Rabu, 14 November 2012

Solusi Dan Larangan

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

SOLUSI DAN LARANGAN

   Umat Islam adalah umat yang paling mulia di dunia ini. Salah satu sebabnya adalah karena Umat Islam selalu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS Ali Imran 3: 110). Artinya setiap mukmin wajib melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar ini, jika ingin mendapat predikat bagian dari Umat Islam. Caranya bisa bermacam- macam, sampai yang paling tipis adalah mengingkari sebuah kemungkaran hanya di dalam hatinya saja, tanpa tindakan nyata.
   Banyak pula yang sangat bersemangat dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar ini. Ada yang melakukan secara halus, ada pula yang sudah menggunakan kekuatan, biasanya mereka melakukannya secara berkelompok. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal, bahkan ada juga yang justru merendahkan citra Umat Islam sedangkan misi yang mereka tuju gagal total.
   Dalam Al Qur'an, seringkali اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memerintahkan kita untuk meninggalkan suatu perbuatan buruk, dan menyuruh kita menggantinya dengan perbuatan yang baik. Contohnya saya ambil masalah riba. Dalam QS Al Baqarah 2: 275, Allah SWT mengatakan bahwa riba adalah haram, dan jual beli adalah halal. Artinya, untuk mendapatkan keuntungan, kita dilarang melakukan riba, sebagai alternatif atau solusinya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى meridhoi kita untuk melakukan jual beli. Dalam ayat selanjutnya, yaitu QS Al Baqarah 2: 276, Allah SWT menyatakan bahwa Dia memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Artinya daripada mengambil keuntungan duniawi dengan cara memungut riba, lebih baik meniatkan meminjamkan uang untuk membantu sesama, dan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memberinya keuntungan di akherat secara berlipat ganda. Ini adalah solusi yang lebih baik, baik bagi si peminjam uang karena tidak terbebani bunga hutang, baik bagi si pemberi hutang karena mendapat pahala, dan baik pula bagi masyarakat.
   Kita bisa mengambil pelajaran dari contoh kedua ayat di atas. Sebuah larangan seyogyanya diikuti dengan solusi. Bisa jadi seseorang melakukan perbuatan munkar karena dia tidak tahu alternatif lain yang benar. Atau tidak sanggup melakukan hal lain karena kelemahannya. Contohnya rentenir yang karena tidak mau susah- susah bekerja, maka cukup dengan memperjual belikan uang. Contoh lain seorang penjual minuman memabukkan, karena dari menjual minuman memabukkan itu dia mendapat untung yang besar dan pelanggan setia, maka bahagialah dia dengan menjual minuman memabukkan itu.
   Jika kita ingin melakukan amar ma'ruf nahi munkar, maka sebaiknya kita mempunyai solusi juga agar orang yang menjadi objek kita bisa benar- benar berubah. Misalnya jika kita meminta si penjual minuman memabukkan untuk berhenti menjual dagangannya, pasti dia menjawab "memang anda mau menanggung biaya hidup keluarga saya?" Jawaban yang sama akan keluar dari pelaku kemunkaran yang disebabkan desakan ekonomi. Misalnya PSK, calo tiket, rentenir, dll. Maka sebelum kita melarang, mestinya kita sudah menyiapkan alternatif sebagai pengganti lahan mata pencaharian mereka.
   Memang tidak mudah. Tapi itulah tantangan berjuang di jalan Allah. Terkadang ada orang yang kuat baik secara wibawa atau pengaruh, ekonomi, dan intelektualitasnya. Orang seperti ini mungkin akan bisa melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan baik. Tapi, seandainya kita tidak termasuk orang seperti itu, maka team work mutlak diperlukan. Insya Allah tentang team work ini akan kita bahas di edisi berikutnya berjudul "Mentadaburi Rumah Kita".
   Yang menarik dari kata- kata amar ma'ruf nahi munkar, yang dalilnya bisa kita temukan di QS Ali Imran ayat 104, 110, dan 114, maka jika kita pandang kata- kata amar ma'ruf nahi munkar itu sebagai satu kesatuan, atau kata nahi munkar adalah kelanjutan dari amar ma'ruf, maka kita memang bisa menyimpulkan bahwa hal yang kita inginkan untuk dikerjakan orang lain berhubungan erat dengan hal yang orang itu kita cegah untuk melakukannya. Dengan kata lain memang perlu adanya solusi sebelum kita mencegah hal- hal yang mungkar.
   Dan satu lagi syarat yang harus terpenuhi dalam beramar ma'ruf nahi munkar adalah orang yang kita jadikan objek haruslah orang mu'min pula. Ini berdasar definisi amar ma'ruf nahi munkar oleh Anshary Ismail dalam bukunya Jalan Islam halaman 282. Berarti sebelum melakukan, kita harus yakin dulu bahwa orang yang kita jadikan sasaran adalah orang Islam juga, yang sepakat, atau nantinya tahu bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan munkar. Bayangkan jika kita menyuruh orang untuk tidak berjualan 'sate jamu' atau 'sengsu' ternyata orang itu beragama lain, ya tidak akan berarti. Di sini yang berlaku adalah lakum diinukum waliyadiin, bukan amar ma'ruf nahi munkar.
   Maka dari sini kita tahu mengapa sweeping tempat- tempat mesum tidak pernah mendapatkan hasil nyata, ya karena yang kita jadikan objek amar ma'ruf nahi munkar bukan orang mu'min, dan kita tidak menawarkan solusinya. Mestinya KTPnya saja yang kita sweeping.....*_*

Allahu a'lam bishshawab.

Dukhan, Qatar.
1 Muharam 1434 H

Jumat, 09 November 2012

Kenapa Kita Tidak Vegetarian?

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

KENAPA KITA TIDAK VEGETARIAN?

