Sabtu, 26 Oktober 2013

Beda Ibadahnya Jin Dengan Ibadahnya Manusia

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

BEDA IBADAHNYA JIN DENGAN IBADAHNYA MANUSIA

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

  Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
  (QS 51: 56)

   Kita tentu akrab dengan ayat di atas, ya itulah Surat Adz Dzariyat ayat 56. Ayat tersebut dengan jelas tugas yang diemban oleh jin dan manusia dalam kehidupan ini. Dengan kata lain tujuan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan jin dan manusia adalah untuk mengabdi/ beribadah kepadaNya. 
   Lalu apakah cara ibadah antara jin dengan manusia itu sama? Ternyata tidak. Ini bisa kita temukan di beberapa ayat yang menceritakan awal mula penciptaan manusia pertama, yaitu Adam a.s. Contohnya adalah Al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 30:


وَإِذْ قَالَ رَ‌بُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْ‌ضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS 2: 30)

Selain beribadah kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , ternyata ada lagi tugas yang harus diemban manusia, bahkan jika kita analisa ayat di atas, justru untuk tugas inilah manusia diciptakan! Artinya jika tidak ada posisi "khalifah di muka bumi" itu, rasanya tidak perlu اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan manusia. Di ayat itu jelas sebelum manusia diciptakan sudah ada makhluk yang bernama malaikat. Dan di ayat- ayat selanjutnya dan ayat- ayat lain juga disebutkan bahwa Iblis dan bangsanya (jin) juga telah diciptakan sebelum manusia. Tapi jabatan "khalifah di muka bumi" itu tidak diberikan kepada malaikat maupun jin.
   Jelas dari analisa di atas bisa disimpulkan bahwa jika manusia dalam hidupnya tidak menjadi khalifah di muka bumi, maka hidupnya sia- sia. Tentu tidak semua orang bisa menjadi khalifah di muka bumi, karena di saat yang bersamaan hanya boleh ada satu khalifah. Namun sekurang- kurangnya manusia punya cita- cita menjadi khalifah di muka bumi ini, paling tidak mendukung salah satu diantara manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Jika tidak ada keinginan atau kesadaran bahwa dirinya diciptakan fungsinya adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi, maka sia- sialah hidupnya.
   Ibarat sebuah jam tangan, ia dipakai tidak sekedar sebagai hiasan tangan, melainkan fungsi utamanya sebagai penunjuk waktu. Seandainya tangan kiri kita mengenakan jam tangan yang sangat indah, dan tangan kanan kita menggunakan gelang yang sangat indah pula, maka banyak orang akan terpesona. Namun jika ternyata jam tangan yang kita pakai mati atau tidak berfungsi menunjukkan waktu, maka ceritanya akan lain. Orang tetap akan mengagumi gelang kita meskipun ia tidak dapat menunjukkan waktu, karena itu bukan tugasnya. Tapi orang tidak akan memandang bagus jam tangan kita yang mati, meskipun tampilannya sangat indah. Bahkan bisa jadi orang akan mentertawakan kita karena memakai jam mati.
   Kemudian bagaimana cara yang benar sebagai khalifah di muka bumi? Karena kita ditugasi oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjadi mandatarisNya, maka sudah sangat jelas kita harus melaksanakan apa yang Dia mau. Tidak bisa kita melakukan apa yang kita mau sedangkan itu bertentangan dengan apa yang Dia mau. Jika perilaku kita bertentangan dengan kemauanNya, tentu batallah jabatan kita sebagai "khalifah di muka bumi" ini.
   Bagaimana dengan jin? Karena yang ditugasi sebagai khalifah di muka bumi adalah manusia, maka bangsa jin tidak diberi kewajiban menjalankan ibadah yang berhubungan dengan kekhalifahan (kepemimpinan) dan tugas- tugas sosial lainnya. Bangsa jin tidak diberi kewajiban menolong dan menegakkan agama Allah. Mereka tidak wajib menjaga kelestarian bumi ini, dan sebagainya yang merupakan tugas manusia sebagai pemimpin di bumi ini. Kecuali hanya sekedar menyampaikan tentang kebenaran ayat- ayat Al Qur'an kepada makhluk sebangsanya.
   Jika kita perhatikan di Surat Al Jin dan Surat Al Ahqaf  29- 32, maka ayat- ayat yang menceritakan kehidupan jin merupakan ayat- ayat aqidah. Jadi jelaslah perbedaan ibadahnya manusia dengan ibadahnya jin. Maka mari kita beribadah seperti yang ditugaskan kepada kita, tidak hanya beribadah selayaknya jin beribadah, jika tidak, bisa- bisa kita jadi barang tertawaan seperti jam yang indah namun rusak...

Allahu a'lam bishshawab.

Senin, 16 September 2013

Baiti Jannati Bagian 2

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 BAITI JANNATI (BAGIAN 2)

