بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيم
ANTARA BERPIKIR DAN TAAT
Syahdan pada suatu pagi setelah adza subuh dikumandangkan, Abu Bakar r.a gelisah karena belum melihat Rasulullah SAW hadir di masjid. Biasanya beliau telah hadir sebelum adzan dikumandangkan. Abu Bakar r.a pun mengutus Bilal untuk menjemput Rasulullah SAW karena khawatir sesuatu terjadi. Bilal pun segera beranjak ke rumah Rasulullah SAW. Setelah saling memberi salam, Bilal mendapati Rasulullah SAW sedang bersujud dan badan beliau bergetar. Bilal segera tanggap bahwa beliau sedang menangis. Maka Bilal pun bertanya. "Ada apa wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?" Rasulullah menjawab,"Bilal, saya baru saja mendapat wahyu:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(QS Ali Imran 3: 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.
(QS Ali Imran 3: 191) "
Bilal heran, dan kemudian bertanya,"kenapa engkau menangis karena ayat ini? Bukankah pernah turun ayat yang lebih berat dari ini, yang menyuruh engkau memerangi kaum kafir, dan engkau laksanakan, berperang bersama kami sampai akhirnya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberi kemenangan kepada kita?" Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal." Kembali Bilal bertanya,"bukankah pernah turun ayat yang jauh lebih panjang dari ayat ini, dan engkau bisa menghafalnya? Bahkan ayat ini sekali mendengarpun saya sudah bisa menghafalnya." Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal."
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan,"tapi aku menangis karena memikirkan umat sepeninggalku. Mereka mempunyai mata, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk melihat tanda- tanda kekuasaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai telinga tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk mendengar peringatan- peringatan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai hati, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk memahami ayat- ayat اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى."
(diringkaskan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Hussain Haikal)
*****
2 ayat dari Surat Ali Imran, yaitu ayat 190 dan 191 di atas adalah ayat- ayat favorit istri saya. Dan tulisan ini atas inspirasi darinya dan saya persembahkan untuknya.
Ayat- ayat yang dahsyat di atas mengandung hikmah yang sangat dalam dan fundamental. Dan jika dijabarkan bisa sangat luas pembahasannya. Intinya adalah kita disuruh untuk bertafakur (memikirkan) penciptaan langit dan bumi sebagai tanda- tanda kekuasaan dan eksistensi اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , sebagai jalan untuk mengenal اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sehingga sampai pada munculnya keimanan dalam diri kita kepadaاللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Keimanan yang timbul dari dalam, yang tidak mudah terkikis pengaruh dari luar. Jika kita sudah beriman kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , dengan mantap, maka langkah- langkah selanjutnya dalam beragama ini akan menjadi mudah.
Proses tafakur ini yang juga terjadi pada Nabi Ibrahim a.s, sehingga beliau mempunyai iman yang super kuat. Bahkan ancaman pembakaran atas dirinya, cobaan untuk meninggalkan keluarganya di tengah padang pasir, sampai mengorbankan anak kesayangannya pun tidak sedikit jua menyurutkan imannya. Silakan dikaji Al Qur'an Surat 6 Al An'aam ayat 75 sampai 79.
Dalam beragama, harus berfikir atau harus sami'na wa 'atho'na?
Tapi kenapa اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita berfikir? Bukankah Allah dan RasulNya selalu menyuruh umat Islam ini untuk sami'na wa 'atho'na (kami dengar dan kami taati)? Banyak sekali orang yang berpendapat,"ah sudahlah, kalau Pak Kyai sudah bilang A ya A, nggak usah banyak nanya nggak usah banyak komen, terima dan kerjakan saja." Atau ada yang berpendapat bahwa 'belajar tanpa guru, maka sama saja berguru kepada syetan' (atau kalimat semacam). Atau kalau kita mempunyai suatu pendapat, orang akan menyangkal dengan argumen,"wah, jangan menurut pendapat saya, dong, ntar jadinya sesat, kita harus nurut ulama- ulama terdahulu yang sudah jelas kompeten."
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa yakin kalau ulama atau Pak Kyai itu ilmunya benar? Apa menurut pendapat orang banyak? Pertanyaan susulan, bagaimana kita tahu bahwa penilaian orang banyak kepada sang ulama atau Pak Kyai itu benar? Akhirnya keputusan ada dan berasal dari kita sendiri. Nah agar tidak salah pilih inilah kita perlu berfikir.
Sebenarnya tidak hanya dalam ayat di atas اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengisyaratkan kita untuk berfikir. Bisa kita temui ayat- ayat dengan kata- kata 'apakah kamu tidak memikirkan?' atau 'apakah mereka tidak berpikir?' atau 'apakah mereka tidak mengambil pelajaran?' dsb. Intinya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita untuk berpikir. Tidak hanya masalah keduniawian, tetapi juga yang bersifat ghaib atau yang masih ghaib.