   Topik ini sebenarnya sudah saya siapkan sejak lama. Waktu itu saya sempat sharing ke beberapa teman dengan judul 'Menjawab Pertanyaan Sang Vegetarian'. Di situ saya menulis bahwa saya sudah mempersiapkan jawaban kalau- kalau suatu saat diserang pertanyaan oleh teman saya yang beragama lain yang merupakan seorang vegetarian.
   Teman saya itu, sekarang bekerja satu shift dengan saya, sering mengkritik sikap orang- orang Islam dalam kesehariannya. Pernah dia bertanya kepada kompatriotnya saat berada di mobil jemputan,"apa makna Id? Sesudah sholat terus makan- makan. Pelajaran moral apa yang didapat dari hal ini?" Waktu itu saya diam saja, karena kalaupu dijelaskan waktu yang sempit nggak bakalan cukup. Di Bulan Ramadan dia sempat bertanya kepada saya, "puasanya orang Islam itu menyiksa, andaikan kita diperbolehkan minum, pasti akan lebih baik bukan?" Waktu itu saya belum menyadari kalau dia sedang menyerang agama saya. Saya hanya menjawab,"nggak juga, buktinya tanpa makan dan minum kami tetap bisa menjalankan aktivitas seperti biasa." Saya baru sadar ketika di lain hari seorang pekerja yang seagama dengan dia bercerita bahwa hari itu adalah hari besar agama mereka dan dia sedang berpuasa, tapi puasanya boleh minum. Ah, ternyata dia membandingkan ajaran agamanya dengan agama Islam. Kemudian ketika saya sedang membaca Al Qur'an dia bertanya lagi,"memangnya kamu ngerti bahasa Arab?" Kali ini saya langsung sadar dia sedang mencibir orang Islam, langsung saya bilang,"ya, saya bisa, meski sedikit." Sedikit kan bisa juga cuma satu kata, jadi saya nggak bohong dong.
   Sebelum dia segrup dengan saya, saya pernah mendengar dari kompatriotnya bahwa dia mengkritik penyembelihan hewan untuk dimakan. Mungkin dengan alasan peri kehewanan atau apalah. Makanya saya pasang kuda- kuda kalau- kalau pertanyaan itu diajukan kepada saya. Tapi setelah menunggu sekian waktu, ternyata pertanyaan itu tidak muncul juga. Bahkan dia mengakui bahwa apa yang dia perbuat tidak seluruhnya benar. Terlebih lagi, setelah saya ajak diskusi tentang agama ternyata dia mengakui bahwa Islam adalah satu- satunya agama yang masih murni. Dan dalam banyak hal yang saya beberkan ke dia, dia mengakui bahwa Islam itu simpel dan masuk akal. Dan dia sempat menyatakan bahwa Islam adalah agama terbaik, tapi penganutnya adalah penganut terburuk. Tapi hidayah  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى belum sampai kepadanya.
   Namun tidak ada salahnya pasang kuda- kuda. Jika kita berdebat dengan kaum vegetarian dan menyodorkan fakta- fakta bahwa menurut penelitian para vegetarian mempunyai masalah kekurangan nutrisi, maka merekapun akan menyodorkan fakta bahwa penyakit berat saat ini dikarenakan karena konsumsi makanan hewani, misalnya kolesterol. Hal ini tidak akan selesai.
   Maka inilah perlunya kita memikirkan ciptaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.  Saya di sini berkesempatan menyaksikan alam dimana sukar untuk mendapatkan tanaman yang bisa dimakan oleh manusia. Sekeliling tempat saya bekerja hanya ditumbuhi semak belukar dan pohon kayu yang kebanyakan tidak berbuah dan daunnya pun tidak enak dimakan. Saya perhatikan hewan hewan yang ada di sekitar tempat itu, unta, burung, biawak, kelinci, musang, serta berbagai serangga dan hewan beracun. Kemudian saya membayangkan orang- orang yang hidup di daerah ini, apa yang mereka makan? Saya yakin, dan jika saya menjadi mereka, saya akan memakan burung, kelinci, atau biawak jika terpaksa. Kalau memungkinkan saya akan memelihara domba dan onta untuk saya minum susunya dan dimakan dagingnya. Saya tidak tahu seandainya kaum vegetarian itu hidup di tempat itu, apakah mereka berubah pikiran atau... Jangan- jangan selang beberapa hari kemudian saat saya lagi enak- enak makan daging burung panggang, orang- orang itu sedang dimakan oleh burung bangkai....

Pemandangan matahari menjelang terbenam dari daerah gurun. Tumbuhan apa yang bisa kita makan di sini?

   Maka inilah makna dari Islam ditujukan untuk semua umat manusia, yang hidup di daerah subur, gersang, padang pasir, bahkan kutub. Mungkin yang hobi memancing punya pemikiran yang sama dengan saya, ketika kehabisan bekal di tengah laut, untuk bertahan hidup tidak ada pilihan kecuali memakan ikan.

   Allahu a'lam bishshawab.

Rabu, 24 Oktober 2012

Belajar Al Qur'an Dari Orang Kafir

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ


BELAJAR AL QUR’AN DARI ORANG KAFIR

   Seringkali kita membaca Al Qur’an beserta terjemaahnya, dan mungkin juga dengan tafsirnya. Tapi sering pula kita membacanya hanya sekedar lewat. Bisa jadi karena sebenarnya Al Qur’an itu sudah sesuai hati nurani kita- sesuai dengan 'anggukan universal' menurut istilah Ary Ginanjar-, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
   Tapi ketika tiba-tiba kita disodori pertanyaan tentang isi Al Qur’an, kita malah bingung, karena pertanyaan ini tak pernah terlintas di benak kita, atau mungkin sekedar melintas tanpa kita mengkajinya lebih dalam. Jangan kaget, sekarang ini banyak orang kafir yang mempelajari Al Qur’an lebih serius dibanding kebanyakan umat Islam sendiri. Mereka mempelajari, bukan untuk diamalkan, tapi dicari celah- celah kelemahan Al Qur’an ini. Dan ketika mereka mengajukan pertanyaan, sebaiknya kita sudah punya pegangan. Dan yang paling penting kita harus sadar bahwa tujuan mereka bukan mencari kebenaran, tapi mau mencela Islam.
Sebagai contoh yang sempat saya lihat di internet, mereka mencela ayat Al Qur’an berikut:
QS Al Anfal (8):65-66

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُونَ ﴿٦٥ الْآنَ خَفَّفَ اللَّـهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِن يَكُن مِّنكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٦٦
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.(65)
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.(66)