   Telah dibahas di posting saya sebelumnya bahwa slogan "Baiti Jannati" mengandung pengertian tentang pelaksanaan ajaran- ajaran Islam dalam rumah tangga kita. Tentunya pelaksanaan ajaran- ajaran Islam oleh seluruh anggota keluarga idealnya dimulai dari kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga selain melaksanakan ajaran- ajaran Islam untuk dirinya sendiri, juga menyuruh kepada anggota keluarga yang lain, yaitu istri dan anak- anak. Di dalam rumah, tentu saja pelaksanaan ajaran- ajaran Islam tersebut dibimbing dan diawasi oleh kepala keluarga. Ketika telah terjalin kesadaran menjalankan ajaran- ajaran Islam oleh seluruh anggota keluarga, kemudian terjadilah saling mengawasi, dalam artian saling mengingatkan untuk melaksanakan maupun mengingatkan jika ada anggota keluarga yang tidak melaksanakan.
   Proses yang demikian itu akan menjadi efektif jika pelaksanaannya dilakukan secara intensif. Artinya si pembimbing, dalam hal ini kepala rumah tangga, terus menerus membimbing dan terus menerus pula mengawasi. Hal ini bisa terjadi karena memang frekuensi pertemuan antara masing- masing anggota keluarga sangat tinggi. Maka di setiap kesempatan berinteraksi antar anggota keluarga, bisa dijadikan kesempatan untuk membimbing anak dan istri untuk memahami dan melaksanakan ajaran- ajaran Islam. Dan tentu saja tidak memerlukan waktu khusus untuk mengawasi pelaksanaannya, karena setiap saat pun kepala keluarga bisa melihat dari dekat apa yang dilakukan oleh masing- masing anggota keluarga. Bisa ditebak jika proses pembimbingan hanya dilakukan sesekali dan tanpa pengawasan yang ketat, tentu hasilnya tidak akan bagus.
   Hasil dari bimbingan dan pengawasan yang intensif itulah yang menjadikan slogan "Baiti Jannati" terlaksana. Inilah kunci untuk melangkah ke tahap berikutnya, "Kampungku Surgaku", dan seterusnya sampai "Semestaku Surgaku".
   Jadi setelah kita membimbing diri kita (Syakhshiyah), langkah yang kedua adalah membimbing dan mengawasi keluarga kita (Usrah), dan kemudian tahap selanjutnya adalah membimbing dan mengawasi tetangga- tetangga kita (Qariyah). Supaya kampung kita menjadi "Surga" pada tahapan selanjutnya, maka kunci yang kita pakai untuk men-"Surga"-kan keluarga kita, yaitu bimbingan dan pengawasan yang intensif terus kita pegang. Tanpa bimbingan dan pengawasan yang intensif, hampir mustahil hasilnya akan memuaskan.
   Kita bisa menengok apa yang dilakukan suri tauladan kita, Rasulullah SAW dalam men-"Surga"-kan Jazirah Arab kala itu. Pertama beliau membimbing dan mengawasi keluarga beliau dalam memahami dan melaksanakan ajaran yang beliau bawa, yaitu Islam. Tentu frekuensi pertemuan beliau dengan keluarga sangat tinggi. Hasilnya, pasti kita mengenal sosok putri kesayangan beliau, yaitu Fatimah. Kita tentu sudah banyak mengetahui akhlaknya yang sangat mulia, ketabahannya, sampai Rasulullah SAW mengabarkan bahwa Fatimah adalah salah seorang ahli syurga. Dan kita tentu mengenal Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a, bagaimana pengetahuan agama beliau yang sampai- sampai diibaratkan jika Rasulullah SAW adalah gudang ilmu, maka Sayidina Ali r.a adalah gerbangnya. Dan kita ingat juga kepatuhan Sayidina Ali r.a yang bersedia menggantikan Rasulullah SAW tidur di atas ranjang beliau ketika orang- orang Quraisy mengepung hendak membunuh Rasulullah SAW. Itu semua karena mereka selalu mendapat bimbingan dan pengawasan langsung dari Rasulullah SAW. Kita tahu bahwa sejak kecil Sayidina Ali r.a berada dalam bimbingan Rasulullah SAW dan bukan dalam pemeliharaan ayahnya yaitu Abu Thalib.
   Dalam pada itu beliau juga aktif berupaya men-"Surga"-kan Mekah. Langkah yang beliau tempuh adalah membimbing dan mengawasi sahabat- sahabat beliau yang telah memeluk Islam di dalam Darul Arqam. Di sini pun Rasulullah SAW melakukannya secara intensif. Dari Darul Arqam inilah terciptanya generasi as Sabiqun al Awwalun yang sangat terkenal akan kualitas keislamannya. Dari sinilah muncul nama- nama Abu Bakar ash Shiddiq, Hamzah bin Abdul Mutthalib,, Ubai bin Kaab, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Mas'ud, Mus'ab bin Umair, dan sampai kepada Umar bin Khattab, serta tokoh- tokoh lain yang begitu hebat memperjuangkan Islam.
   Begitu pula yang terjadi pada penduduk Yatsrib (Madinah) sebelum Rasulullah SAW melakukan hijrah. Dari segelintir orang yang telah membukakan hatinya untuk menerima Islam, karena strategi pertemuan intensif tetap dilakukan, maka akhirnya hampir di setiap rumah di Yatsrib terdengar ayat- ayat suci Al Qur'an setiap harinya. Ini tak lepas dari strategi Rasulullah SAW yang mengirim juru dakwah beliau yaitu Mus'ab bin Umair untuk membimbing dan mengawasi penduduk Yatsrib. Kala itu Mus'ab bin Umair menetap di Yatsrib dalam kurun waktu yang lama, bisa dibilang setahun penuh beliau bertugas membimbing dan mengawasi penduduk Yatsrib. Hasilnya, penduduk Yatsrib dengan senang hati menerima orang- orang Mekah sebagai saudara mereka. Dan kelak merekapun menjadi penolong agama Allah yang sangat tangguh.
   Secara sederhana, salah satu kunci sukses dalam men-"Surga"-kan kampung kita adalah bimbingan dan pengawasan yang intensif. Jika bimbingan hanya dilakukan sesaat saja, kemudian ditinggalkan begitu saja, maka hanya akan menjadi hangat- hangat tahi ayam, setelah beberapa waktu yang singkat segera lupa lagi. Ini bukan hal yang mustahil dilakukan karena kewajiban setiap Muslim adalah menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat. Dan pengawasannya pun bisa dilakukan dengan cara saling mengawasi dan mengingatkan berdasar Surat Al Ashr. Maka jika kita ingin Semesta Alam ini menjadi "Surga Dunia", hendaknya kita mencari metode yang tepat agar langkah kita tidak berhenti di tahap Usrah (keluarga) saja.

Allahu a'lam bishshawab.

Minggu, 11 Agustus 2013

Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi Muhammad SAW

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 PERJANJIAN HUDAIBIYAH, BUKTI KEJENIUSAN POLITIK NABI MUHAMMAD SAW

   Berkembangnya Agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.
   Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kaum musyrikin Mekah. Ini terjadi pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah. Pada saat itu rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah Haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh Suku Quraisy, penduduk Mekah. Maka setelah terjadi negosiasi beberapa waktu, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai. Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama- sama dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku- suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik menyerang Madinah. Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang dibuat oleh Kaum Muslimin berupa parit. Serta berkat bantuan dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berupa badai yang sangat dingin yang menerpa pasukan musyrikin tersebut. Perang ini dipandang sebagai akhir dari usaha Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin Madinah.
   Sedangkan isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut menurut riwayat, intinya adalah:
  1. Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
  2. Bagi penduduk Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
  3. Bagi penduduk Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
  4. Bagi penduduk selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
  5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah.
  6. Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dipersilahkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.
   Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
  1. Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
  2. Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
  3. Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
  4. Point ini bisa disebut imbang.
  5. Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
  6. Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Pada saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja. Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan seperti itu.
   Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 2 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
  1. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
  2. Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur'an Surat Al Hajj ayat 39- 40.
   Maka dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
   Kemudian dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
   Dalam pada itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan itu benar- benar terjadi. Maka ketika Bani Bakr yang menyatakan berpihak kepada Quraisy dan didukung beberapa tokoh Quraisy diantaranya Ikrima bin Abu Jahal menyerang Bani Khuza'ah yang menyatakan memihak Madinah, Nabi Muhammad segera menyiapkan rencana untuk menghukum Kaum Quraisy. Dan pada akhirnya, terjadilah penaklukan Mekah tanpa perlawanan berarti dari penduduk Mekah.
   Maka tepatlah ketika Kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah, dalam perjalanan turun Surat Al Fath (Kemenangan)....

 إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata

Allahu a'lam bishshawab.