Lalu bagaimana dengan sami'na wa 'atho'na?
Ketaatan pun ada ilmunya. Orang yang taat dengan berilmu, tahu kenapa ia harus taat, akan cenderung konsisten dalam ketaatannya. Orang yang tidak mengerti untuk apa dia taat, akan mudah untuk berubah pikiran. Suatu saat akan timbul ide coba- cobanya, atau merasa lebih tau dari yang ditaatinya. Akhirnya dia akan keluar dari ketaatannya.
Contoh Nabi Ibrahim di atas bisa kita jadikan acuan. Setelah kokoh imannya, maka dengan sami'na wa 'atho'na, beliau laksanakan perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tanpa ada tawar menawar.
Contoh Nabi Ibrahim di atas bisa kita jadikan acuan. Setelah kokoh imannya, maka dengan sami'na wa 'atho'na, beliau laksanakan perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tanpa ada tawar menawar.
Saya ambil contoh ketaatannya Abu Bakar r.a saat menerima berita tentang Isra' Mi'raj. Beliau tetap taat dan meyakini kebenaran Rasulullah SAW pada saat kebanyakan orang menyangsikan kebenaran cerita Rasulullah SAW itu. Apa yang membuat Abu Bakar r.a begitu yakin akan kebenaran Rasulullah dan tetap taat dan setia kepada beliau? Abu Bakar r.a adalah sahabat karib Rasulullah sejak remaja. Dengan mentafakuri sifat- sifat sahabatnya tersebut, Abu Bakar r.a mengenal betul siapa Muhammad SAW itu, dan itu sebuah ilmu. Dengan ilmu yang beliau dapat dari hasil mentafakuri diri sahabatnya itu, maka dengan tegas Abu Bakar r.a berkata, "kalau itu datangnya dari Muhammad, lebih dahsyat dari itupun aku percaya." Jadi setelah ilmunya mantap, baru beliau menyatakan sami'na wa 'atho'na.
Kemudian ada juga 'ketidak taatan' yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Pernah saya menceritakan kisah beberapa orang yang diutus ke kampung Bani Quraidah di artikel 'Ilmu yang Bertingkat'. Mereka tidak taat kepada Rasulullah SAW, tapi dengan ilmu yang mantap. Dan memang Rasulullah SAW tidak memvonis bahwa itu adalah pelanggaran.
Dan satu lagi saya copy- pastekan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Husain Haikal tentang adab untuk mengemukakan saran, yang sekilas ini jauh dari konsep sami'na wa 'atho'na:
Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
"Rasulullah, bagaimana pendapat tuan
berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju
atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat
tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?"
"Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang," jawab Muhammad.
"Rasulullah," katanya lagi. "Kalau begitu,
tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke
tempat mata air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang
dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi
sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat
air minum, mereka tidak."
Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu,
Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti
pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya
bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu
dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan
pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi
yang baik dari sesama mereka sendiri.
Lagi- lagi karena ilmu. Seorang bawahan boleh menyanggah ketetapan pimpinan, tentu dengan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja ilmu didapat dari proses berpikir. Dan atasan pun dengan besar hati menerima saran bawahannya yang lebih bagus. Rasulullah tidak menuntut bawahannya untuk sekedar sami'na wa 'atho'na.
Yang beriman sudah tentu islam, yang islam belum tentu beriman.
Ada pendapat yang mahsyur dari para ulama, bahwa orang yang beriman (mukmin) itu otomatis sudah islam (muslim/ berserah diri kepada
اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) . Sedangkan orang yang mengaku islam belum tentu beriman. Ini juga didasarkan QS 49: 14 berikut
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّـهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk'(aslamna), karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
(14)
Ini dikarenakan, jika iman itu telah tertanam di dalam dada seseorang, maka dia akan melaksanakan amalan- amalan yang diperintahkan oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Sedangkan orang yang melakuan amalan, bisa jadi imannya masih sangat lemah (Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan — Muslim.Or.Id).
Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia- sia. (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan — Muslim.Or.Id by null
Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan — Muslim.Or.Id by null
Sepotong kalimat dari Surat Ali Imron ayat 191 di atas yang masih harus saya renungkan. Untuk siapa langit dan bumi ini diciptakan. Tidak sia- sia untuk siapa? Untuk اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ? Rasanya Dia tidak membutuhkannya. Untuk kita kah? Maka mari jangan sampai kita merusak semesta yang diciptakan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ dengan tidak sia- sia dengan jalan mengikuti petunjuk Sang Pencipta.
*****
Allahu a'lam bishshawab.
Especially dedicated to my inspiring woman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar