Rabu, 24 Oktober 2012

Belajar Al Qur'an Dari Orang Kafir

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ


BELAJAR AL QUR’AN DARI ORANG KAFIR

   Seringkali kita membaca Al Qur’an beserta terjemaahnya, dan mungkin juga dengan tafsirnya. Tapi sering pula kita membacanya hanya sekedar lewat. Bisa jadi karena sebenarnya Al Qur’an itu sudah sesuai hati nurani kita- sesuai dengan 'anggukan universal' menurut istilah Ary Ginanjar-, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
   Tapi ketika tiba-tiba kita disodori pertanyaan tentang isi Al Qur’an, kita malah bingung, karena pertanyaan ini tak pernah terlintas di benak kita, atau mungkin sekedar melintas tanpa kita mengkajinya lebih dalam. Jangan kaget, sekarang ini banyak orang kafir yang mempelajari Al Qur’an lebih serius dibanding kebanyakan umat Islam sendiri. Mereka mempelajari, bukan untuk diamalkan, tapi dicari celah- celah kelemahan Al Qur’an ini. Dan ketika mereka mengajukan pertanyaan, sebaiknya kita sudah punya pegangan. Dan yang paling penting kita harus sadar bahwa tujuan mereka bukan mencari kebenaran, tapi mau mencela Islam.
Sebagai contoh yang sempat saya lihat di internet, mereka mencela ayat Al Qur’an berikut:
QS Al Anfal (8):65-66

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُونَ ﴿٦٥ الْآنَ خَفَّفَ اللَّـهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِن يَكُن مِّنكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٦٦
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.(65)
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.(66)

   Mereka mempertanyakan untuk apa Tuhannya orang Islam membuat perbandingan 20 dengan 200, 100 dengan 1000 dan 100:200 serta 1000:2000? Kenapa tidak dibikin yang simple saja, 1:10 dan 1:2? Menurut mereka ini sebuah ayat yang berbelit- belit, tapi hanya mengatakan sesuatu yang sepele.
   Jika kita yang membaca ayatnya, pasti kita akan memandangnya biasa- biasa saja, tidak ada yang ganjil. Tapi ternyata di mata orang yang kerjaannya mancari- cari kelemahan kitab sucinya orang Islam ini, itu adalah sebuah pernyataan yang aneh. Terus mesti menjawab gimana? Tentunya kita tidak akan membiarkannya begitu saja. Kita mesti tahu jawabannya.
   Pertama, mereka pun sebenarnya mengakui (sadar ataupun tidak) bahwa ayat di atas secara ilmu matematika 100% benar.
   Kedua, mungkin mereka hanya melihat angka- angkanya saja tanpa menengok kondisinya, dalam hal ini angka tersebut menyatakan jumlah pasukan perang. Saya kira mereka terlalu banyak dipengaruhi film- film Hollywood yang bintang utamanya bisa mengalahkan musuh yang berjumlah ratusan, atau bahkan senegara hanya dengan seorang diri. Sedangkan ayat ini berbicara tentang realita, bukan film atau angan- angan.
   Kita bisa bayangkan seandainya dikatakan 1 orang bisa mengalahkan 10 orang, pasti yang terbayang di benak kita adalah sebuah film action fiktif. Atau bisa jadi 1 orang berotot mengalahkan 10 orang yang terjangkit gizi buruk. Tapi kan namanya pasukan perang, ya pasti dipilih yang perkasa- perkasa, di kedua belah pihak. Artinya kekuatan mereka berimbang. Kita bisa saksikan, seorang petinju sangat bekerja keras hanya untuk mengalahkan lawannya yang hanya satu orang, yang bobot tubuhnya seimbang. Kita juga bisa lihat di ajang UFC, Taekwondo, Gulat, dsb, semua dalam kondisi yang sama. Apa jadinya kalau satu petinju menghadapi 2 lawan yang besar badannya sama, pasti susah mengimbanginya.
   Tapi dengan jumlah yang agak banyak, dicontohkan minimal 10 orang, kita bisa menyusun taktik. Taktik bisa dipakai dalam mengelabuhi lawan. Dengan pengaturan barisan tertentu, kita susah membedakan antara 100 orang atau 1000 orang. Bisa jadi dengan cara tertentu 100 pasukan bisa terlihat sebanyak 1000 orang, atau sebaliknya untuk mengelabuhi musuh, 1000 orang dibariskan seperti hanya 100 orang saja. Atau bisa digunakan taktik membagi peran. Misalkan ada pasukan infantri, kaveleri, pasukan panah atau penembak, dll yang saling mendukung.
   Contohnya pasukan Thalut yang sedikit bisa mengalahkan pasukan Jalut yang jauh lebih banyak dengan strategi ‘shift’nya. Atau Khalid bin Walid dengan strategi zig-zagnya yang bisa membuat 3.000 tentara muslim ditakuti 200.000 pasukan Romawi dalam perang Mu’tah. Mungkin kalau dicontohkan di film bisa dilihat di film ‘300’ (meski film Hollywood juga, tapi agak realistis).
   Bayangkan jika maju sendirian, mau pakai strategi yang gimana? Paling juga modal otot atau olah senjata, atau modal nekat doang. Paling pol strategi bom bunuh diri.
   Tapi bisa jadi, tanpa pertanyaan dari si kafir tadi, kita tidak akan mengambil pelajaran dari ayat di atas dan sejarah Islam yang kita pakai untuk menyanggahnya. Jadi, gara- gara si kafir, kita jadi mempelajari Al Qur’an dan Islam lebih banyak.
   By the way, QS 8:65-66 di atas menggambarkan menurunnya kualitas kesabaran kaum muslimin berdampak menurunnya pula kualitas berperang mereka, atau menurunnya kadar pertolongan الله bahkan cuma tinggal 20% saja (dari 1:10 tinggal 1:2). Sekali lagi, yang turun kualitas kesabarannya, gimana kalau yang turun kualitas imannya?
Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, 11 Oktober 2012

