mencoba merubah Al Qur'an, maka pada saat itu masih banyak para sahabat yang dulunya langsung mendapat bimbingan dari Rasulullah SAW. Dan diantaranya ada Istri Rasulullah SAW yaitu Aisyah, dan sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, yaitu Ali r.a. Dan seperti kita ketahui bahwa sifat Ali r.a sangat tegas, tidak mungkin beliau membiarkan kemungkaran, atau pengkhianatan berada didepan beliau. Tentu Ali r.a lah yang pertama- tama memprotes jika Utsman r.a melakukan tindakan yang tidak sesuai denagn perintah Rasulullah SAW. Seandainya ada alasan bahwa tidak boleh menentang Khalifah, maka tentu Ali r.a bisa merevisi Al Qur'an pada saat beliau menjabat sebagai Khalifah. Namun kenyataannya beliau tidak meralat atau merevisi. Artinya Al Qur'an yang disusun oleh Utsman ini benar- benar seperti apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, persisi seperti yang diketahui oleh Ali r.a.

Allahu a'lam bishshawab.

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? (Asy Syu'araa' 224- 226)

Sabtu, 13 Juli 2013

Baiti Jannati

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

BAITI JANNATI
(SEKUEL DARI 'JANGAN NUNGGU NANTI DI AKHERAT')

   Baiti jannati, atau dalam Bahasa Indonesianya 'Rumahku Surgaku' adalah slogan yang sangat termasyur. Sering kita menemukan pembahasan dengan tema ini di berbagai ruang publik. Tema ini selalu dirangkai dengan pembahasan mengenai keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Pasti pembahasannya akan menjadi sangat indah, bahkan sering dibumbui romantisme dalam keluarga. Tapi di sini kita akan mengupas tema Baiti Jannati ini dari sisi lain secara singkat, yang mungkin tidak semenarik/ sesyahdu pembahasan- pembahasan yang biasa kita temui sebelumnya.
   Menjadikan rumah sendiri sebagai surga, tentulah merupakan keinginan kita semua. Ini karena surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Tapi apakah semua tempat yang berisi kenikmatan adalah surga? Belum tentu. Bisa jadi tempat itu hanya sebagai surga dunia yang lebih cocok diistilahkan sebagai tempat didapatkannya kesenangan dunia yang menipu. Maka disini, kita merefresh kembali makna dari surga itu.
   Seperti yang banyak disebut dalam Al Qur'an dan hadits- hadits, bahwa orang yang beriman dan beramal sholeh akan ditempatkan  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dalam surga. Atau dengan definisi lain, orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (kalaupun melakukan kesalahan segera bertaubat) akan dibalasi dengan surga. Artinya surga adalah suatu tempat yang isinya adalah orang- orang yang beriman dan beramal sholeh, atau orang- orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (atau yang bertaubat jika melakukan kesalahan). Jika penghuninya bukan orang yang mengikuti perintahNya dan atau melanggar laranganNya, maka tempat itu bukanlah surga. Logikanya sederhana, bukan?
   Maka sebuah rumah bisa dikatakan menjadi surga bila di dalam rumah itu dilaksanakan perintah- perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika rumah itu dijadikan tempat untuk ingkar terhadap perintah dan laranganNya, maka rumah itu tidak bisa dikatakan sebagai surga, meskipun penghuninya rukun, saling mencintai, segala kebutuhan tercukupi, bahkan berlebih, rumahnya indah dan nyaman, sejuk, terasa tentram dan damai jika memasukinya. Itu hanya sebagai kenikmatan dunia yang bisa- bisa menjerumuskan penghuninya ke neraka.
   Jika kita kembali kepada kisah manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s, maka ada suatu hal yang menarik untuk kita hubungkan dengan tema ini. Kita tahu bahwa Nabi Adam a.s pada awalnya tinggal di 'Jannah'. Di situ Nabi Adam merasa nyaman, segala kebutuhannya terpenuhi. Namun, ketika Nabi Adam a.s terjebak oleh hasutan syaitan, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى 'menurunkan'nya dari 'Jannah'. Alkisah sejak saat itu Nabi Adam a.s tinggal di bumi ini, bukan di jannah/ surga lagi. Yang menarik adalah sebab keluarnya Nabi Adam a.s dari jannah/ surga adalah karena melanggar perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى untuk tidak menuruti kata- kata Iblis, dan untuk tidak mendekati buah yang dilarang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Dengan dilanggarnya larangan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di tempat itu, maka 'turun'lah status Nabi Adam a.s dari penghuni jannah/ surga menjadi penghuni bumi. Ini karena jannah/ surga bukanlah tempat orang- orang yang melanggar ketentuanNya.
   Maka dari itu, untuk masuk surga tidak perlu menunggu nanti di akherat. Kita mulai sekarang bisa membangun surga kita. Insya Allah jika kita berhasil membangun surga kita di dunia ini, di akherat pun akan menghuni surga pula. Di sana kita akan ditemani bidadari- bidadari surga, menempati tempat yang indah dan nyaman, sejuk, penuh kenikmatan, segala kebutuhan tidak perlu diusahakan melainkan akan terpenuhi sendiri...dst.
   Dan jika kita telah berhasil menjadikan rumah kita menjadi surga kita, mudah- mudahan dengan usaha bersama kita bisa menjadikan kampungku surgaku, berlanjut ke kotaku surgaku, negeriku surgaku, akhirnya menjadi bumiku surgaku seperti waktu Nabi Adam a.s belum melanggar aturanNya... Insya Allah...