Rabu, 31 Juli 2013

"Ketidak Sempurnaan" Itu Adalah Kesempurnaan

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 "KETIDAK SEMPURNAAN" ITU ADALAH KESEMPURNAAN

   Seandainya baru pertama kali saya membaca Surat Maryam, niscaya pada awal- awal surat ini, saya berpikir ujung dari tiap ayat akan sama semua sampai akhir, yaitu '..yya' atau '...y-a' (Yaa sukun- Hamzah). Tentu saya berharap Surat Maryam ini akan seperti Surat An Naas atau Surat Asy Syams yang akhir ayatnya sama dari ayat pertama sampai terakhir, yaitu 'naas' pada Surat An Naas dan 'ha' pada Surat Asy Syams. Tentu harapan saya semakin besar karena setelah sekian banyak ayat yang saya baca dalam Surat Maryam ini terus menerus berakhir dengan bunyi 'yya' dan 'y-a' tadi, kecuali ayat pertama yang berisi huruf- huruf abjad (Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad). Namun ternyata pada ayat ke- 34 akhirannya berubah tidak lagi berbunyi 'yya' atau 'y-a'. Dan hanya berselang 7 ayat, kembali akhiran 'yya' muncul lagi dari ayat 41 sampai ayat 74, kemudian berubah lagi sampai akhir surat, yaitu ayat 98.
   Bagi saya yang tidak mengetahui seni sastra, terutama sastra Arab, dan hanya tahu bahwa keindahan Syair itu adalah ujung tiap- tiap barisnya seragam, maka tentu awalnya menyayangkan sekali perubahan bunyi dari tiap ayat dalam Surat Maryam tadi. Timbul dipikiran saya, kenapa ayat- ayat yang bunyi akhirannya beda digabung dengan ayat- ayat yang sangat panjang dan bunyi akhir tiap ayatnya sudah sama semua. Apalagi pada ayat 33 itu bisa dijadikan penutup tema cerita, dan ayat 41 pun sepertinya bukan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Kemudian Surat Maryam inipun bisa saja diakhiri di ayat 74, artinya ayat 34- 40 dan ayat 75- 98 dijadikan surat lain, atau digabung ke surat yang lain. Jika demikian "sempurna"lah Surat Maryam ini. Tapi, begitukah?
   Banyak orang, khususnya yang tidak menyukai Islam, suka mencari- cari kelemahan Islam. Salah satu yang mengganggu mereka adalah klaim bahwa Al Qur'an yang ada sekarang ini bukanlah seperti aslinya. Ada pula yang menyangsikan kebenaran penyusunan Al Qur'an yang dilakukan oleh Utsman r.a. Mereka menuduh bahwa dalam penyusunan Al Qur'an ini, Utsman melakukan kesalahan, tebukti ada Al Qur'an versi lain. Namun kenyataannya tuduhan mereka itu tanpa disertai bukti- bukti yang valid, hanya didasarkan kedengkian bahwa kitab suci yang mereka punyai tidak asli seperti Al Qur'an adanya.
   Surat Maryam adalah salah salah satu bukti bahwa Utsman r.a tidak menyusun Al Qur'an menurut keinginannya. Seandainya beliau dalam menyusun Al Qur'an memakai sedikit saja nafsunya, atau seleranya, niscaya beliau akan mencoba menyusun Al Qur'an itu seindah- indahnya seperti selera beliau. Namun karena beliau menyusun Al Qur'an seperti apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW, maka beliau tidak berani merubah- rubah susunan ayat dalam Al Qur'an, apalagi menambah atau mengurangi. Dan jika beliau menyusun Al Qur'an menurut selera beliau, pasti hasilnya tidak akan seindah aslinya, tidak sempurna! Itu hanya akan menjadi seperti syair- syair buatan manusia. Maka meskipun bunyi akhiran tiap ayatnya berbeda- beda, namun Al Qur'an tetap yang paling indah, dan sempurna. Maka dengan perbedaan yang tadinya saya sayangkan, ternyata itu merupakan cara اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjaga keontentikan Al Qur'an. Masyaa Allah.
   Dan seandainya Utsman r.a mencoba merubah Al Qur'an, maka pada saat itu masih banyak para sahabat yang dulunya langsung mendapat bimbingan dari Rasulullah SAW. Dan diantaranya ada Istri Rasulullah SAW yaitu Aisyah, dan sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, yaitu Ali r.a. Dan seperti kita ketahui bahwa sifat Ali r.a sangat tegas, tidak mungkin beliau membiarkan kemungkaran, atau pengkhianatan berada didepan beliau. Tentu Ali r.a lah yang pertama- tama memprotes jika Utsman r.a melakukan tindakan yang tidak sesuai denagn perintah Rasulullah SAW. Seandainya ada alasan bahwa tidak boleh menentang Khalifah, maka tentu Ali r.a bisa merevisi Al Qur'an pada saat beliau menjabat sebagai Khalifah. Namun kenyataannya beliau tidak meralat atau merevisi. Artinya Al Qur'an yang disusun oleh Utsman ini benar- benar seperti apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, persisi seperti yang diketahui oleh Ali r.a.

Allahu a'lam bishshawab.

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? (Asy Syu'araa' 224- 226)

Sabtu, 13 Juli 2013

Baiti Jannati

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

BAITI JANNATI
(SEKUEL DARI 'JANGAN NUNGGU NANTI DI AKHERAT')

   Baiti jannati, atau dalam Bahasa Indonesianya 'Rumahku Surgaku' adalah slogan yang sangat termasyur. Sering kita menemukan pembahasan dengan tema ini di berbagai ruang publik. Tema ini selalu dirangkai dengan pembahasan mengenai keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Pasti pembahasannya akan menjadi sangat indah, bahkan sering dibumbui romantisme dalam keluarga. Tapi di sini kita akan mengupas tema Baiti Jannati ini dari sisi lain secara singkat, yang mungkin tidak semenarik/ sesyahdu pembahasan- pembahasan yang biasa kita temui sebelumnya.
   Menjadikan rumah sendiri sebagai surga, tentulah merupakan keinginan kita semua. Ini karena surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Tapi apakah semua tempat yang berisi kenikmatan adalah surga? Belum tentu. Bisa jadi tempat itu hanya sebagai surga dunia yang lebih cocok diistilahkan sebagai tempat didapatkannya kesenangan dunia yang menipu. Maka disini, kita merefresh kembali makna dari surga itu.
   Seperti yang banyak disebut dalam Al Qur'an dan hadits- hadits, bahwa orang yang beriman dan beramal sholeh akan ditempatkan  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dalam surga. Atau dengan definisi lain, orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (kalaupun melakukan kesalahan segera bertaubat) akan dibalasi dengan surga. Artinya surga adalah suatu tempat yang isinya adalah orang- orang yang beriman dan beramal sholeh, atau orang- orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (atau yang bertaubat jika melakukan kesalahan). Jika penghuninya bukan orang yang mengikuti perintahNya dan atau melanggar laranganNya, maka tempat itu bukanlah surga. Logikanya sederhana, bukan?
   Maka sebuah rumah bisa dikatakan menjadi surga bila di dalam rumah itu dilaksanakan perintah- perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika rumah itu dijadikan tempat untuk ingkar terhadap perintah dan laranganNya, maka rumah itu tidak bisa dikatakan sebagai surga, meskipun penghuninya rukun, saling mencintai, segala kebutuhan tercukupi, bahkan berlebih, rumahnya indah dan nyaman, sejuk, terasa tentram dan damai jika memasukinya. Itu hanya sebagai kenikmatan dunia yang bisa- bisa menjerumuskan penghuninya ke neraka.
   Jika kita kembali kepada kisah manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s, maka ada suatu hal yang menarik untuk kita hubungkan dengan tema ini. Kita tahu bahwa Nabi Adam a.s pada awalnya tinggal di 'Jannah'. Di situ Nabi Adam merasa nyaman, segala kebutuhannya terpenuhi. Namun, ketika Nabi Adam a.s terjebak oleh hasutan syaitan, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى 'menurunkan'nya dari 'Jannah'. Alkisah sejak saat itu Nabi Adam a.s tinggal di bumi ini, bukan di jannah/ surga lagi. Yang menarik adalah sebab keluarnya Nabi Adam a.s dari jannah/ surga adalah karena melanggar perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى untuk tidak menuruti kata- kata Iblis, dan untuk tidak mendekati buah yang dilarang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Dengan dilanggarnya larangan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di tempat itu, maka 'turun'lah status Nabi Adam a.s dari penghuni jannah/ surga menjadi penghuni bumi. Ini karena jannah/ surga bukanlah tempat orang- orang yang melanggar ketentuanNya.
   Maka dari itu, untuk masuk surga tidak perlu menunggu nanti di akherat. Kita mulai sekarang bisa membangun surga kita. Insya Allah jika kita berhasil membangun surga kita di dunia ini, di akherat pun akan menghuni surga pula. Di sana kita akan ditemani bidadari- bidadari surga, menempati tempat yang indah dan nyaman, sejuk, penuh kenikmatan, segala kebutuhan tidak perlu diusahakan melainkan akan terpenuhi sendiri...dst.
   Dan jika kita telah berhasil menjadikan rumah kita menjadi surga kita, mudah- mudahan dengan usaha bersama kita bisa menjadikan kampungku surgaku, berlanjut ke kotaku surgaku, negeriku surgaku, akhirnya menjadi bumiku surgaku seperti waktu Nabi Adam a.s belum melanggar aturanNya... Insya Allah...

 Allahu a'lam bishshawab.

Salam untuk 'Bidadari Surgaku'...(insya Allah)

Minggu, 07 Juli 2013

Rukyah dan Hisab, Kenapa Harus Berbeda?



بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 RUKYAH DAN HISAB, KENAPA HARUS BERBEDA?

   Menyambut Ramadhan, bulan mulia dan penuh kemuliaan. Setiap orang tidak sabar menanti datangnya bulan baru, tanggal 1 Ramadhan. Sayangnya sudah berkali- kali suasana menjelang bergantinya bulan ini terusik oleh perselisihan tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan. Sudah pasti hal ini sangat menggangu perasaan Umat Islam, terlebih bagi mereka yang berada dalam pihak 'hanya mengikuti keputusan' yang berharap agar mereka melakukan ibadah puasa tanpa keraguan.
   Sudah umum kita pahami bahwa perbedaan itu, katanya akibat dari perbedaan metode penentuan, yaitu metode rukyah (melihat hilal dengan mata) dan hisab (melihat hilal dengan perhitungan). Namun rasanya aneh jika hanya karena masalah itu yang menjadi penyebabnya. Hal ini dirasakan karena hampir setiap penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, maupun 1 Zulhijjah terjadi perbedaan. Di sini penulis hanya mencoba memaparkan hal- hal dibalik penetapan tanggal- tanggal di atas, yang mungkin mempengaruhi mempengaruhi hasil pengamatan atau perhitungan.

Metode Rukyah

   Metode ini adalah metode yang dipakai oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pada masa itu menurut para ahli sejarah, Bangsa Arab belum menggunakan hitungan dalam menentukan pergantian bulan. Hal ini terekam juga dalam beberapa hadits (contohnya hadits Bukhari no. 931). Maka metode yang digunakan adalah melihat hilal. Jika cuaca menghalangi hilal, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari (hadits Bukhari no. 928). Jika ada salah seorang yang berhasil melihat hilal, maka cukup untuk menjadi dalil penetapan pergantian bulan ini.
   Kelebihan dari metode ini adalah Rasulullah SAW menggunakannya. Kelemahannya adalah sangat terpengaruh oleh cuaca, serta kejelian orang yang melakukannya.
   Namun di sini saya ingin sedikit memberi komentar. Rasanya tidak bisa dibilang konsisten, orang yang ketika menentukan pergantian bulan dengan cara melihat kejadian alam, namun ketika menetapkan waktu sholat tidak pernah mengamati posisi matahari, yang juga merupakan kejadian alam. Saya yakin dulu di jaman Rasulullah SAW ketika hendak mengumandangkan azan, mereka memastikan bahwa posisi matahari telah berada dalam posisi waktu sholat terkait. Hal ini hampir tidak pernah saya temui selama hidup saya. Bisa dipastikan muazin- muazin sekarang ini cenderung melihat jadwal sholat dan jam.
   Maka sangat bagus jika selain mengamati hilal menjelang pergantian bulan, kita juga mengamati posisi matahari ketika hendak mengumandangkan azan.

Metode Hisab

   Metode hisab adalah menghitung bulan menggunakan sains. Bisa dari hasil pengamatan hal yang terus berulang, maupun menggunakan ilmu astronomi yang lebih modern. Hal ini mudah saja dilakukan, karena perhitungan jumlah hari dalam satu bulan terus berulang dan berselang- seling saja antara 29 dan 30 hari (seperti tertuang dalam hadits Bukhari no. 931). Hal ini juga di-cross check dengan pengamatan satelit.
   Kelebihan dari metode ini adalah bisa menentukan tanggal 1 setiap bulan jauh- jauh hari sebelumnya, bahkan bertahun- tahun sebelum dan juga setelahnya. Dan satu lagi kelebihannya adalah tidak bergantung pada cuaca. Kelemahannya adalah Rasulullah tidak memakai metode ini.
   Jika pengambilan ketetapan dikembalikan pada prinsip bahwa suatu peraturan/ hukum ditetapkan untuk mengambil mashlahat sebanyak- banyaknya dan meninggalkan mudharat sebanyak- banyaknya, maka rasanya metode ini tepat jika diterapkan. Salah satu mashlahatnya adalah Umat Islam mengetahui jauh- jauh hari kapan bulan berganti, sehingga bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dengan sistem rukyah, umat masih menunggu kabar sampai malam. Seperti yang terjadi di Qatar ini, dengan sistem rukyah biasanya pengumumannya baru sampai kepada umat setelah sholat Isya. Satu hal lagi yaitu tidak perlu menyebar orang banyak pada malam pengamatan, karena sudah ditetapkan sebelumnya oleh tim kecil.

Hal Lain Yang Mungkin Mempengaruhi Penetapan.

   Pada akhirnya, biasanya satu pihak akan memulai berpuasa, atau merayakan hari raya bersamaan dengan Umat Islam yang tinggal di Mekah. Dan satu pihak lagi akan melaksanakan hal sama 1 hari setelah Umat Islam di Mekah melaksanakannya. (Hal ini mengesampingkan Umat Islam yang melaksanakan puasa atau merayakan hari raya dengan selisih 2 hari atau lebih). Kira- kira ada apa di balik perbedaan ini? Bagi yang penetapan awal bulannya sama dengan pemerintah Saudi, maka hal ini tidak akan memunculkan perdebatan.
   Ada sekelompok Umat Islam yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka tidak sudi memakai peraturan yang ditetapkan oleh kaum kafir. Jika kaum kafir menetapkan bahwa awal dimulainya hari (pukul 00:00) adalah dari daerah mereka (Greenwich), maka kelompok ini bercita- cita mengubah standardnya menjadi Mekahlah patokan waktu sedunia. Pengaruhnya adalah Mekah akan mengalami pergantian hari pertama kali dibanding wilayah lain (segaris bujur). Artinya pada saat maghrib di Mekah, maka Mekah sudah berganti hari dari Selasa ke Rabu, sedangkan wilayah yang lain termasuk Indonesia pada saat yang sama masih hari Selasa (dalam hitungan kalender yang berlaku sekarang sudah hari Rabu).
   Dengan ide ini, maka wilayah Indonesia akan berada "di belakang" negara Saudi Arabia (Mekah). Akibatnya, meskipun berada di lebih timur dari Mekah yang boleh dikatakan melihat terbitnya matahari dan bulan terlebih dahulu, namun tetap tertinggal 1 hari dari Mekah. Maka ketika Saudi memulai puasa hari Selasa, maka negara- negara itu, termasuk Indonesia, memulainya pada hari Rabu berdasar kalender yang berlaku saat ini. Dalam pandangan orang- oarang idealis di atas, hari itu tetaplah hari Selasa.
   Sedangkan kelompok lain memakai standard bahwa benua yang dihuni sebagian besar manusia ini sambung menyambung dari timur ke barat. Dimulai dari Kepulauan Indonesia sampai ke pantai barat Afrika, kemudian di sebelah baratnya Benua Amerika yang terpisah oleh Samudera Atlantik. Jika dibandingkan, Samudera Pasifik lebih lebar dibanding Samudera Atlantik. Maka layak jika dianggap bahwa tempat terbit matahari adalah dari Samudera Pasifik. Maka hitungan haripun selayaknya dimulai dari kepulauan Indonesia. Hal positif dari standard ini adalah daerah berpenghuni yang termasuk mengalami pergantian hari paling lambat (pantai barat Benua Amerika) berjarak sangat jauh dengan daerah berpenghuni tempat dimulainya perhitungan hari (negara- negara di Asia Timur).
   Pengaruhnya Indonesia mengalami pergantian hari lebih awal dari negara- negara di sebelah baratnya, termasuk Mekah. Maka orang yang tinggal di Indonesia bertemu tanggal 1-nya pun menjadi paling awal. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan puasa dan Sholat 'Id di Indonesia berada dalam hari yang sama dengan Mekah, hanya berselisih hitungan jam saja. Dan karena Mekah termasuk berada di pertengahan, maka selisih waktu antara Mekah dan daerah- daerah lainpun tidak terlalu jauh, tidak sampai 12 jam. Berbeda dengan standard yang dibahas sebelumnya yang selisih waktu antara Mekah dan Jakarta bisa mencapai 19 sampai 20 jam (dengan standard waktu sekarang), apalagi Mekah dengan Afghanistan.

Pilih Yang Mana?

   Maka jika memang yang menjadikan perbedaan awal Bulan Ramadhan, Syawal, maupun Zulhijjah adalah soal idealisme standard semata, silahkan anda pilih sesauai idealisme anda. Yang patut dikhawatirkan adalah jika ternyata di balik perbedaan ini ada unsur kesengajaan untuk membuat Umat Islam resah. Kita semua tahu bahwa dengan perbedaan ini musuh- musuh Islam bersorak kegirangan. Dan mereka dengan segala daya upayanya terus mengganggu ketenangan Umat Islam dan membuat kekacauan. Bahkan banyak pula yang mengaku Islam namun tingkah lakunya merusak Islam. Mereka berharap dengan gamangnya Umat Islam melakukan ibadahnya, maka akan mudah diserang sisi aqidahnya.
   Menurut hemat saya perbedaan yang meresahkan tetap harus dihilangkan. Dan itu bukan hal yang mustahil. Jika anda membaca posting sebelumnya yaitu "Jika Satrio Piningit Muncul" maka Insya Allah anda akan menemukan solusi untuk masalah ini.

Allahu a'lam bishshawab.

Sabtu, 29 Juni 2013

Jika Satrio Piningit Muncul

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

JIKA SATRIO PININGIT MUNCUL

أَلَمْ تَرَ‌ إِلَى الْمَلَإِ مِن بَنِي إِسْرَ‌ائِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ 

أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ وَقَدْ أُخْرِ‌جْنَا مِن دِيَارِ‌نَا وَأَبْنَائِنَا ۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ 

بِالظَّالِمِينَ 

 وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّـهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ 

اللَّـهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّـهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah 2: 246-247)


   Salah satu hikmah mengapa Al Qur'an banyak sekali menceritakan kisah- kisah umat terdahulu adalah supaya kita bisa mengambil pelajaran untuk menghadapi masa kini maupun masa depan kita. Tidak dipungkiri bahwa sejarah selalu terulang, meskipun tidak sama persis. Tapi bisa dikatakan skenarionya tidak jauh berbeda.
   Demikian pula kisah di atas. Kebetulan saya mempunyai kesempatan berinteraksi dengan kaum muslim dari beberapa negara, India, Pakistan, Syiria, dan beberapa lagi. Bagi mereka yang peduli dengan kondisi umat Islam di dunia saat ini, ada beberapa hal yang sama yang muncul setiap ngobrol dengan tiap- tiap orang. Dan jika saya cermati, maka point- pointnya tidak jauh berbeda dengan kisah di atas.

Umat Islam sekarang ini dalam kondisi lemah.
   Kekacauan- kekacauan yang terjadi di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tak lepas dari campur tangan negara- negara kafir yang tidak menyukai Islam. Bahkan jika kita tengok di dalam negeri, setiap ada konflik antar agama, maka pertama kali yang ditunjuk sebagai tersangka adalah pihak Muslim. Begitu juga ketika ada kasus teror atau pengeboman, segera pihak- pihak yang tidak menyukai Islam menunjuk ke pihak Muslim. Ini membuktikan bahwa posisi umat Islam saat ini sangat lemah sehingga dengan mudahnya menjadi bulan- bulanan pihak kafir.
   Maka tidaklah berlebihan jika kisah di atas bisa disamakan dengan kondisi Umat Islam sekarang ini. Pada kisah di atas ketidakberdayaan Bani Israil tercermin dalam kalimat: Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?".

Umat Islam menginginkan persatuan antar Muslim sedunia di bawah satu komando.
   Orang- orang yang sempat berdikusi dengan saya selalu melontarkan hal yang sama, bahwa saat ini umat Islam lemah karena tidak adanya persatuan antara sesama Muslim sendiri. Mereka yakin bahwa jika Umat Islam sedunia bisa bersatu, maka tidak akan ada yang berani macam- macam dengan Umat Islam, baik secara individu maupun dalam skala negara.
   Jika kita simak keyakinan mereka ini, maka ini sungguh cocok dengan keyakinan pemuka- pemuka Bani Israil itu. Hasil analisa mereka menyatakan bahwa kelemahan mereka disebabkan mereka tidak mempunyai pemimpin yang kompeten untuk memimpin mereka. Mereka yakin jika mereka mempunyai raja yang kompeten, maka mereka akan bisa mengalahkan musuh yang menindas mereka. Maka dari itu, mereka meminta kepada nabi mereka supaya dipilihkan seorang raja yang mampu mempersatukan mereka, dan memimpin mereka dalam menghadapi penindas.

* * * * *

   Jika memang kondisinya sudah sama, maka mari kita coba mengambil pelajaran dari kisah di atas untuk menghadapi kondisi sekarang dan masa depan kita.

Pemimpin tidak harus yang populer atau berkedudukan tinggi (kaya).
   Nabi mereka mengangkat Thalut atas kehendak Allah untuk menjadi pemimpin mereka. Di mata mereka, Thalut bukanlah siapa- siapa. Dia hanya seorang miskin dan bukan berasal dari keluarga terhormat. Namun, syarat untuk menjadi pemimpin bukanlah itu, tapi pemimpin hendaknya mempunyai ilmu yang luas dan karena dia juga merangkap menjadi panglima perang, maka diapun disyaratkan mempunyai fisik yang kuat, meskipun bukan yang terkuat. 
  Maka, sangat mungkin salah jika kita memilih pemimpin hanya karena kepopulerannya, hanya karena kekayaannya, atau karena dia berasal dari keluarga yang terhormat. Apalagi hanya karena sebelum memilih mendapat amplop.... Pemimpin se,acam itu, yang tidak punya kemampuan memadai, tidak akan sanggup mengentaskan umatnya dari krisis, bahkan mungkin semakin menenggelamkan.

Tidak mundur jika pemimpin memberi perintah.
   Kewajiban dari bawahan adalah mematuhi pimpinan. Ini paten, di manapun, baik di pemerintahan, kemiliteran, atau di tempat kerja. Pengecualian hanya jika pemimpin menyuruh berbuat maksiat. Tapi apa yang terjadi dalam kisah di atas? Banyak yang mundur ketika pemimpin mereka memerintahkan sesuatu yang berat, dalam hal ini berperang. Padahal mereka sendirilah yang meminta dipilihkan pemimpin untuk berperang. Maka orang- orang semacam ini diberi stempel zhalim oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . 
* * * * *

   Di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, kita sudah akrab dengan istilah Satrio Piningit. Dia diyakini akan mampu memimpin umatnya untuk bangkit dan membawa kejayaan. Jika kita kaitkan dengan kondisi Umat Islam saat ini yang sedang mencari pemimpin, rasanya istilah Satrio Piningit ini bisa kita gunakan untuk menjuluki pemimpin kita nanti. Tapi sebelumnya kita jauhkan embel- embel suku, ras, bangsa, dan sebagainya, karena kelak kepemimpinannya bersifat global, tidak hanya di suatu area yang sempit saja.
   Hanya saja yang jadi pertanyaan, sudah siapkah kita mengikuti (sendika dhawuh/ sami'na wa'atho'na) kepada Sang Satrio Piningit kelak? Jangan- jangan ketika pemimpin yang tadinya kita harap- harapkan benar- benar datang, kita malah mengingkarinya. Maka dari itu, kita harus menyiapkan diri kita sendiri, keluarga, dan siapa saja yang mampu kita ajak untuk bersiap- siap jika waktunya datang. Saya sangat meyakini bahwa hal ini pada saatnya akan terjadi. Maka yang harus kita persiapkan adalah:

  1. Mengenali kriteria pemimpin yang kompeten dengan jabatannya. Jelas nantinya akan banyak calon pemimpin yang muncul. Maka kuncinya adalah jika sang pemimpin menyandarkan segala permasalahan kepada Al Qur'an dan Sunah (QS 4: 59), maka dialah pemimpin yang wajib kita ikuti. Jangan sampai kita salah dalam menyikapi, ketika muncul pemimpin yang haq kita tidak mengikutinya, atau sebaliknya saat ada pemimpin yang mengusung sistem dajjal kita malah tertipu dan mengikutinya.
  2.  Patuh dan taat kepada pemimpin yang haq meskipun berat. Kita harus menyiapkan mental kita untuk menaati perintah pemimpin. Ini sangat berat, makanya kita harus bersiap sejak dini. Dan batas untuk ditaatinya jelas, yaitu tidak menyuruh kepada maksiat. Jangan sampai stempel zhalim dari  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menempel pada kita.
   Namun seperti kisah yang tertulis di awal tulisan, maka kelak yang terjadi adalah banyak Umat Islam yang tidak mengikuti pemimpin ini. Dan hanya sedikit saja yang mau mengikutinya. Ini yang saya yakini sebagai sejarah akan terulang kembali. Tapi sedikitnya jumlah Umat Islam yang mau bersatu tidak menghalangi untuk mencapai kejayaan. Karena barang siapa yang bersedia menaati pemimpinnya meskipun printahnya sangat berat, maka bisa diukur bahwa kualitasnya sangat tinggi. Ini yang dibuktikan oleh Bani Israil saat itu. Dengan jumlah yang sedikit mereka mampu mengalahkan tentara penindas yang dipimpin oleh Jalut, manusia yang sangat perkasa. Dan bahkan mampu menurunkan generasi yang sangat hebat, terbukti di kemudian hari muncul kerajaan yang tiada banding yang dipimpin oleh Sulaiman.

Allahu a'lam bishshawab.


Jumat, 28 Juni 2013

Kala Bersedekah Menjadi "Pesugihan"


بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

KALA BERSEDEKAH MENJADI "PESUGIHAN'

   Tentu kita, terutama yang berasal dari Suku Jawa, sudah akrab dengan istilah "pesugihan". Seseorang yang karena hidupnya sengsara dalam kemiskinannya, dan tidak kuat lagi menanggungnya, maka jalan pintas yang diambil adalah memelihara pesugihan. Banyak macam pesugihan, antara lain tuyul, babi ngepet, kandang bubrah, jaran pinoleh, sampai pada tokoh Nyi Blorong. Semua jenis pesugihan itu disyaratkan mempersembahkan tumbal, umumnya berupa jiwa, baik diri sendiri maupun orang lain. Semua sudah sepakat bahwa hal ini adalah sesat, dan semua juga meyakini bahwa setelah si pelaku pesugihan meninggal, maka arwahnya akan sengsara.
   Dari dahulu sampai sekarang, memang menjadi salah satu keinginan manusia untuk menjadi kaya. Sayangnya banyak orang yang menginginkannya secara instan. Tidak peduli halal atau haram, masuk akal atau tidak, mereka menginginkan menjadi kaya. Maka banyak orang yang justru memanfaatkan orang- orang semacam itu, misalkan orang yang mengklaim bahwa dia bisa melipatgandakan uang. Atau menyediakan semacam jimat atau mantra- mantra supaya rejeki lekas datang. Pada akhirnya tidak sedikit yang tertipu. Setelah menyerahkan uang yang cukup banyak, atau membayar tarif yang lumayan mahal, akhirnya kecele, uang hilang dan tidak dapat ganti.
   Banyak juga yang sadar bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan dosa, tapi toh tetap ingin kaya dengan cara instan. Lalu, akhirnya mereka mendapat alternatif yang bukan hanya tidak dosa tapi malah mendapat pahala (katanya) dan bisa membuat mereka kaya. Ditambah lagi sudah banyak yang membuktikan. Apa itu?
   Setiap kali saya pergi ke toko buku, banyak saya temukan buku yang mengulas cara mendapatkan rizqi dengan cara bersedekah. Silahkan anda cek ke toko buku manapun, ke bagian Agama Islam, niscaya anda akan menemukan bermacam- macam judul buku yang kira- kira temanya "Kedahsyatan Sedekah", atau "Dengan Sedekah Menjadi Kaya", dan semacamnya. Selain itu beberapa kali saya terlibat perbincangan dengan tema yang sama, entah sumbernya dari ceramah, membaca atau melihat video di internet.
   Apakah memang sedekah bisa membuat pelakunya menjadi kaya? Jawabannya jelas: YA.  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  sendiri yang menjamin. Ini tertuang salah satunya dalam Surat Al Baqarah ayat 276:

  يَمْحَقُ اللَّـهُ الرِّ‌بَا وَيُرْ‌بِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّـهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ‌ أَثِيمٍ

  Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al Baqarah 2: 276)

Dari ayat di atas bisa diartikan bahwa barang siapa yang bersedekah, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  akan menyuburkan/ menjadikan yang disedekahkan itu berlipat ganda. Jadi memang tidak salah bahwa dengan bersedekah maka dia akan mendapat balasan yang berlipat- lipat. Jadi apa dong permasalahannya?

 
Melipatgandakan uang.
   Yang jadi masalah adalah ketika orang yang bersedekah mengharapkan balasan yang lebih banyak (di dunia), atau sedekahnya sebagai jalan agar cita- cita atau keinginannya tercapai. Jelas ketika orang menginginkan dirinya kaya, berarti dia bersedekah untuk mendapat balasan yang lebih banyak, dan bisa dikatakan bukan karena Allah. Mari kita renungkan Al Qur'an Surat Al Muddatsir ayat 6 berikut:

  وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ‌
 
  dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.  

Nah, sudah jelas larangannya. Jika bermaksud untuk mendapat balasan yang lebih banyak, maka niat lillahi ta'ala-nya hilang. Tapi sudah banyak bukti bahwa dengan bersedekah orang- orang itu menjadi kaya, atau tercapai keinginannya, paling tidak mendapat ganti yang berlipat- lipat! Berarti diterima dong sedekahnya oleh  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى! Ya, tentu sedekah mereka tidak akan sia- sia begitu saja, baik lillahi ta'ala maupun bukan, tetap saja janji اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sudah tetap dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Tapi ada baiknya kita renungkan Al Qur'an Surat Asy Syura ayat 20 berikut:

 مَن كَانَ يُرِ‌يدُ حَرْ‌ثَ الْآخِرَ‌ةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْ‌ثِهِ ۖ وَمَن كَانَ يُرِ‌يدُ حَرْ‌ثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَ‌ةِ مِن نَّصِيبٍ

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (QS Asy Syura 42: 20)

Jelas sekarang bahwa memang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  memberi balasan kepada orang yang bersedekah karena menginginkan balasan di dunia, namun balasan itu hanya sebagian keuntungannya saja, bukan semuanya, sedangkan di akherat (pahala) ia tidak mendapat sama sekali. 
    Memang betul dengan bersedekah maka hidup akan lebih baik, tapi jika niatnya bukan lillahi ta'ala, maka tidak ada pahala baginya sedikitpun. Jangan sampai amal mulia kita justru menjadi seperti "ngingu pesugihan" atau upaya melipatgandakan uang. Bedanya yang ini tidak berdosa dan tanpa tumbal. Dan dari renungan di atas maka sedekah semacam ini tidak bisa dikatakan mendapat pahala. Sungguh sangat disayangkan jika nanti di akherat kita tidak mendapatkan balasan sedekah kita. Sedangkan bagi yang bersedekah dengan niat lillahi ta'ala, ikhlas, tanpa mengharap suatu balasan, maka untuknya balasan/ keuntungan di dunia dan di akherat. Mungkin saja kelihatannya dia tidak mendapat balasan di dunia, tapi siapa tahu balasannya nanti dibayar kontan di akherat.
   Ada kisah seseorang yang bersedekah dari hasil menjual HP bututnya kemudian merasa mendapat keuntungan/ balasan sampai miliaran rupiah, maka jika dia niatnya lillahi ta'ala, maka bisa kita bayangkan bahwa uang miliaran itu hanya sebagian saja, bagian yang lebih besar lagi masih akan diterima di akherat, betapa besarnya!  
   Namun satu lagi kaidah bersedekah supaya tidak hapus keuntungan kita di akherat, yaitu seperti yang tercantum dalam Al Qur'an Surat Al Insan ayat 9:

  إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِ‌يدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورً‌ا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. 

Jika mengharapkan ridha dari  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  maka mestinya kita tidak mengharap balasan, bahkan sekedar mengharap ucapan terima kasihpun akan membatalkan keridhaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .

Allahu a'lam bishshawab. 

  

Minggu, 12 Mei 2013

Joko Bodho Bicara Tentang Penciptaan Alam Semesta





بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

JOKO BODHO BICARA TENTANG PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

   Dalam legenda Jawa, Joko Bodho adalah seorang anak yang memiliki IQ rendah, sehingga selalu salah dalam memahami segala sesuatu. Namun di sini saya menyebut diri sebagai Joko Bodho tidak separah tokoh dalam legenda tersebut. Saya hanya mengakui bahwa diri saya sangat bodoh, sehingga pantas diberi panggilan Joko Bodho. Jadi tulisan berikut adalah hasil pemikiran orang bodoh yang hanya sedikit mengetahui teori- teori modern.

Penciptaan Alam Semesta Tidak Memerlukan Bahan Baku

   Bilangan 0 (nol) adalah penemuan besar yang dicapai oleh manusia. Angka ini mempunyai banyak fungsi, antara lain membatasi banyaknya angka yang dipakai sehingga menjadi 10 angka saja (yaitu 1,2,3,4,5,6,7,8,9, dan 0 itu sendiri). Sebelumnya untuk menyatakan bilangan milyaran, manusia membutuhkan banyak sekali angka/ simbol. Selain itu, angka 0 juga menunjukkan ketiadaan. Segala sesuatu yang tidak ada bisa dilambangkan dengan angka 0 ini. Jadi, jika saya mengatakan bahwa alam semesta diciptakan tanpa bahan baku, maka bisa saya bilang bahwa alam semesta diciptakan dengan bahan baku 0.
   Kita lihat rumus sederhana berikut ini:

  • 1 + (-1) = 0, sama saja jika kita menulis:
  • 100 + (-100) = 0, atau apapun angkanya:
  • 36719703 + (-36719703) = 0
Mungkin anda bertanya- tanya, apa hubungannya angka- angka di atas dengan penciptaan alam semesta? Tentu anda pernah mendengar, atau bahkan tahu persis mengenai teori anti materi atau anti partikel bukan? Anti materi merupakan lawan dari materi itu sendiri. Dalam teori ini, jika materi bertemu dengan anti teori yang pas, maka materi itu akan hilang, atau lenyap, atau dalam bahasa kita di sini, menjadi 0. Kemana perginya? Menurut teori itu materi itu berubah menjadi energi. Nah, jika energi bertemu dengan anti energinya, berubah jadi apa lagi? Yang jelas apapun hasilnya, jika dipertemukan dengan antinya, maka akan lenyap alias jadi 0.
Lalu kita lihat persamaan di bawah ini:

  • 0 = 1 + (-1), sama saja jika kita menulis:
  • 0 = 100 + (-100), atau apapun angkanya:
  • 0 = 36719703 + (-36719703)
Lho, bukannya sama saja dengan yang sebelumnya? Ya, betul, cuma di sini angka 0 nya ada di depan. Maksudnya adalah, persamaan sebelumnya menggambarkan bahwa materi yang bertemu anti materinya akan menjadi 0. Di sini, dari angka 0, Sang Pencipta bisa 'seenakNya' menciptakan segala sesuatu, dengan menciptakan antinya juga. Maka, jika Dia berkehendak, amat mudahlah Dia melenyapkannya.
   Suatu saat, saya meminjam uang dari bank. Uang ini cukup untuk membeli sebuah mobil sedan baru. Padahal sesaat sebelum pinjaman itu cair, uang saya jauh dari cukup untuk membeli mobil itu. Lha terus dari mana datangnya uang ini? Ternyata saldo saya di bank jika disumarykan hasilnya adalah minus... Ini yang ada dalam pikiran Joko Bodho.

Memikirkan Terjadinya Pelangi

   Pada jaman legenda Joko Bodho dulu, pelangi dianggap sebagai jalan bidadari yang mau turun ke bumi. Sekarang kita tahu bahwa pelangi adalah hasil dari pembiasan cahaya matahari oleh butiran- butiran air. Joko Bodho melihat pelangi tidak sekedar untuk menikmati keindahannya.
Pelangi. Sumber foto: wikipedia.org
  Jika memang pelangi yang warnanya bermacam- macam dan sangat indah itu berasal dari cahaya matahari yang tidak berwarna, maka sangat menarik jika kita hubungkan dengan penciptaan alam semesta ini. Seolah- olah pelangi yang merupakan bagian kecil dari alam semesta ini menggambarkan (dengan penuh warna) penciptaan alam semesta secara keseluruhan. Ya, jika kita anggap sinar matahari tidak mempunyai warna (berarti warna dari cahaya matahari = 0), dan warna pelangi adalah mejikuhibiniu atau merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, maka bisa kita buat persamaan matematikanya:

----> warna cahaya matahari = warna pelangi
----> 0 = merah + jingga + kuning + hijau + biru + nila + ungu
----> merah + jingga + kuning + hijau + biru + nila + ungu = 0

Secara skala laboratorium, tentu kita pernah melakukan percobaan mengarahkan lampu senter ke arah prisma kaca. Dari cahaya senter yang asalnya tidak berwarna, setelah melewati prisma kaca tersebut akan membentuk 7 warna pelangi.
Percobaan cahaya melewati prisma kaca. Sumber gambar: wikipedia.org
Mungkin seperti inilah filosofi penciptaan alam semesta. Tentu, Sang Pencipta mempunyai tekhnologi yang super canggih untuk menciptakannya. Maka, dalam sebuah ayat Al Qur'an, kita bisa menemukan teori penciptaan alam semesta.

أَوَلَمْ يَرَ‌ الَّذِينَ كَفَرُ‌وا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضَ كَانَتَا رَ‌تْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

  Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

   Dan jika kita letakkan satu prisma kaca secara terbalik di sisi warna pelangi tersebut, maka cahaya yang didapat adalah kembali seperti semula. Percobaan lain yang bisa dilakukan adalah dengan memotong kertas putih tebal sehingga membentuk lingkaran. Kemudian kertas putih itu diwarnai dengan warna ketujuh warna pelangi tersebut. Masing- masing warna menempati 1/7 bagian dari lingkaran (satu warna membentuk 1/7 lingkaran). Kemudian tepat di tengah lingkaran tersebut kita tusuk dengan pensil sehingga pensil tersebur menancap. Selanjutnya pensil dan kertas tersebut kita putar seperti gangsing. Maka bisa kita temukan, warna yang terlihat adalah warna asal dari kertas tersebut, yaitu putih. Dengan kata lain, ketujuh warna itu lenyap.

Lenyapnya Suatu Materi Tidak Mesti Bertemu Dengan Negatifnya

   Dari pengamatan pelangi di atas, maka Joko Bodho berpikir bahwa materi bisa saja hilang tanpa harus bertemu dengan anti materinya. Atau bisa jadi, dan kemungkinan, yang terjadi adalah sangat komplek. Dimana gabungan beberapa materi bertemu dengan gabungan beberapa anti materi akan menjadikan beberapa materi tersebut lenyap. Atau mungkin anti materi dari sesuatu, atau kumpulan sesuatu ternyata berbentuk materi juga? Allahu a'lam bishshawab.

Kesimpulan Joko Bodho

   Jika anda mempunyai ilmu tentang hal ini, maka Joko Bodho dengan senang hati akan belajar dari anda. Komentar anda sangat ditunggu, agar اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberi kita pemahaman yang lebih mendekati kebenaran.
   Akhirnya Joko Bodho berkeyakinan bahwa jika alam semesta ini disatukan lagi, maka disana akan bertemu materi dan anti materi, entah bagaimana wujudnya. Yang jelas, Sang Pencipta yang telah menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan (0) mempunyai tekhnologi yang dengan mudah akan melenyapkannya (menjadikannya 0 kembali)...
   Maka, pada hakekatnya kita ini adalah 0. Hanya  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sajalah yang 1.

