Sabtu, 29 September 2012

Pesan Kemusyrikan Di Balik Bintang Jatuh

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

PESAN KEMUSYRIKAN DI BALIK BINTANG JATUH

   Sekitar 2 tahun yang lalu saya menemani anak saya menonton film kartun anak- anak. Waktu itu anak saya berumur sekitar 5 tahun. Film yang ditontonnya menampilkan  seorang anak perempuan dengan sahabatnya seekor monyet. Banyak anak- anak yang menyukai film ini, karena seolah- olah si tokoh utama ini sering mengajak penonton untuk ikut serta dalam petualangannya. Terkadang penonton diminta untuk membantu, atau ikut melakukan gerakan yang dilakukan oleh tokoh di film tersebut, atau hanya sekedar memanggil.
   Saat itu film sedang mengisahkan tentang bintang jatuh. Pada sebuah adegan dimana sedang terjadi bintang jatuh, si tokaoh utama bertanya kepada penonton,"apakah kamu sudah membuat permintaan? Aku sudah." Tentu kita familiar dengan latar belakang cerita ini. Pada saat ada bintang jatuh, ada kepercayaan jika kita memohon sesuatu, maka permohonan kita akan terkabul. Entah dari mana asal muasal doktrin ini, yang jelas banyak yang melakukannya. Apa itu memang sengaja karena percaya, atau hanya untuk iseng- iseng saja.
   Namun sengaja atau iseng, hal ini sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang hanya memperbolehkan manusia memohon kepada  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Lagi pula dalam pelajaran Agama Islam, saat ada bintang jatuh tidak termasuk waktu yang mustajab untuk memanjatkan do'a. Kesimpulannya memohon sesuatu karena adanya bintang jatuh adalah bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan mungkin bisa termasyuk perbuatan syirik, perbuatan yang tidak dimaafkan oleh  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .
   Dan melalui film kartun anak- anak itulah, anak- anak kita diracuni pemikirannya, sehingga ketika melihat ada bintang jatuh, mereka segera mengajukan permohonan. Dan saat itu, si tokoh utama memberi penegasan sekali lagi agar anak- anak yang menonton mau mengajukan permohonan dengan kata- kata,"ayo, cepat, ucapkan permohonanmu sekaranh!" Seolah- olah mendesak anak- anak itu untuk mengikuti apa yang dilakukannya.
   Sontak saja saya beri pengertian pada anak saya, bahwa memohon itu hanya kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى saja, kalau berdo'a kepada selain اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى namanya syirik. Anak saya diam sejenak, lalu berkata iya. Beberapa hari kemudian dia bertanya kepada orangtuanya, "Mi, D*** itu musyrik ya?". Uminya coba mengetes,"kenapa?" Anak saya menjawab,"karena berdo'a kepada bintang, bukan kepada Allah." Lega rasanya hati kami.

*****

   Apa doktrin ini hanya meracuni pikiran anak- anak kita saja? Ternyata tidak hanya terjadi pada anak- anak. Dua hari yang lalu saya membaca berita bahwa sekitar Hari Sabtu, 29 September 2012 ini akan terjadi 'hujan bintang' di Indonesia. Hujan bintang, yang berarti banyak bintang jatuh. Pada sebuah berita yang dilansir media yang bermoto: situs warta era digital yang berjudul 'Besok Akan Ada Hujan Bintang', di akhir beritanya tertulis...  Banyak juga isu yang mengatakan kalau fenomena hujan bintang banyak membawa kemakmuran, kita tunggu saja semoga besok malam cuaca cerah, sehingga kita bisa bersama-sama menyaksikan fenomena ini dan kemakmuran juga datang untuk kita.
   Nah, apa hubungannya menyaksikan bintang jatuh dan kemakmuran datang untuk kita?

 لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ ۖ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ ۚ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِ‌ينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS Ar Ra'd (13): 14)

    Semoga kita terpelihara dari memohon kepada berhala yang berujud bintang jatuh itu, Amiin.

Jumat, 21 September 2012

Abdullah bin Rawaha

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

ABDULLAH BIN RAWAHA, SYAHIDIN YANG RANJANG EMASNYA MIRING
   Setelah terjadinya perdamaian Hudaibiyah, umat Islam tidak perlu lagi mengkhawatirkan akan adanya serangan dari pihak Quraisy. Maka Rasulullah SAW bisa memikirkan hal- hal lain untuk perkembangan Islam. Beliau teringat akan utusan dakwah beliau, yaitu Harits yang dibunuh tatkala menghantarkan surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada gubernur Syam (bagian dari kerajaan Romawi) yang bernama Surahbil. Maka Rasulullah SAW bertekad memerangi Syam yang telah menolak ajakan masuk Islam, bahkan membunuh utusan beliau yang artinya mengajak berperang.
   Maka dikirimkanlah 3.000 pasukan ke negeri Syam yang perjalanannya bisa memakan waktu 1 bulan. Pasukan ini dipanglimai oleh Zaid bin Haritsa. Dalam pelepasan pasukan itu, Rasulullah SAW berpesan, diantaranya: jika Zaid gugur, maka panglima diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib, jika Ja’far gugur, panglima diambil alih oleh Abdullah bin Rawaha, dan bila Abdullah gugur, maka panglima dipilih melalui musyawarah. Kemudian pasukan inipun berangkat tanpa tau seberapa besar kekuatan musuh.
   Ketiga orang tersebut adalah orang- orang kepercayaan Rasulullah SAW. Zaid adalah anak angkat beliau. Ja’far, saudara sedarah dengan Ali bin Abi Thalib, pemimpin kaum muslimin saat hijrah ke Habsyi dan berhasil mengislamkan raja Habsyi. Adapun Abdullah adalah orang yang sering diikutkan dalam majelis syuro oleh Rasulullah SAW.
   Sesampainya di Ma’an, mereka mendapat informasi bahwa ternyata pihak Syam telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Surahbil telah meminta bantuan kepada Heraklius, sang Kaisar Romawi. Maka bergabunglah  pasukan Romawi itu yang totalnya sejumlah 200.000 pasukan! Bahkan Heraklius sendiri yang memimpin. Sebuah jumlah yang timpang, 3.000 akan melawan 200.000, 1:70! Tak ayal hal ini membuat bimbang hati pasukan muslim. Zaid pun mengumpulkan pasukan dan mengajukan pendapat: mengingat musuh yang berlipat jumlahnya, maka akan dikirim seorang utusan untuk menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW, kemudian apapun perintah Rasulullah SAW akan mereka lakukan. Hampir seluruh anggota pasukan setuju dengan pendapat Zaid ini. Tapi tiba- tiba Abdullah bin Rawaha berdiri dan berpidato:

 "Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid."
   Sebuah pidato yang sangat agung dari manusia yang terbiasa melaksanakan perintah Allah dan RosulNya, yang paham betul arti untuk apa hidup ini. Tak ayal serentak para muslimin pun menyahut dengan semangat. Hilanglah sifat wahn dari diri mereka sama sekali.
   Di hari bertemunya dua pasukan, kaum muslimi memilih Mu’tah yang diapit oleh bukit sebagai ajang peperangan. Dengan gagah berani Zaid maju ke tengah pasukan musuh sambil membawa bendera dan mengayunkan pedangnya. Setelah berhasil membunuh belasan atau bahkan puluhan orang, akhirnya Zaid pun menemui kesyahidannya. Segera Ja’far mengambil alih bendera sesuai amanat Rasulullah. Sama seperti Zaid, Ja’far pun maju dengan gagah berani. Sampai suatu saat tangannya yang membawa bendera tertebas pedang musuh. Diambilnya bendera itu dengan tangan kanan sambil mempertahankan diri sebisanya, tanpa mundur sejengkalpun. Tapi tangan kanannyapun tertebas oleh pedang lawan. Masih belum hilang semangat beliau, dipeluknya bendera itu dengan kedua lengannya yang tersisa. Apa mau dikata, tanpa bisa menangkis, akhirnya Ja’far pun gugur setelah pedang lawan menghantam dadanya. Benderapun segera diambil alih oleh Abdullah bin Rawaha. Beliau saat itu mengendarai kuda. Beberapa saat beliau ragu, tetap berkuda atau turun. Jika tetap berkuda maka akan lebih mudah mempertahankan bendera, jika turun akan lebih mudah mengomando pasukan. Akhirnya beliau turun dan menemui akhirnya kesahidannya di ajang perang Mu’tah itu.
   Singkat kata pasukan muslim pulang ke Madinah setelah menewaskan ribuan orang dari pihak musuh dan membuat musuh yang tersisa berbalik mundur. Sedangkan korban dari pihak muslim hanya 12 orang. Rasulullah mengatakan bahwa beliau melihat ketiga orang panglima yang gugur tersebut berada di syurga. Tangan Ja’far diganti dengan sepasang sayap yang memungkinkannya terbang ke segala penjuru syurga. Ketiganya mendapat tempat masing- masing sebuah ranjang dari emas untuk tidur mereka. Hanya, kata Rasulullah SAW, ranjang Abdullah bin Rawaha agak miring sedikit. Kaum muslimin pun bertanya mengapa. Dijawab oleh Rasulullah SAW, bahwa ketika hendak maju menjadi panglima, ada sedikit keraguan dalam hatinya, seperti tersebut di atas. Sedangkan kedua rekannya maju dengan penuh semangat dan keyakinan. Itulah yang mambedakan. (diringkaskan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Hussain Haikal)
   Wow… Orang yang sangat diandalkan oleh Rasulullah, orang yang membangkitkan semangat jihad kaum muslimin tatkala mereka sedang gentar menghadapi musuh, bahkan meninggalnyapun dalam keadaan syahid, jihad fisabilillah, tidak mendapat balasan yang sempurna dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  hanya karena hal yang mungkin sangat sepele, toh akhirnya beliau maju juga meninggalkan kudanya. Meskipun saya sangat yakin Abdullah Bin Rawaha tetap akan merasa sangat- sangat nyaman di tempat tidur tersebut.
   Lalu, kira- kira fasilitas seperti apa yang akan saya dapatkan, seandainya saya masuk syurga? Itu juga kalau masuk. Itulah pertanyaan yang terlintas di benak saya, dan pertanyaan pertanyaan berikutnya mengikuti. Apa yang telah aku lakukan selama ini? Apa yang bisa aku andalkan untuk membeli tiket syurga? Sholat masih sering terkalahkan oleh kondisi, sedekah masih sayang, puasa sunah lupa, apalagi jihad, jauh sekali. 
 Ya ALLAH, masukkanlah kami kedalam golongan orang- orang yang Engkau beri nikmat. Amiin.
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَلْتَنظُرْ‌ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبِيرٌ‌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Minggu, 16 September 2012

Antara Berpikir dan Taat

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيم

ANTARA BERPIKIR DAN TAAT

   Syahdan pada suatu pagi setelah adza subuh dikumandangkan, Abu Bakar r.a gelisah karena belum melihat Rasulullah SAW hadir di masjid. Biasanya beliau telah hadir sebelum adzan dikumandangkan. Abu Bakar r.a pun mengutus Bilal untuk menjemput Rasulullah SAW karena khawatir sesuatu terjadi. Bilal pun segera beranjak ke rumah Rasulullah SAW. Setelah saling memberi salam, Bilal mendapati Rasulullah SAW sedang bersujud dan badan beliau bergetar. Bilal segera tanggap bahwa beliau sedang menangis. Maka Bilal pun bertanya. "Ada apa wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?" Rasulullah menjawab,"Bilal, saya baru saja mendapat wahyu: 


 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ‌ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ  

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran 3: 190) 

  الَّذِينَ يَذْكُرُ‌ونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُ‌ونَ  فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ رَ‌بَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 ‌ 
  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran 3: 191) "

Bilal heran, dan kemudian bertanya,"kenapa engkau menangis karena ayat ini? Bukankah pernah turun ayat yang lebih berat dari ini, yang menyuruh engkau memerangi kaum kafir, dan engkau laksanakan, berperang bersama kami sampai akhirnya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberi kemenangan kepada kita?" Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal." Kembali Bilal bertanya,"bukankah pernah turun ayat yang jauh lebih panjang dari ayat ini, dan engkau bisa menghafalnya? Bahkan ayat ini sekali mendengarpun saya sudah bisa menghafalnya." Rasulullah menjawab,"engkau benar ya Bilal."
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan,"tapi aku menangis karena memikirkan umat sepeninggalku. Mereka mempunyai mata, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk melihat tanda- tanda kekuasaan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai telinga tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk mendengar peringatan- peringatan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mereka mempunyai hati, tetapi aku takut mereka tidak bisa menggunakannya untuk memahami ayat- ayat اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى."

(diringkaskan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Hussain Haikal)

***** 

   2 ayat dari Surat Ali Imran, yaitu ayat 190 dan 191 di atas adalah ayat- ayat favorit istri saya. Dan tulisan ini atas inspirasi darinya dan saya persembahkan untuknya.
   Ayat- ayat yang dahsyat di atas mengandung hikmah yang sangat dalam dan fundamental. Dan jika dijabarkan bisa sangat luas pembahasannya. Intinya adalah kita disuruh untuk bertafakur (memikirkan) penciptaan langit dan bumi sebagai tanda- tanda kekuasaan dan eksistensi اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , sebagai jalan untuk mengenal اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sehingga sampai pada munculnya keimanan dalam diri kita kepadaاللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Keimanan yang timbul dari dalam, yang tidak mudah terkikis pengaruh dari luar. Jika kita sudah beriman kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , dengan mantap, maka langkah- langkah selanjutnya dalam beragama ini akan menjadi mudah.
   Proses tafakur ini yang juga terjadi pada Nabi Ibrahim a.s, sehingga beliau mempunyai iman yang super kuat. Bahkan ancaman pembakaran atas dirinya, cobaan untuk meninggalkan keluarganya di tengah padang pasir, sampai mengorbankan anak kesayangannya pun tidak sedikit jua menyurutkan imannya. Silakan dikaji Al Qur'an Surat 6 Al An'aam ayat 75 sampai 79.

Dalam beragama, harus berfikir atau harus sami'na wa 'atho'na?

   Tapi kenapa اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita berfikir? Bukankah Allah dan RasulNya selalu menyuruh umat Islam ini untuk sami'na wa 'atho'na (kami dengar dan kami taati)? Banyak sekali orang yang berpendapat,"ah sudahlah, kalau Pak Kyai sudah bilang A ya A, nggak usah banyak nanya nggak usah banyak komen, terima dan kerjakan saja." Atau ada yang berpendapat bahwa 'belajar tanpa guru, maka sama saja berguru kepada syetan' (atau kalimat semacam). Atau kalau kita mempunyai suatu pendapat, orang akan menyangkal dengan argumen,"wah, jangan menurut pendapat saya, dong, ntar jadinya sesat, kita harus nurut ulama- ulama terdahulu yang sudah jelas kompeten."
   Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa yakin kalau ulama atau Pak Kyai itu ilmunya benar? Apa menurut pendapat orang banyak? Pertanyaan susulan, bagaimana kita tahu bahwa penilaian orang banyak kepada sang ulama atau Pak Kyai itu benar? Akhirnya keputusan ada dan berasal dari kita sendiri. Nah agar tidak salah pilih inilah kita perlu berfikir.
   Sebenarnya tidak hanya dalam ayat di atas اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengisyaratkan kita untuk berfikir. Bisa kita temui ayat- ayat dengan kata- kata 'apakah kamu tidak memikirkan?' atau 'apakah mereka tidak berpikir?' atau 'apakah mereka tidak mengambil pelajaran?' dsb. Intinya اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita untuk berpikir. Tidak hanya masalah keduniawian, tetapi juga yang bersifat ghaib atau yang masih ghaib. 

Lalu bagaimana dengan sami'na wa 'atho'na?  