Terorisme Di Indonesia, Siapa Yang Terteror?

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

TERORISME DI INDONESIA, SIAPA YANG TERTEROR? 

   Beberapa tahun belakangan ini isu teror bom sering menghiasi berita di berbagai media massa di negeri kita. Sejak terjadinya kasus bom Bali 12 Oktober 2002, seolah- olah teror bom terus menjadi bahan berita yang hadir dari waktu ke waktu, sampai kasus di Solo yang belum lama ini berlalu. Dan bukan menjadi rahasia lagi bahwa pelaku teror tersebut selalu dikaitkan dengan sekelompok orang yang oleh pihak berwenang diidentifikasi sebagai penganut agama Islam. Dan secara khusus mereka menuding sebuah pondok pesantren.
   Tentu banyak pertanyaan tentang siapa sebenarnya pelaku teror tersebut, apa motifnya, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang berpendapat seandainya memang pelaku teror itu orang Islam, maka mereka itu sebenarnya tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar, atau salah dalam memahami ajaran Islam. Atau bisa jadi pelakunya hanya mengaku- aku beragama Islam untuk menodai citra Agama Islam. Kita masih menunggu yang sebenarnya.
   Kalau kita lihat sasaran teror- teror yang telah terjadi, maka kita tidak akan menemukan secara khusus siapa atau apa target teror tersebut. Jika kita simpulkan bahwa targetnya adalah orang- orang yang gemar hura- hura, maka cara yang ditempuh mestinya tidak akan mencelakai orang yang tidak suka berhura- hura. Tapi kenyataannya korban yang jatuh tidak pandang bulu, baik yang sedang hura- hura atau yang kebetulan melintas di dekat TKP. Begitu pula kasus yang lain, selalu terjadi di tempat umum yang besar kemungkinan tidak hanya orang non muslim yang ada, tapi sangat mungkin ada orang Islam juga di tempat itu. Apalagi jika kita lihat kasus penembakan polisi di Solo, maka sangat jauh dari target itu. 
   Maka kita lihat apa efeknya sekarang terhadap masyarakat. Kelompok masyarakat mana yang terteror dengan adanya aksi- aksi teror yang telah berlalu. Apakah orang yang gemar pergi ke diskotik atau ke tempat maksiat lain akan berpikir kalau- kalau tempat yang akan dikunjunginya nanti akan dibom? Saya rasa jangankan berpikir ke situ, berpikir kalau- kalau dirinya akan mati karena overdosis, atau kecelakaan saat pulang dari tempat maksiat karena mengemudi dalam keadaan mabuk-pun mereka tidak memusingkannya. Apalagi tempat maksiatnya dibom orang, kemungkinannya jauh lebih kecil dibanding resiko overdosis atau kecelakaan lalulintas.
   Bagaimana dengan pihak yang bergantung banyak pada industri pariwisata? Saya sempat ngobrol dengan teman saya pemilik agen penjualan tiket bus di Terminal Bus Umbulharjo Yogya (waktu itu terminalnya masih belum pindah) beberapa waktu setelah terjadinya bom Bali, dia mengeluh bahwa penjualan tiket bus ke Denpasar turun drastis. Tapi tidak sampai berselang 1 tahun, kondisinya sudah jauh membaik. Dan kita semua pun tahu bahwa memang dalam waktu yang relatif singkat periwisata di Bali sudah pulih seperti sebelum kasus bom Bali tersebut. 
   Lalu siapa lagi? Apakah pemerintah, tentara, atau polisi? Bagi pemerintah (dengan mengabaikan prasangka buruk sebagian masyarakat pada pemerintah) hal tersebut bisa disebut wajar, tentu ada orang yang senang dan ada yang tidak senang. Bagi polisi atau tentara, tentu sebelum mendaftarkan diri sebagai pelindung masyarakat mereka sudah tahu resiko yang dihadapi, teroris adalah salah satunya. Bahkan mereka berani bilang, kalau takut peluru nggak usah jadi tentara atau polisi.
   Siapa lagi, musuh masyarakat mungkin, sebutlah koruptor. Seingat saya tidak ada korban dari terduga kasus korupsi diantara korban- korban teror tersebut. Seluruh korban bisa disebut sebagai orang awam atau rakyat jelata, meskipun warga negara asing.
   Tapi jika kita cermati dari obrolan di sekitar tempat tinggal kita, ada satu hal yang bisa saya tangkap, yang saya simpulkan inilah efek teror- teror itu.  Orang- orang mulai hilang kepercayaan terhadap para ulama, atau terhadap orang yang sekedar berakhlak baik (masyarakat biasanya menyebut sebagai 'orang alim'). Setidaknya ada sedikit rasa curiga kepada orang yang rajin ke masjid, jangan- jangan...
   Lebih jauh lagi orang tua mulai berpikir berkali- kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren. Jangan- jangan nanti diajari jadi teroris, begitu kekhawatiran mereka. Akhirnya mereka menyekolahkan anaknya ke sekolah umum yang sudah pasti kadar pendidikan Agama Islamnya jauh di bawah sekolah- sekolah Islam, Madrasah, atau pondok pesantren. Secara tidak langsung mereka menjauhkan, atau setidaknya memberi jarak anak mereka dengan ilmu Agama Islam. Ini terbukti ketika anak saya yang bersekolah di SDIT kelas 1 mendapat pelajaran tentang komputer dan bagian- bagiannya, serta cara kerja mesin ATM, maka orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah umum berkomentar dengan serius, "wah awas tuh, nanti lama-lama diajari bikin bom." Dan saya yakin banyak pula cerita serupa. Silahkan anda survey masyarakat sekitar anda, niscaya anda berkesimpulan yang sama dengan saya.
   Menurut saya masyarakat muslimlah yang merasakan teror lebih dalam. Mereka malah berprasangka buruk dengan orang yang rajin beribadah, orang yang justru semestinya bisa dipercaya. Kalau orang baik- baik mereka jauhi, mau bergaul dengan siapa lagi? Mereka ketakutan untuk menyekolahkan anak- anak mereka ke lembaga pendidikan Islami. Padahal perbaikan akhlak hanya akan tercapai jika anak- anak kita mendapat ilmu agama yang cukup. Dan perasaan demikian ini bertahan dalam waktu yang lama, bahkan mungkin makin lama makin terasa. Bandingkan dengan efek bom Bali terhadap kondisi pariwisata di Bali, mungkin hanya sekitar 1 tahun. Perhatikan juga efek bom di Hotel Marriott, bom dan penembakan di Solo, semua hanya terasa sebentar. Jika kondisinya demikian, pihak mana yang diuntungkan, kita sudah tahu.
   Tapi mari kita ambil pelajarannya. Tentu kita tidak boleh membiarkan anak kita jauh dari ilmu Agama Islam. Tapi jangan sampai pula anak kita terjerumus kedalam hal yang tidak kita inginkan. Di sinilah peran kita sebagai orang tua dituntut lebih waspada. Orang tua seyogyanya mengerti ilmu agama pula, sehingga mampu memilah dan memilih lembaga pendidikan mana yang benar- benar mengajarkan Agama Islam yang sesungguhnya. Kita tidak bisa melepaskan anak kita begitu saja kepada pihak sekolah, madrasah, maupun pesantren. Kita harus aktif mengontrol anak- anak kita. Jika menurut kita ada penyimpangan dari tingkah laku anak kita, atau pelajaran yang dia terima, kita bisa segera menentukan sikap. Dan tanpa memahami ilmu agama, mustahil kita bisa mengontrol anak kita dengan baik. Inilah tantangan kita saat ini.

وَمَكَرُ‌وا وَمَكَرَ‌ اللَّـهُ ۖ وَاللَّـهُ خَيْرُ‌ الْمَاكِرِ‌ينَ

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali Imran 3:54)

Allahu a'lam bishshawab. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Al Qur'an Sebagai Karya Ilmiah Modern

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 AL QUR'AN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH MODERN

   Kita tentunya sangat familiar dengan karya tulis ilmiah. Ini adalah karya tulis yang berisikan hal- hal yang bersifat riil, bukan rekayasa, fiksi atau imajinasi. Sumbernya bisa berupa pengalaman, pengamatan, penelitian, dan lainnya. Bagi yang pernah belajar di bidang tehnik, tentu mengenal karya tulis seperti ini, karena paling tidak kita harus menyusunnya paling tidak sekali dalam tingkatan pendidikan kita. Sebutlah contohnya skripsi. Bagi saya yang hanya lulusan STM, paling tidak sudah pernah menyusun Laporan Praktek Kerja Lapangan.
   Tentu pula kita tahu bahwa syarat untuk menjadi karya tulis ilmiah yang benar paling tidak atau intinya berisikan 3 bab. Bab 1 adalah Pendahuluan, Bab 2 adalah Isi, dan Bab 3 adalah Penutup. Masing- masing bab bisa diperluas lagi sesuai kreativitas atau keinginan penulis. Tapi intinya tetap 3 itu saja. Saya hanya mengambil contoh sedikit saja, tentu yang pernah saya susun mengenai penelitian.
   Bab 1 atau Pendahuluan/ Pembuka biasanya berisi pemaparan suatu masalah. Masalah yang akan dibahas dalam karya tulis tersebut dibahas secara sekilas agar pembaca mempunyai gambaran tentang isi karya tulis tersebut.
   Bab 2 yang berisi pokok pembahasan menerangkan dengan detail masalah yang diutarakan. Mulai dari awal masalah, efeknya, analisis, problem solving, dan hasil dari usaha yang dilakukan. Semua diterangkan secara detail agar pembaca memahami betul tiap langkah yang dilakukan.
   Bab 3 atau Penutup, isinya hampir sama dengan Pembuka, yaitu dengan membahas kembali masalah yang dikaji. Bedanya di bagian Penutup, penulis menyampaikan cara menyelesaikan masalah tersebut secara ringkas yang biasa disebut Kesimpulan. Dalam bab ini pula penulis berharap karya tulisnya bemanfaat, maka tenti saja apa yang ia tempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut diikuti oleh pembaca, maka penulis memberikan Saran kepada pembaca jika menemui masalah serupa.

   Apakah Al Qur'an juga memenuhi syarat dan kaidah untuk bisa disebut sebagai sebuah karya tulis ilmiah modern? Kita lihat Al Qur'an versi Utsman bin Affan r.a ini.
  • Bab Pendahuluan/ Pembuka, tentu semua muslim tahu bahwa Al Qur'an dibuka atau diawali dengan surat Al Fatihah yang artinya 'Pembukaan'.
  • Bab Isi, yaitu penjelasan detail tentang 'jalan yang benar/ lurus' itu dan bagaimana cara menempuhnya. Ini dirinci dari Surat Al Baqarah sampai Al Falaq, ada juga yang berpendapat sampai Surat Al Lahab.
  • Bab Penutup, sebagian ulama berpendapat bab ini dimulai dari Surat Al Ikhlas sampai An Naas, ada juga yang berpendapat hanya Surat An Naas saja.
   Dalam Bab Pendahuluan, yaitu Surat Al Fatihah, diungkapkan permasalahan utama yang dihadapi manusia dalam hidup ini, yaitu mencari jalan yang benar, yang membawa kebahagiaan, dan terhindar dari kenistaan. Di sini diwakili oleh ayat "tunjukannlah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
   Dalam Bab Inti atau Isi, dijabarkan dengan terperinci tentang jalan itu, serta bagaimana cara menjalaninya, dan membahas pula jalan yang tidak boleh dilalui tersebut.
   Dalam Bab Penutup, yaitu Surat An Naas, disimpulkan bagaimana cara agar berhasil melalui jalan tersebut tanpa tersesat ke jalan yang lainnya, ini terwakili dalam ayat "aku berlindung kepada (Allah)....dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. dari (golongan) jin dan manusia."

   Tadi kita singgung bahwa Bab Pembuka dan Bab Penutup harus selaras atau mirip, maka kita bandingkan:

Surat Al Fatihah:
  1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb(1) semesta alam,
  3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
  4. Yang menguasai (Raja)(2) hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan(3)
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Surat An Naas:
  1.  Katakanlah: "Aku berlindung kepada Rabb(1) (yang memelihara dan menguasai) manusia.
  2.  Raja(2) manusia.
  3.  Sembahan (ilah)(3) manusia.
  4.  dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
  5.  yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
  6.  dari (golongan) jin dan manusia.
Kita lihat persamaannya (yang saya ketik dengan huruf miring):
  1. Kata 'Rabb' ada pada kedua surat tersebut.
  2. Kata 'Maalik' dan 'Malik' yang maknanya serupa ada pada kedua surat tersebut.
  3. Kata 'ilah' dalam surat An Naas berarti sama dengan 'yang diibadahi dan dimintai pertolongan' yang ada di Surat Al Fatihah.
  4. Inti masalah yang tercantum dalam Surat Al Fatihah dijawab dengan ringkas di Surat An Naas, seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
   Jadi sudah sangat jelas keterkaitan Surat Al Fatihah sebagai Bab Pembuka dengan Surat An Naas sebagai Bab Penutup. Perbedaan Bab Penutup dari Bab Pembuka/ Pendahuluan adalah adanya Saran. Anda pasti sudah menemukannya di Surat An Naas.
   Saran pada intinya menyuruh penbaca untuk melakukan apa yang diinginkan atau direkomendasikan penulis. Tentu saja biasanya penulis akan mengemukakannya dengan kalimat yang halus atau sopan. Misalkan jika kita menulis tentang 'Cara Mencuci Yang Baik', kita tidak bisa menuliskan 'Pisahkan pakaian yang putih dari yang berwarna', tentu lebih baik ditulis 'Pakaian yang putih sebaiknya dipisahkan dari pakaian yang berwarna'. Padahal tujuannya sama, yaitu menyuruh atau merekomendasikan pembaca untuk memisahkan pakaian putih dengan yang berwarna jika akan mencuci.
   Kita lihat bahwa Surat An Naas ini didahului oleh kata perintah, yaitu 'qul' yang artinya 'katakanlah'. Bab Penutup ini memberi saran kepada pembacanya untuk terus meminta perlindungan kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Tentunya caranya sudah diulas di Bab Isi.
   Maka, Subhanallahu wallahu akbar, ternyata Utsman bin Affan r.a pada 14 abad yang lalu telah menyusun Al Qur'an ini dengan metode yang diakui oleh para ahli penulisan di era modern ini. Tentu kita yakini bahwa penyusunan ini tidak semata- mata menurut selera sang Khalifah, tapi atas bimbingan Sang Penyusun yang Haq, Yaitu اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Allahu a'lam bishshawab.