   Mereka mempertanyakan untuk apa Tuhannya orang Islam membuat perbandingan 20 dengan 200, 100 dengan 1000 dan 100:200 serta 1000:2000? Kenapa tidak dibikin yang simple saja, 1:10 dan 1:2? Menurut mereka ini sebuah ayat yang berbelit- belit, tapi hanya mengatakan sesuatu yang sepele.
   Jika kita yang membaca ayatnya, pasti kita akan memandangnya biasa- biasa saja, tidak ada yang ganjil. Tapi ternyata di mata orang yang kerjaannya mancari- cari kelemahan kitab sucinya orang Islam ini, itu adalah sebuah pernyataan yang aneh. Terus mesti menjawab gimana? Tentunya kita tidak akan membiarkannya begitu saja. Kita mesti tahu jawabannya.
   Pertama, mereka pun sebenarnya mengakui (sadar ataupun tidak) bahwa ayat di atas secara ilmu matematika 100% benar.
   Kedua, mungkin mereka hanya melihat angka- angkanya saja tanpa menengok kondisinya, dalam hal ini angka tersebut menyatakan jumlah pasukan perang. Saya kira mereka terlalu banyak dipengaruhi film- film Hollywood yang bintang utamanya bisa mengalahkan musuh yang berjumlah ratusan, atau bahkan senegara hanya dengan seorang diri. Sedangkan ayat ini berbicara tentang realita, bukan film atau angan- angan.
   Kita bisa bayangkan seandainya dikatakan 1 orang bisa mengalahkan 10 orang, pasti yang terbayang di benak kita adalah sebuah film action fiktif. Atau bisa jadi 1 orang berotot mengalahkan 10 orang yang terjangkit gizi buruk. Tapi kan namanya pasukan perang, ya pasti dipilih yang perkasa- perkasa, di kedua belah pihak. Artinya kekuatan mereka berimbang. Kita bisa saksikan, seorang petinju sangat bekerja keras hanya untuk mengalahkan lawannya yang hanya satu orang, yang bobot tubuhnya seimbang. Kita juga bisa lihat di ajang UFC, Taekwondo, Gulat, dsb, semua dalam kondisi yang sama. Apa jadinya kalau satu petinju menghadapi 2 lawan yang besar badannya sama, pasti susah mengimbanginya.
   Tapi dengan jumlah yang agak banyak, dicontohkan minimal 10 orang, kita bisa menyusun taktik. Taktik bisa dipakai dalam mengelabuhi lawan. Dengan pengaturan barisan tertentu, kita susah membedakan antara 100 orang atau 1000 orang. Bisa jadi dengan cara tertentu 100 pasukan bisa terlihat sebanyak 1000 orang, atau sebaliknya untuk mengelabuhi musuh, 1000 orang dibariskan seperti hanya 100 orang saja. Atau bisa digunakan taktik membagi peran. Misalkan ada pasukan infantri, kaveleri, pasukan panah atau penembak, dll yang saling mendukung.
   Contohnya pasukan Thalut yang sedikit bisa mengalahkan pasukan Jalut yang jauh lebih banyak dengan strategi ‘shift’nya. Atau Khalid bin Walid dengan strategi zig-zagnya yang bisa membuat 3.000 tentara muslim ditakuti 200.000 pasukan Romawi dalam perang Mu’tah. Mungkin kalau dicontohkan di film bisa dilihat di film ‘300’ (meski film Hollywood juga, tapi agak realistis).
   Bayangkan jika maju sendirian, mau pakai strategi yang gimana? Paling juga modal otot atau olah senjata, atau modal nekat doang. Paling pol strategi bom bunuh diri.
   Tapi bisa jadi, tanpa pertanyaan dari si kafir tadi, kita tidak akan mengambil pelajaran dari ayat di atas dan sejarah Islam yang kita pakai untuk menyanggahnya. Jadi, gara- gara si kafir, kita jadi mempelajari Al Qur’an dan Islam lebih banyak.
   By the way, QS 8:65-66 di atas menggambarkan menurunnya kualitas kesabaran kaum muslimin berdampak menurunnya pula kualitas berperang mereka, atau menurunnya kadar pertolongan الله bahkan cuma tinggal 20% saja (dari 1:10 tinggal 1:2). Sekali lagi, yang turun kualitas kesabarannya, gimana kalau yang turun kualitas imannya?
Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, 11 Oktober 2012

Terorisme Di Indonesia, Siapa Yang Terteror?

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

TERORISME DI INDONESIA, SIAPA YANG TERTEROR? 