Jumat, 10 Mei 2013

Memahami Objek Dakwah


بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 MEMAHAMI OBJEK DAKWAH

   Kita semua tahu bahwa Agama Islam mampu bertahan sampai sekarang ini, dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, adalah berkat kesuksesan dakwah Nabi Muhammad SAW. Beliau dari seorang diri, mampu mengkader ribuan orang pada masanya untuk tertarik kemudian menjadi pemeluk Islam, dan berikutnya istiqomah dalam menjalankannya. Tentu kesuksesan dakwah beliau SAW tidak begitu saja terjadi, pasti metode dan manajemen dakwah beliau mempunyai andil yang besar, meskipun tentu pertolongan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak bisa dipisahkan.
   Salah satu unsur yang menentukan keberhasilan  dakwah Rasulullah SAW adalah beliau mampu memahami objek dakwahnya. Beliau memahami sifat dan karakter orang yang akan beliau dakwahi. Maka, di luar anggota keluarga, yang pertama beliau dakwahi adalah Abu Bakar r.a. Ini bisa kita maklumi karena Abu Bakar r.a. lah sahabat terdekat beliau. Beliau mengenal betul sosok yang didakwahinya, dan yakin akan mudah menerima apa yang dibawanya.
   Kemudian seperti yang mahsyur diceritakan dalam kisah- kisah siroh nabawiyah, Rasulullah melakukan dakwah sembunyi- sembunyi, dengan menemui kaumnya secara empat mata, ataupun dalam jumlah yang sedikit. Tujuannya adalah menyesuaikan metode ataupun isi dakwah dengan orang yang didakwahi. Seandainya beliau menghadapi banyak orang, tentu saja akan lebih sulit menyesuaikan materi dan metode dakwah beliau, karena masing- masing orang punya karakter dan tingkat pemahaman yang berbeda- beda. Dengan cara ini, beliau berhasil mengajak beberapa orang untuk masuk Islam, dan terbukti kemudian menjadi pemeluk Islam yang sangat kokoh imannya.
   Jika kita gali, maka akan sangat banyak yang kita pelajari dari manajemen dakwah Rasulullah SAW, namun di sini kita hanya sedikit membahas salah satu metodenya, yaitu berdakwah secara bertahap. Ini sangat erat kaitannya dengan metode turunnya Al Qur'an yang berangsur- angsur. Tujuannya adalah seperti yang difirmankan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  dalam Al Qur'an Surat Al Furqan (25): 32

  وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُ‌وا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْ‌آنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَ‌تَّلْنَاهُ تَرْ‌تِيلًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS 25: 32)

   Di sini bisa kita pahami bahwa tujuan diturunkannya Al Qur'an secara berangsur- angsur adalah supaya hati orang- orang yang beriman menjadi kuat, dalam artian tidak kaget (karena menerima sesuatu yang luar biasa), dan untuk mempermudah memahami dan menghafalkannya secara benar. Jika Al Qur'an itu diturunkan atau disampaikan seketika, maka akan sulit diterima karena jauh bertentangan dengan kultur pada saat itu. Demikian pula ketika menyampaikan Al Qur'an (berdakwah), Rasulullah pun menyampaikan secara berangsur- angsur, disesuaikan dengan tingkat pemahaman objek dakwah yang beliau hadapi. Dalam suatu hadits, beliau bersabda,

"Tidaklah engkau mengatakan sebuah perkataan kepada suatu kaum yang akal mereka belum memahami perkataan tersebut, melainkan sebagian mereka akan tertimpa fitnah"
(HR Muslim No. 14, Al Muqadimah, Bab An Nahyi 'Anil Hadits Bikulli Ma Sami'a)

 Dari hadits di atas bisa kita pahami pentingnya memahami kondisi objek dakwah. Bila kita menyampaikan sesuatu yang, katakanlah terlalu jauh untuk dipahami oleh objek dakwah, maka yang akan terjadi malah bisa mencelakakan si objek dakwah karena menentang dakwah yang kita sampaikan. Sebagai gambaran adalah ayat- ayat yang mula- mula turun (fase Mekah) membahas masalah ketauhidan, kebangkitan setelah mati, surga dan neraka. Sangat sedikit ayat yang berhubungan dengan masalah sosial, kenegaraan, dan hukum- hukum. Aisyah r.a pernah menyampaikan, bahwa jika saat itu penduduk mekah dilarang untuk berzina, maka mereka pasti akan bersumpah untuk tidak meninggalkan zina selama- lamanya. Namun karena yang didakwahkan terlebih dahulu adalah pembalasan nanti setelah berbangkit, maka mereka sanggup meninggalkannya.
   Contoh lain adalah masalah hukum meminum minuman keras atau khamr. Kita bisa menemukan 4 ayat yang berhubungan dengan hukum meminum khamr ini. Secara tertib turunnya, maka tahap- tahap sampai kepada pengharamannya adalah sebagai berikut:

QS An Nahl (16): 67

وَمِن ثَمَرَ‌اتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرً‌ا وَرِ‌زْقًا حَسَنًا ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS 16: 67)

QS Al Baqarah (2): 219






يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ‌ وَالْمَيْسِرِ‌ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ‌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ‌ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّـهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُ‌ونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS 2: 219)

QS An Nisaa (4): 43

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَ‌بُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَ‌ىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِ‌ي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْ‌ضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ‌ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورً‌ا


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS 4: 43)

QS Al Maidah (5): 90

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ‌ وَالْمَيْسِرُ‌ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِ‌جْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS 5: 90)

   Selanjutnya bisa kita gambarkan dalam diagram berikut, dimana garis hitam adalah batas keislaman manusia, yang terus dipersempit dengan turunnya ayat- ayat Al Qur'an yang berangsur- angsur, untuk menuju syarat pemeluk Islam bisa dikatakan sudah masuk secara kaffah.

Contoh pelaksanaan hukum meminum khamr yang berangsur- angsur.

    Kita perhatikan bahwa ketika turun QS 16: 67, orang mukmin masih diperkenankan meminum khamr, ayat ini hanya menceritakan kondisi saat itu. Kemudian ketika turun QS 2: 219, ini merupakan warning bahwa اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menyukai orang yang meminum khamr. Bagi yang memahami maksud ayat tersebut, maka mereka segera bergeser dari wilayah bintang berwarna merah ke arah pusat lingkaran. Ada yang langsung paham sehingga ia langsung masuk ke wilayah lingkaran dengan bintang hijau, ada yang sekedar mengurangi aktivitas meminum khamr sehingga dia hanya bergeser ke wilayah bintang oranye. Tapi bagi yang masih tinggal di wilayah bintang merah, mereka akan kesulitan jika nantinya turun larangan yang lebih keras.
   Ketika turun QS 4: 43, maka yang tidak mematuhi bisa terkena dosa besar, ini karena sholat mereka tidak diterima. Namun meminum khamrnya sendiri masih diperbolehkan. Hingga ketika turunnya QS 5: 90, maka yang masih meminumnya tidak bisa dikatakan telah masuk Islam secara kaffah, dan setiap kali meminumnya, maka ia mendapat dosa.
   Jika kita ambil pelajaran, maka untuk menguatkan hati, artinya siap untuk menerima perintah atau larangan selanjutnya yang mungkin lebih berat untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, maka diperlukan penyampaian ajaran Islam secara berangsur- angsur. Jika tidak, bisa jadi niat kita menyelamatkan si objek dakwah, tapi yang terjadi malah kita menjerumuskan dia ke neraka.
   Untuk itu bagi para penbaca, mohon tidak sungkan- sungkan menyampaikan komentar, untuk meminimalisir kesalahan penafsiran tentang tulisan- tulisan saya. Ini sangat mungkin terjadi karena pilihan kata yang saya pakai belum tentu pas dengan pemahaman anda sekalian. Jazakulloh khoir.

Allahu a'lam bishshawab.