 Allahu a'lam bishshawab.

Salam untuk 'Bidadari Surgaku'...(insya Allah)

Minggu, 07 Juli 2013

Rukyah dan Hisab, Kenapa Harus Berbeda?



بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 RUKYAH DAN HISAB, KENAPA HARUS BERBEDA?

   Menyambut Ramadhan, bulan mulia dan penuh kemuliaan. Setiap orang tidak sabar menanti datangnya bulan baru, tanggal 1 Ramadhan. Sayangnya sudah berkali- kali suasana menjelang bergantinya bulan ini terusik oleh perselisihan tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan. Sudah pasti hal ini sangat menggangu perasaan Umat Islam, terlebih bagi mereka yang berada dalam pihak 'hanya mengikuti keputusan' yang berharap agar mereka melakukan ibadah puasa tanpa keraguan.
   Sudah umum kita pahami bahwa perbedaan itu, katanya akibat dari perbedaan metode penentuan, yaitu metode rukyah (melihat hilal dengan mata) dan hisab (melihat hilal dengan perhitungan). Namun rasanya aneh jika hanya karena masalah itu yang menjadi penyebabnya. Hal ini dirasakan karena hampir setiap penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, maupun 1 Zulhijjah terjadi perbedaan. Di sini penulis hanya mencoba memaparkan hal- hal dibalik penetapan tanggal- tanggal di atas, yang mungkin mempengaruhi mempengaruhi hasil pengamatan atau perhitungan.

Metode Rukyah

   Metode ini adalah metode yang dipakai oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pada masa itu menurut para ahli sejarah, Bangsa Arab belum menggunakan hitungan dalam menentukan pergantian bulan. Hal ini terekam juga dalam beberapa hadits (contohnya hadits Bukhari no. 931). Maka metode yang digunakan adalah melihat hilal. Jika cuaca menghalangi hilal, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari (hadits Bukhari no. 928). Jika ada salah seorang yang berhasil melihat hilal, maka cukup untuk menjadi dalil penetapan pergantian bulan ini.
   Kelebihan dari metode ini adalah Rasulullah SAW menggunakannya. Kelemahannya adalah sangat terpengaruh oleh cuaca, serta kejelian orang yang melakukannya.
   Namun di sini saya ingin sedikit memberi komentar. Rasanya tidak bisa dibilang konsisten, orang yang ketika menentukan pergantian bulan dengan cara melihat kejadian alam, namun ketika menetapkan waktu sholat tidak pernah mengamati posisi matahari, yang juga merupakan kejadian alam. Saya yakin dulu di jaman Rasulullah SAW ketika hendak mengumandangkan azan, mereka memastikan bahwa posisi matahari telah berada dalam posisi waktu sholat terkait. Hal ini hampir tidak pernah saya temui selama hidup saya. Bisa dipastikan muazin- muazin sekarang ini cenderung melihat jadwal sholat dan jam.
   Maka sangat bagus jika selain mengamati hilal menjelang pergantian bulan, kita juga mengamati posisi matahari ketika hendak mengumandangkan azan.

Metode Hisab

   Metode hisab adalah menghitung bulan menggunakan sains. Bisa dari hasil pengamatan hal yang terus berulang, maupun menggunakan ilmu astronomi yang lebih modern. Hal ini mudah saja dilakukan, karena perhitungan jumlah hari dalam satu bulan terus berulang dan berselang- seling saja antara 29 dan 30 hari (seperti tertuang dalam hadits Bukhari no. 931). Hal ini juga di-cross check dengan pengamatan satelit.
   Kelebihan dari metode ini adalah bisa menentukan tanggal 1 setiap bulan jauh- jauh hari sebelumnya, bahkan bertahun- tahun sebelum dan juga setelahnya. Dan satu lagi kelebihannya adalah tidak bergantung pada cuaca. Kelemahannya adalah Rasulullah tidak memakai metode ini.
   Jika pengambilan ketetapan dikembalikan pada prinsip bahwa suatu peraturan/ hukum ditetapkan untuk mengambil mashlahat sebanyak- banyaknya dan meninggalkan mudharat sebanyak- banyaknya, maka rasanya metode ini tepat jika diterapkan. Salah satu mashlahatnya adalah Umat Islam mengetahui jauh- jauh hari kapan bulan berganti, sehingga bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dengan sistem rukyah, umat masih menunggu kabar sampai malam. Seperti yang terjadi di Qatar ini, dengan sistem rukyah biasanya pengumumannya baru sampai kepada umat setelah sholat Isya. Satu hal lagi yaitu tidak perlu menyebar orang banyak pada malam pengamatan, karena sudah ditetapkan sebelumnya oleh tim kecil.

Hal Lain Yang Mungkin Mempengaruhi Penetapan.

   Pada akhirnya, biasanya satu pihak akan memulai berpuasa, atau merayakan hari raya bersamaan dengan Umat Islam yang tinggal di Mekah. Dan satu pihak lagi akan melaksanakan hal sama 1 hari setelah Umat Islam di Mekah melaksanakannya. (Hal ini mengesampingkan Umat Islam yang melaksanakan puasa atau merayakan hari raya dengan selisih 2 hari atau lebih). Kira- kira ada apa di balik perbedaan ini? Bagi yang penetapan awal bulannya sama dengan pemerintah Saudi, maka hal ini tidak akan memunculkan perdebatan.
   Ada sekelompok Umat Islam yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka tidak sudi memakai peraturan yang ditetapkan oleh kaum kafir. Jika kaum kafir menetapkan bahwa awal dimulainya hari (pukul 00:00) adalah dari daerah mereka (Greenwich), maka kelompok ini bercita- cita mengubah standardnya menjadi Mekahlah patokan waktu sedunia. Pengaruhnya adalah Mekah akan mengalami pergantian hari pertama kali dibanding wilayah lain (segaris bujur). Artinya pada saat maghrib di Mekah, maka Mekah sudah berganti hari dari Selasa ke Rabu, sedangkan wilayah yang lain termasuk Indonesia pada saat yang sama masih hari Selasa (dalam hitungan kalender yang berlaku sekarang sudah hari Rabu).
   Dengan ide ini, maka wilayah Indonesia akan berada "di belakang" negara Saudi Arabia (Mekah). Akibatnya, meskipun berada di lebih timur dari Mekah yang boleh dikatakan melihat terbitnya matahari dan bulan terlebih dahulu, namun tetap tertinggal 1 hari dari Mekah. Maka ketika Saudi memulai puasa hari Selasa, maka negara- negara itu, termasuk Indonesia, memulainya pada hari Rabu berdasar kalender yang berlaku saat ini. Dalam pandangan orang- oarang idealis di atas, hari itu tetaplah hari Selasa.
   Sedangkan kelompok lain memakai standard bahwa benua yang dihuni sebagian besar manusia ini sambung menyambung dari timur ke barat. Dimulai dari Kepulauan Indonesia sampai ke pantai barat Afrika, kemudian di sebelah baratnya Benua Amerika yang terpisah oleh Samudera Atlantik. Jika dibandingkan, Samudera Pasifik lebih lebar dibanding Samudera Atlantik. Maka layak jika dianggap bahwa tempat terbit matahari adalah dari Samudera Pasifik. Maka hitungan haripun selayaknya dimulai dari kepulauan Indonesia. Hal positif dari standard ini adalah daerah berpenghuni yang termasuk mengalami pergantian hari paling lambat (pantai barat Benua Amerika) berjarak sangat jauh dengan daerah berpenghuni tempat dimulainya perhitungan hari (negara- negara di Asia Timur).
   Pengaruhnya Indonesia mengalami pergantian hari lebih awal dari negara- negara di sebelah baratnya, termasuk Mekah. Maka orang yang tinggal di Indonesia bertemu tanggal 1-nya pun menjadi paling awal. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan puasa dan Sholat 'Id di Indonesia berada dalam hari yang sama dengan Mekah, hanya berselisih hitungan jam saja. Dan karena Mekah termasuk berada di pertengahan, maka selisih waktu antara Mekah dan daerah- daerah lainpun tidak terlalu jauh, tidak sampai 12 jam. Berbeda dengan standard yang dibahas sebelumnya yang selisih waktu antara Mekah dan Jakarta bisa mencapai 19 sampai 20 jam (dengan standard waktu sekarang), apalagi Mekah dengan Afghanistan.

Pilih Yang Mana?

   Maka jika memang yang menjadikan perbedaan awal Bulan Ramadhan, Syawal, maupun Zulhijjah adalah soal idealisme standard semata, silahkan anda pilih sesauai idealisme anda. Yang patut dikhawatirkan adalah jika ternyata di balik perbedaan ini ada unsur kesengajaan untuk membuat Umat Islam resah. Kita semua tahu bahwa dengan perbedaan ini musuh- musuh Islam bersorak kegirangan. Dan mereka dengan segala daya upayanya terus mengganggu ketenangan Umat Islam dan membuat kekacauan. Bahkan banyak pula yang mengaku Islam namun tingkah lakunya merusak Islam. Mereka berharap dengan gamangnya Umat Islam melakukan ibadahnya, maka akan mudah diserang sisi aqidahnya.
   Menurut hemat saya perbedaan yang meresahkan tetap harus dihilangkan. Dan itu bukan hal yang mustahil. Jika anda membaca posting sebelumnya yaitu "Jika Satrio Piningit Muncul" maka Insya Allah anda akan menemukan solusi untuk masalah ini.

Allahu a'lam bishshawab.