   Beberapa tahun belakangan ini isu teror bom sering menghiasi berita di berbagai media massa di negeri kita. Sejak terjadinya kasus bom Bali 12 Oktober 2002, seolah- olah teror bom terus menjadi bahan berita yang hadir dari waktu ke waktu, sampai kasus di Solo yang belum lama ini berlalu. Dan bukan menjadi rahasia lagi bahwa pelaku teror tersebut selalu dikaitkan dengan sekelompok orang yang oleh pihak berwenang diidentifikasi sebagai penganut agama Islam. Dan secara khusus mereka menuding sebuah pondok pesantren.
   Tentu banyak pertanyaan tentang siapa sebenarnya pelaku teror tersebut, apa motifnya, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang berpendapat seandainya memang pelaku teror itu orang Islam, maka mereka itu sebenarnya tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar, atau salah dalam memahami ajaran Islam. Atau bisa jadi pelakunya hanya mengaku- aku beragama Islam untuk menodai citra Agama Islam. Kita masih menunggu yang sebenarnya.
   Kalau kita lihat sasaran teror- teror yang telah terjadi, maka kita tidak akan menemukan secara khusus siapa atau apa target teror tersebut. Jika kita simpulkan bahwa targetnya adalah orang- orang yang gemar hura- hura, maka cara yang ditempuh mestinya tidak akan mencelakai orang yang tidak suka berhura- hura. Tapi kenyataannya korban yang jatuh tidak pandang bulu, baik yang sedang hura- hura atau yang kebetulan melintas di dekat TKP. Begitu pula kasus yang lain, selalu terjadi di tempat umum yang besar kemungkinan tidak hanya orang non muslim yang ada, tapi sangat mungkin ada orang Islam juga di tempat itu. Apalagi jika kita lihat kasus penembakan polisi di Solo, maka sangat jauh dari target itu. 
   Maka kita lihat apa efeknya sekarang terhadap masyarakat. Kelompok masyarakat mana yang terteror dengan adanya aksi- aksi teror yang telah berlalu. Apakah orang yang gemar pergi ke diskotik atau ke tempat maksiat lain akan berpikir kalau- kalau tempat yang akan dikunjunginya nanti akan dibom? Saya rasa jangankan berpikir ke situ, berpikir kalau- kalau dirinya akan mati karena overdosis, atau kecelakaan saat pulang dari tempat maksiat karena mengemudi dalam keadaan mabuk-pun mereka tidak memusingkannya. Apalagi tempat maksiatnya dibom orang, kemungkinannya jauh lebih kecil dibanding resiko overdosis atau kecelakaan lalulintas.
   Bagaimana dengan pihak yang bergantung banyak pada industri pariwisata? Saya sempat ngobrol dengan teman saya pemilik agen penjualan tiket bus di Terminal Bus Umbulharjo Yogya (waktu itu terminalnya masih belum pindah) beberapa waktu setelah terjadinya bom Bali, dia mengeluh bahwa penjualan tiket bus ke Denpasar turun drastis. Tapi tidak sampai berselang 1 tahun, kondisinya sudah jauh membaik. Dan kita semua pun tahu bahwa memang dalam waktu yang relatif singkat periwisata di Bali sudah pulih seperti sebelum kasus bom Bali tersebut. 
   Lalu siapa lagi? Apakah pemerintah, tentara, atau polisi? Bagi pemerintah (dengan mengabaikan prasangka buruk sebagian masyarakat pada pemerintah) hal tersebut bisa disebut wajar, tentu ada orang yang senang dan ada yang tidak senang. Bagi polisi atau tentara, tentu sebelum mendaftarkan diri sebagai pelindung masyarakat mereka sudah tahu resiko yang dihadapi, teroris adalah salah satunya. Bahkan mereka berani bilang, kalau takut peluru nggak usah jadi tentara atau polisi.
   Siapa lagi, musuh masyarakat mungkin, sebutlah koruptor. Seingat saya tidak ada korban dari terduga kasus korupsi diantara korban- korban teror tersebut. Seluruh korban bisa disebut sebagai orang awam atau rakyat jelata, meskipun warga negara asing.
   Tapi jika kita cermati dari obrolan di sekitar tempat tinggal kita, ada satu hal yang bisa saya tangkap, yang saya simpulkan inilah efek teror- teror itu.  Orang- orang mulai hilang kepercayaan terhadap para ulama, atau terhadap orang yang sekedar berakhlak baik (masyarakat biasanya menyebut sebagai 'orang alim'). Setidaknya ada sedikit rasa curiga kepada orang yang rajin ke masjid, jangan- jangan...
   Lebih jauh lagi orang tua mulai berpikir berkali- kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren. Jangan- jangan nanti diajari jadi teroris, begitu kekhawatiran mereka. Akhirnya mereka menyekolahkan anaknya ke sekolah umum yang sudah pasti kadar pendidikan Agama Islamnya jauh di bawah sekolah- sekolah Islam, Madrasah, atau pondok pesantren. Secara tidak langsung mereka menjauhkan, atau setidaknya memberi jarak anak mereka dengan ilmu Agama Islam. Ini terbukti ketika anak saya yang bersekolah di SDIT kelas 1 mendapat pelajaran tentang komputer dan bagian- bagiannya, serta cara kerja mesin ATM, maka orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah umum berkomentar dengan serius, "wah awas tuh, nanti lama-lama diajari bikin bom." Dan saya yakin banyak pula cerita serupa. Silahkan anda survey masyarakat sekitar anda, niscaya anda berkesimpulan yang sama dengan saya.
   Menurut saya masyarakat muslimlah yang merasakan teror lebih dalam. Mereka malah berprasangka buruk dengan orang yang rajin beribadah, orang yang justru semestinya bisa dipercaya. Kalau orang baik- baik mereka jauhi, mau bergaul dengan siapa lagi? Mereka ketakutan untuk menyekolahkan anak- anak mereka ke lembaga pendidikan Islami. Padahal perbaikan akhlak hanya akan tercapai jika anak- anak kita mendapat ilmu agama yang cukup. Dan perasaan demikian ini bertahan dalam waktu yang lama, bahkan mungkin makin lama makin terasa. Bandingkan dengan efek bom Bali terhadap kondisi pariwisata di Bali, mungkin hanya sekitar 1 tahun. Perhatikan juga efek bom di Hotel Marriott, bom dan penembakan di Solo, semua hanya terasa sebentar. Jika kondisinya demikian, pihak mana yang diuntungkan, kita sudah tahu.
   Tapi mari kita ambil pelajarannya. Tentu kita tidak boleh membiarkan anak kita jauh dari ilmu Agama Islam. Tapi jangan sampai pula anak kita terjerumus kedalam hal yang tidak kita inginkan. Di sinilah peran kita sebagai orang tua dituntut lebih waspada. Orang tua seyogyanya mengerti ilmu agama pula, sehingga mampu memilah dan memilih lembaga pendidikan mana yang benar- benar mengajarkan Agama Islam yang sesungguhnya. Kita tidak bisa melepaskan anak kita begitu saja kepada pihak sekolah, madrasah, maupun pesantren. Kita harus aktif mengontrol anak- anak kita. Jika menurut kita ada penyimpangan dari tingkah laku anak kita, atau pelajaran yang dia terima, kita bisa segera menentukan sikap. Dan tanpa memahami ilmu agama, mustahil kita bisa mengontrol anak kita dengan baik. Inilah tantangan kita saat ini.

وَمَكَرُ‌وا وَمَكَرَ‌ اللَّـهُ ۖ وَاللَّـهُ خَيْرُ‌ الْمَاكِرِ‌ينَ

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali Imran 3:54)

Allahu a'lam bishshawab. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Al Qur'an Sebagai Karya Ilmiah Modern

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 AL QUR'AN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH MODERN

   Kita tentunya sangat familiar dengan karya tulis ilmiah. Ini adalah karya tulis yang berisikan hal- hal yang bersifat riil, bukan rekayasa, fiksi atau imajinasi. Sumbernya bisa berupa pengalaman, pengamatan, penelitian, dan lainnya. Bagi yang pernah belajar di bidang tehnik, tentu mengenal karya tulis seperti ini, karena paling tidak kita harus menyusunnya paling tidak sekali dalam tingkatan pendidikan kita. Sebutlah contohnya skripsi. Bagi saya yang hanya lulusan STM, paling tidak sudah pernah menyusun Laporan Praktek Kerja Lapangan.
   Tentu pula kita tahu bahwa syarat untuk menjadi karya tulis ilmiah yang benar paling tidak atau intinya berisikan 3 bab. Bab 1 adalah Pendahuluan, Bab 2 adalah Isi, dan Bab 3 adalah Penutup. Masing- masing bab bisa diperluas lagi sesuai kreativitas atau keinginan penulis. Tapi intinya tetap 3 itu saja. Saya hanya mengambil contoh sedikit saja, tentu yang pernah saya susun mengenai penelitian.
   Bab 1 atau Pendahuluan/ Pembuka biasanya berisi pemaparan suatu masalah. Masalah yang akan dibahas dalam karya tulis tersebut dibahas secara sekilas agar pembaca mempunyai gambaran tentang isi karya tulis tersebut.
   Bab 2 yang berisi pokok pembahasan menerangkan dengan detail masalah yang diutarakan. Mulai dari awal masalah, efeknya, analisis, problem solving, dan hasil dari usaha yang dilakukan. Semua diterangkan secara detail agar pembaca memahami betul tiap langkah yang dilakukan.
   Bab 3 atau Penutup, isinya hampir sama dengan Pembuka, yaitu dengan membahas kembali masalah yang dikaji. Bedanya di bagian Penutup, penulis menyampaikan cara menyelesaikan masalah tersebut secara ringkas yang biasa disebut Kesimpulan. Dalam bab ini pula penulis berharap karya tulisnya bemanfaat, maka tenti saja apa yang ia tempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut diikuti oleh pembaca, maka penulis memberikan Saran kepada pembaca jika menemui masalah serupa.

   Apakah Al Qur'an juga memenuhi syarat dan kaidah untuk bisa disebut sebagai sebuah karya tulis ilmiah modern? Kita lihat Al Qur'an versi Utsman bin Affan r.a ini.
  • Bab Pendahuluan/ Pembuka, tentu semua muslim tahu bahwa Al Qur'an dibuka atau diawali dengan surat Al Fatihah yang artinya 'Pembukaan'.
  • Bab Isi, yaitu penjelasan detail tentang 'jalan yang benar/ lurus' itu dan bagaimana cara menempuhnya. Ini dirinci dari Surat Al Baqarah sampai Al Falaq, ada juga yang berpendapat sampai Surat Al Lahab.
  • Bab Penutup, sebagian ulama berpendapat bab ini dimulai dari Surat Al Ikhlas sampai An Naas, ada juga yang berpendapat hanya Surat An Naas saja.
   Dalam Bab Pendahuluan, yaitu Surat Al Fatihah, diungkapkan permasalahan utama yang dihadapi manusia dalam hidup ini, yaitu mencari jalan yang benar, yang membawa kebahagiaan, dan terhindar dari kenistaan. Di sini diwakili oleh ayat "tunjukannlah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
   Dalam Bab Inti atau Isi, dijabarkan dengan terperinci tentang jalan itu, serta bagaimana cara menjalaninya, dan membahas pula jalan yang tidak boleh dilalui tersebut.
   Dalam Bab Penutup, yaitu Surat An Naas, disimpulkan bagaimana cara agar berhasil melalui jalan tersebut tanpa tersesat ke jalan yang lainnya, ini terwakili dalam ayat "aku berlindung kepada (Allah)....dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. dari (golongan) jin dan manusia."

   Tadi kita singgung bahwa Bab Pembuka dan Bab Penutup harus selaras atau mirip, maka kita bandingkan:

Surat Al Fatihah:
  1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb(1) semesta alam,
  3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
  4. Yang menguasai (Raja)(2) hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan(3)
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Surat An Naas:
  1.  Katakanlah: "Aku berlindung kepada Rabb(1) (yang memelihara dan menguasai) manusia.
  2.  Raja(2) manusia.
  3.  Sembahan (ilah)(3) manusia.
  4.  dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
  5.  yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
  6.  dari (golongan) jin dan manusia.
Kita lihat persamaannya (yang saya ketik dengan huruf miring):
  1. Kata 'Rabb' ada pada kedua surat tersebut.
  2. Kata 'Maalik' dan 'Malik' yang maknanya serupa ada pada kedua surat tersebut.
  3. Kata 'ilah' dalam surat An Naas berarti sama dengan 'yang diibadahi dan dimintai pertolongan' yang ada di Surat Al Fatihah.
  4. Inti masalah yang tercantum dalam Surat Al Fatihah dijawab dengan ringkas di Surat An Naas, seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
   Jadi sudah sangat jelas keterkaitan Surat Al Fatihah sebagai Bab Pembuka dengan Surat An Naas sebagai Bab Penutup. Perbedaan Bab Penutup dari Bab Pembuka/ Pendahuluan adalah adanya Saran. Anda pasti sudah menemukannya di Surat An Naas.
   Saran pada intinya menyuruh penbaca untuk melakukan apa yang diinginkan atau direkomendasikan penulis. Tentu saja biasanya penulis akan mengemukakannya dengan kalimat yang halus atau sopan. Misalkan jika kita menulis tentang 'Cara Mencuci Yang Baik', kita tidak bisa menuliskan 'Pisahkan pakaian yang putih dari yang berwarna', tentu lebih baik ditulis 'Pakaian yang putih sebaiknya dipisahkan dari pakaian yang berwarna'. Padahal tujuannya sama, yaitu menyuruh atau merekomendasikan pembaca untuk memisahkan pakaian putih dengan yang berwarna jika akan mencuci.
   Kita lihat bahwa Surat An Naas ini didahului oleh kata perintah, yaitu 'qul' yang artinya 'katakanlah'. Bab Penutup ini memberi saran kepada pembacanya untuk terus meminta perlindungan kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Tentunya caranya sudah diulas di Bab Isi.
   Maka, Subhanallahu wallahu akbar, ternyata Utsman bin Affan r.a pada 14 abad yang lalu telah menyusun Al Qur'an ini dengan metode yang diakui oleh para ahli penulisan di era modern ini. Tentu kita yakini bahwa penyusunan ini tidak semata- mata menurut selera sang Khalifah, tapi atas bimbingan Sang Penyusun yang Haq, Yaitu اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Allahu a'lam bishshawab.  
 

Sabtu, 29 September 2012

Pesan Kemusyrikan Di Balik Bintang Jatuh

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

PESAN KEMUSYRIKAN DI BALIK BINTANG JATUH

   Sekitar 2 tahun yang lalu saya menemani anak saya menonton film kartun anak- anak. Waktu itu anak saya berumur sekitar 5 tahun. Film yang ditontonnya menampilkan  seorang anak perempuan dengan sahabatnya seekor monyet. Banyak anak- anak yang menyukai film ini, karena seolah- olah si tokoh utama ini sering mengajak penonton untuk ikut serta dalam petualangannya. Terkadang penonton diminta untuk membantu, atau ikut melakukan gerakan yang dilakukan oleh tokoh di film tersebut, atau hanya sekedar memanggil.
   Saat itu film sedang mengisahkan tentang bintang jatuh. Pada sebuah adegan dimana sedang terjadi bintang jatuh, si tokaoh utama bertanya kepada penonton,"apakah kamu sudah membuat permintaan? Aku sudah." Tentu kita familiar dengan latar belakang cerita ini. Pada saat ada bintang jatuh, ada kepercayaan jika kita memohon sesuatu, maka permohonan kita akan terkabul. Entah dari mana asal muasal doktrin ini, yang jelas banyak yang melakukannya. Apa itu memang sengaja karena percaya, atau hanya untuk iseng- iseng saja.
   Namun sengaja atau iseng, hal ini sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang hanya memperbolehkan manusia memohon kepada  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Lagi pula dalam pelajaran Agama Islam, saat ada bintang jatuh tidak termasuk waktu yang mustajab untuk memanjatkan do'a. Kesimpulannya memohon sesuatu karena adanya bintang jatuh adalah bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan mungkin bisa termasyuk perbuatan syirik, perbuatan yang tidak dimaafkan oleh  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .
   Dan melalui film kartun anak- anak itulah, anak- anak kita diracuni pemikirannya, sehingga ketika melihat ada bintang jatuh, mereka segera mengajukan permohonan. Dan saat itu, si tokoh utama memberi penegasan sekali lagi agar anak- anak yang menonton mau mengajukan permohonan dengan kata- kata,"ayo, cepat, ucapkan permohonanmu sekaranh!" Seolah- olah mendesak anak- anak itu untuk mengikuti apa yang dilakukannya.
   Sontak saja saya beri pengertian pada anak saya, bahwa memohon itu hanya kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى saja, kalau berdo'a kepada selain اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى namanya syirik. Anak saya diam sejenak, lalu berkata iya. Beberapa hari kemudian dia bertanya kepada orangtuanya, "Mi, D*** itu musyrik ya?". Uminya coba mengetes,"kenapa?" Anak saya menjawab,"karena berdo'a kepada bintang, bukan kepada Allah." Lega rasanya hati kami.

*****

   Apa doktrin ini hanya meracuni pikiran anak- anak kita saja? Ternyata tidak hanya terjadi pada anak- anak. Dua hari yang lalu saya membaca berita bahwa sekitar Hari Sabtu, 29 September 2012 ini akan terjadi 'hujan bintang' di Indonesia. Hujan bintang, yang berarti banyak bintang jatuh. Pada sebuah berita yang dilansir media yang bermoto: situs warta era digital yang berjudul 'Besok Akan Ada Hujan Bintang', di akhir beritanya tertulis...  Banyak juga isu yang mengatakan kalau fenomena hujan bintang banyak membawa kemakmuran, kita tunggu saja semoga besok malam cuaca cerah, sehingga kita bisa bersama-sama menyaksikan fenomena ini dan kemakmuran juga datang untuk kita.
   Nah, apa hubungannya menyaksikan bintang jatuh dan kemakmuran datang untuk kita?

 لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ ۖ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ ۚ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِ‌ينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS Ar Ra'd (13): 14)

    Semoga kita terpelihara dari memohon kepada berhala yang berujud bintang jatuh itu, Amiin.

Jumat, 21 September 2012

Abdullah bin Rawaha

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

ABDULLAH BIN RAWAHA, SYAHIDIN YANG RANJANG EMASNYA MIRING
   Setelah terjadinya perdamaian Hudaibiyah, umat Islam tidak perlu lagi mengkhawatirkan akan adanya serangan dari pihak Quraisy. Maka Rasulullah SAW bisa memikirkan hal- hal lain untuk perkembangan Islam. Beliau teringat akan utusan dakwah beliau, yaitu Harits yang dibunuh tatkala menghantarkan surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada gubernur Syam (bagian dari kerajaan Romawi) yang bernama Surahbil. Maka Rasulullah SAW bertekad memerangi Syam yang telah menolak ajakan masuk Islam, bahkan membunuh utusan beliau yang artinya mengajak berperang.
   Maka dikirimkanlah 3.000 pasukan ke negeri Syam yang perjalanannya bisa memakan waktu 1 bulan. Pasukan ini dipanglimai oleh Zaid bin Haritsa. Dalam pelepasan pasukan itu, Rasulullah SAW berpesan, diantaranya: jika Zaid gugur, maka panglima diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib, jika Ja’far gugur, panglima diambil alih oleh Abdullah bin Rawaha, dan bila Abdullah gugur, maka panglima dipilih melalui musyawarah. Kemudian pasukan inipun berangkat tanpa tau seberapa besar kekuatan musuh.
   Ketiga orang tersebut adalah orang- orang kepercayaan Rasulullah SAW. Zaid adalah anak angkat beliau. Ja’far, saudara sedarah dengan Ali bin Abi Thalib, pemimpin kaum muslimin saat hijrah ke Habsyi dan berhasil mengislamkan raja Habsyi. Adapun Abdullah adalah orang yang sering diikutkan dalam majelis syuro oleh Rasulullah SAW.
   Sesampainya di Ma’an, mereka mendapat informasi bahwa ternyata pihak Syam telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Surahbil telah meminta bantuan kepada Heraklius, sang Kaisar Romawi. Maka bergabunglah  pasukan Romawi itu yang totalnya sejumlah 200.000 pasukan! Bahkan Heraklius sendiri yang memimpin. Sebuah jumlah yang timpang, 3.000 akan melawan 200.000, 1:70! Tak ayal hal ini membuat bimbang hati pasukan muslim. Zaid pun mengumpulkan pasukan dan mengajukan pendapat: mengingat musuh yang berlipat jumlahnya, maka akan dikirim seorang utusan untuk menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW, kemudian apapun perintah Rasulullah SAW akan mereka lakukan. Hampir seluruh anggota pasukan setuju dengan pendapat Zaid ini. Tapi tiba- tiba Abdullah bin Rawaha berdiri dan berpidato:

 "Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid."
   Sebuah pidato yang sangat agung dari manusia yang terbiasa melaksanakan perintah Allah dan RosulNya, yang paham betul arti untuk apa hidup ini. Tak ayal serentak para muslimin pun menyahut dengan semangat. Hilanglah sifat wahn dari diri mereka sama sekali.
   Di hari bertemunya dua pasukan, kaum muslimi memilih Mu’tah yang diapit oleh bukit sebagai ajang peperangan. Dengan gagah berani Zaid maju ke tengah pasukan musuh sambil membawa bendera dan mengayunkan pedangnya. Setelah berhasil membunuh belasan atau bahkan puluhan orang, akhirnya Zaid pun menemui kesyahidannya. Segera Ja’far mengambil alih bendera sesuai amanat Rasulullah. Sama seperti Zaid, Ja’far pun maju dengan gagah berani. Sampai suatu saat tangannya yang membawa bendera tertebas pedang musuh. Diambilnya bendera itu dengan tangan kanan sambil mempertahankan diri sebisanya, tanpa mundur sejengkalpun. Tapi tangan kanannyapun tertebas oleh pedang lawan. Masih belum hilang semangat beliau, dipeluknya bendera itu dengan kedua lengannya yang tersisa. Apa mau dikata, tanpa bisa menangkis, akhirnya Ja’far pun gugur setelah pedang lawan menghantam dadanya. Benderapun segera diambil alih oleh Abdullah bin Rawaha. Beliau saat itu mengendarai kuda. Beberapa saat beliau ragu, tetap berkuda atau turun. Jika tetap berkuda maka akan lebih mudah mempertahankan bendera, jika turun akan lebih mudah mengomando pasukan. Akhirnya beliau turun dan menemui akhirnya kesahidannya di ajang perang Mu’tah itu.
   Singkat kata pasukan muslim pulang ke Madinah setelah menewaskan ribuan orang dari pihak musuh dan membuat musuh yang tersisa berbalik mundur. Sedangkan korban dari pihak muslim hanya 12 orang. Rasulullah mengatakan bahwa beliau melihat ketiga orang panglima yang gugur tersebut berada di syurga. Tangan Ja’far diganti dengan sepasang sayap yang memungkinkannya terbang ke segala penjuru syurga. Ketiganya mendapat tempat masing- masing sebuah ranjang dari emas untuk tidur mereka. Hanya, kata Rasulullah SAW, ranjang Abdullah bin Rawaha agak miring sedikit. Kaum muslimin pun bertanya mengapa. Dijawab oleh Rasulullah SAW, bahwa ketika hendak maju menjadi panglima, ada sedikit keraguan dalam hatinya, seperti tersebut di atas. Sedangkan kedua rekannya maju dengan penuh semangat dan keyakinan. Itulah yang mambedakan. (diringkaskan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Hussain Haikal)
   Wow… Orang yang sangat diandalkan oleh Rasulullah, orang yang membangkitkan semangat jihad kaum muslimin tatkala mereka sedang gentar menghadapi musuh, bahkan meninggalnyapun dalam keadaan syahid, jihad fisabilillah, tidak mendapat balasan yang sempurna dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  hanya karena hal yang mungkin sangat sepele, toh akhirnya beliau maju juga meninggalkan kudanya. Meskipun saya sangat yakin Abdullah Bin Rawaha tetap akan merasa sangat- sangat nyaman di tempat tidur tersebut.
   Lalu, kira- kira fasilitas seperti apa yang akan saya dapatkan, seandainya saya masuk syurga? Itu juga kalau masuk. Itulah pertanyaan yang terlintas di benak saya, dan pertanyaan pertanyaan berikutnya mengikuti. Apa yang telah aku lakukan selama ini? Apa yang bisa aku andalkan untuk membeli tiket syurga? Sholat masih sering terkalahkan oleh kondisi, sedekah masih sayang, puasa sunah lupa, apalagi jihad, jauh sekali. 
 Ya ALLAH, masukkanlah kami kedalam golongan orang- orang yang Engkau beri nikmat. Amiin.
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَلْتَنظُرْ‌ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبِيرٌ‌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Minggu, 16 September 2012

Antara Berpikir dan Taat

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيم

ANTARA BERPIKIR DAN TAAT

   Syahdan pada suatu pagi setelah adza subuh dikumandangkan, Abu Bakar r.a gelisah karena belum melihat Rasulullah SAW hadir di masjid. Biasanya beliau telah hadir sebelum adzan dikumandangkan. Abu Bakar r.a pun mengutus Bilal untuk menjemput Rasulullah SAW karena khawatir sesuatu terjadi. Bilal pun segera beranjak ke rumah Rasulullah SAW. Setelah saling memberi salam, Bilal mendapati Rasulullah SAW sedang bersujud dan badan beliau bergetar. Bilal segera tanggap bahwa beliau sedang menangis. Maka Bilal pun bertanya. "Ada apa wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?" Rasulullah menjawab,"Bilal, saya baru saja mendapat wahyu: 


 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ‌ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ  

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran 3: 190) 

  الَّذِينَ يَذْكُرُ‌ونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُ‌ونَ  فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ رَ‌بَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 ‌ 
  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran 3: 191) "

Bilal heran, dan kemudian bertanya,"kenapa engkau menangis karena ayat ini? Bukankah pernah turun ayat yang lebih berat dari ini, yang menyuruh engkau memerangi kaum kafir, dan engkau laksanakan, berperang bersama kami sampai akhirnya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberi kemenangan kepada kita?" Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal." Kembali Bilal bertanya,"bukankah pernah turun ayat yang jauh lebih panjang dari ayat ini, dan engkau bisa menghafalnya? Bahkan ayat ini sekali mendengarpun saya sudah bisa menghafalnya." Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal."
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan,"tapi aku menangis karena memikirkan umat sepeninggalku. Mereka mempunyai mata, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk melihat tanda- tanda kekuasaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai telinga tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk mendengar peringatan- peringatan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai hati, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk memahami ayat- ayat اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى."

(diringkaskan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Hussain Haikal)

***** 

   2 ayat dari Surat Ali Imran, yaitu ayat 190 dan 191 di atas adalah ayat- ayat favorit istri saya. Dan tulisan ini atas inspirasi darinya dan saya persembahkan untuknya.
   Ayat- ayat yang dahsyat di atas mengandung hikmah yang sangat dalam dan fundamental. Dan jika dijabarkan bisa sangat luas pembahasannya. Intinya adalah kita disuruh untuk bertafakur (memikirkan) penciptaan langit dan bumi sebagai tanda- tanda kekuasaan dan eksistensi اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , sebagai jalan untuk mengenal اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sehingga sampai pada munculnya keimanan dalam diri kita kepadaاللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Keimanan yang timbul dari dalam, yang tidak mudah terkikis pengaruh dari luar. Jika kita sudah beriman kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , dengan mantap, maka langkah- langkah selanjutnya dalam beragama ini akan menjadi mudah.
   Proses tafakur ini yang juga terjadi pada Nabi Ibrahim a.s, sehingga beliau mempunyai iman yang super kuat. Bahkan ancaman pembakaran atas dirinya, cobaan untuk meninggalkan keluarganya di tengah padang pasir, sampai mengorbankan anak kesayangannya pun tidak sedikit jua menyurutkan imannya. Silakan dikaji Al Qur'an Surat 6 Al An'aam ayat 75 sampai 79.

Dalam beragama, harus berfikir atau harus sami'na wa 'atho'na?

   Tapi kenapa اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita berfikir? Bukankah Allah dan RasulNya selalu menyuruh umat Islam ini untuk sami'na wa 'atho'na (kami dengar dan kami taati)? Banyak sekali orang yang berpendapat,"ah sudahlah, kalau Pak Kyai sudah bilang A ya A, nggak usah banyak nanya nggak usah banyak komen, terima dan kerjakan saja." Atau ada yang berpendapat bahwa 'belajar tanpa guru, maka sama saja berguru kepada syetan' (atau kalimat semacam). Atau kalau kita mempunyai suatu pendapat, orang akan menyangkal dengan argumen,"wah, jangan menurut pendapat saya, dong, ntar jadinya sesat, kita harus nurut ulama- ulama terdahulu yang sudah jelas kompeten."
   Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa yakin kalau ulama atau Pak Kyai itu ilmunya benar? Apa menurut pendapat orang banyak? Pertanyaan susulan, bagaimana kita tahu bahwa penilaian orang banyak kepada sang ulama atau Pak Kyai itu benar? Akhirnya keputusan ada dan berasal dari kita sendiri. Nah agar tidak salah pilih inilah kita perlu berfikir.
   Sebenarnya tidak hanya dalam ayat di atas اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengisyaratkan kita untuk berfikir. Bisa kita temui ayat- ayat dengan kata- kata 'apakah kamu tidak memikirkan?' atau 'apakah mereka tidak berpikir?' atau 'apakah mereka tidak mengambil pelajaran?' dsb. Intinya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita untuk berpikir. Tidak hanya masalah keduniawian, tetapi juga yang bersifat ghaib atau yang masih ghaib. 

Lalu bagaimana dengan sami'na wa 'atho'na?  

   Ketaatan pun ada ilmunya. Orang yang taat dengan berilmu, tahu kenapa ia harus taat, akan cenderung konsisten dalam ketaatannya. Orang yang tidak mengerti untuk apa dia taat, akan mudah untuk berubah pikiran. Suatu saat akan timbul ide coba- cobanya, atau merasa lebih tau dari yang ditaatinya. Akhirnya dia akan keluar dari ketaatannya.
   Contoh Nabi Ibrahim di atas bisa kita jadikan acuan. Setelah kokoh imannya, maka dengan sami'na wa 'atho'na, beliau laksanakan perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tanpa ada tawar menawar.
   Saya ambil contoh ketaatannya Abu Bakar r.a saat menerima berita tentang Isra' Mi'raj. Beliau tetap taat dan meyakini kebenaran Rasulullah SAW pada saat kebanyakan orang menyangsikan kebenaran cerita Rasulullah SAW itu. Apa yang membuat Abu Bakar r.a begitu yakin akan kebenaran Rasulullah dan tetap taat dan setia kepada beliau? Abu Bakar r.a adalah sahabat karib Rasulullah sejak remaja. Dengan mentafakuri sifat- sifat sahabatnya tersebut, Abu Bakar r.a mengenal betul siapa Muhammad SAW itu, dan itu sebuah ilmu. Dengan ilmu yang beliau dapat dari hasil mentafakuri diri sahabatnya itu, maka dengan tegas Abu Bakar r.a berkata, "kalau itu datangnya dari Muhammad, lebih dahsyat dari itupun aku percaya." Jadi setelah ilmunya mantap, baru beliau menyatakan sami'na wa 'atho'na.
   Kemudian ada juga 'ketidak taatan' yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Pernah saya menceritakan kisah beberapa orang yang diutus ke kampung Bani Quraidah di artikel 'Ilmu yang Bertingkat'. Mereka tidak taat kepada Rasulullah SAW, tapi dengan ilmu yang mantap. Dan memang Rasulullah SAW tidak memvonis bahwa itu adalah pelanggaran.
   Dan satu lagi saya copy- pastekan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Husain Haikal tentang adab untuk mengemukakan saran, yang sekilas ini jauh dari konsep sami'na wa 'atho'na:
 
Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:

"Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?"

"Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang," jawab Muhammad.

"Rasulullah," katanya lagi. "Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."

Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.

Lagi- lagi karena ilmu. Seorang bawahan boleh menyanggah ketetapan pimpinan, tentu dengan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja ilmu didapat dari proses berpikir. Dan atasan pun dengan besar hati menerima saran bawahannya yang lebih bagus. Rasulullah tidak menuntut bawahannya untuk sekedar sami'na wa 'atho'na.

Yang beriman sudah tentu islam, yang islam belum tentu beriman. 

Ada pendapat yang mahsyur dari para ulama, bahwa orang yang beriman (mukmin) itu otomatis sudah islam (muslim/ berserah diri kepada  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) . Sedangkan orang yang mengaku islam belum tentu beriman. Ini juga didasarkan QS 49: 14 berikut

  قَالَتِ الْأَعْرَ‌ابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّـهَ وَرَ‌سُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ‌ رَّ‌حِيمٌ

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk'(aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (14) 

 Ini dikarenakan, jika iman itu telah tertanam di dalam dada seseorang, maka dia akan melaksanakan amalan- amalan yang diperintahkan oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Sedangkan orang yang melakuan amalan, bisa jadi imannya masih sangat lemah (Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan — Muslim.Or.Id).

Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia- sia. (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

(At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
(At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Sepotong kalimat dari Surat Ali Imron ayat 191 di atas yang masih harus saya renungkan. Untuk siapa langit dan bumi ini diciptakan. Tidak sia- sia untuk siapa? Untuk اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ? Rasanya Dia tidak membutuhkannya. Untuk kita kah? Maka mari jangan sampai kita merusak semesta yang diciptakan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ dengan tidak sia- sia dengan jalan mengikuti petunjuk Sang Pencipta.   

 *****
Allahu a'lam bishshawab. 

Especially dedicated to my inspiring woman.