   Ketaatan pun ada ilmunya. Orang yang taat dengan berilmu, tahu kenapa ia harus taat, akan cenderung konsisten dalam ketaatannya. Orang yang tidak mengerti untuk apa dia taat, akan mudah untuk berubah pikiran. Suatu saat akan timbul ide coba- cobanya, atau merasa lebih tau dari yang ditaatinya. Akhirnya dia akan keluar dari ketaatannya.
   Contoh Nabi Ibrahim di atas bisa kita jadikan acuan. Setelah kokoh imannya, maka dengan sami'na wa 'atho'na, beliau laksanakan perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tanpa ada tawar menawar.
   Saya ambil contoh ketaatannya Abu Bakar r.a saat menerima berita tentang Isra' Mi'raj. Beliau tetap taat dan meyakini kebenaran Rasulullah SAW pada saat kebanyakan orang menyangsikan kebenaran cerita Rasulullah SAW itu. Apa yang membuat Abu Bakar r.a begitu yakin akan kebenaran Rasulullah dan tetap taat dan setia kepada beliau? Abu Bakar r.a adalah sahabat karib Rasulullah sejak remaja. Dengan mentafakuri sifat- sifat sahabatnya tersebut, Abu Bakar r.a mengenal betul siapa Muhammad SAW itu, dan itu sebuah ilmu. Dengan ilmu yang beliau dapat dari hasil mentafakuri diri sahabatnya itu, maka dengan tegas Abu Bakar r.a berkata, "kalau itu datangnya dari Muhammad, lebih dahsyat dari itupun aku percaya." Jadi setelah ilmunya mantap, baru beliau menyatakan sami'na wa 'atho'na.
   Kemudian ada juga 'ketidak taatan' yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Pernah saya menceritakan kisah beberapa orang yang diutus ke kampung Bani Quraidah di artikel 'Ilmu yang Bertingkat'. Mereka tidak taat kepada Rasulullah SAW, tapi dengan ilmu yang mantap. Dan memang Rasulullah SAW tidak memvonis bahwa itu adalah pelanggaran.
   Dan satu lagi saya copy- pastekan dari Siroh Nabawiyah Muhammad Husain Haikal tentang adab untuk mengemukakan saran, yang sekilas ini jauh dari konsep sami'na wa 'atho'na:
 
Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:

"Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?"

"Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang," jawab Muhammad.

"Rasulullah," katanya lagi. "Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."

Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.

Lagi- lagi karena ilmu. Seorang bawahan boleh menyanggah ketetapan pimpinan, tentu dengan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja ilmu didapat dari proses berpikir. Dan atasan pun dengan besar hati menerima saran bawahannya yang lebih bagus. Rasulullah tidak menuntut bawahannya untuk sekedar sami'na wa 'atho'na.

Yang beriman sudah tentu islam, yang islam belum tentu beriman. 

Ada pendapat yang mahsyur dari para ulama, bahwa orang yang beriman (mukmin) itu otomatis sudah islam (muslim/ berserah diri kepada  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) . Sedangkan orang yang mengaku islam belum tentu beriman. Ini juga didasarkan QS 49: 14 berikut

  قَالَتِ الْأَعْرَ‌ابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّـهَ وَرَ‌سُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ‌ رَّ‌حِيمٌ

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk'(aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (14) 

 Ini dikarenakan, jika iman itu telah tertanam di dalam dada seseorang, maka dia akan melaksanakan amalan- amalan yang diperintahkan oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Sedangkan orang yang melakuan amalan, bisa jadi imannya masih sangat lemah (Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan — Muslim.Or.Id).

Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia- sia. (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

(At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
(At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Sepotong kalimat dari Surat Ali Imron ayat 191 di atas yang masih harus saya renungkan. Untuk siapa langit dan bumi ini diciptakan. Tidak sia- sia untuk siapa? Untuk اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ? Rasanya Dia tidak membutuhkannya. Untuk kita kah? Maka mari jangan sampai kita merusak semesta yang diciptakan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ dengan tidak sia- sia dengan jalan mengikuti petunjuk Sang Pencipta.   

 *****
Allahu a'lam bishshawab. 

Especially dedicated to my inspiring woman. 

 

Sabtu, 15 September 2012

Ilmu Sesat Yang Menuntun Kepada Hidayah

 بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

Ilmu Sesat Yang Menuntun Kepada Hidayah
 (Jika Anak Kita Bertanya)

   Pernah suatu ketika saat saya sedang membaca buku yang temanya nyeleneh, teman saya melihat dan bertanya,"ngapain baca buku gituan? Bagi saya yang penting kita tahu, ya sudah, nggak perlu dibahas kesana- kemari". Saya hanya menjawab, bahwa saya perlu tahu wawasan orang lain, baik sepaham atau tidak dengan kita, supaya nanti jika harus menjawab pertanyaan atau menjelaskan kepada orang lain, kita sudah mengerti permasalahannya. Ada juga yang menegur istri saya ketika istri saya bertanya kepada ustadz yang menurut pandangan mereka aqidahnya tidak lurus, sudah tahu aqidahnya salah masih ditanyain, begitu kira- kira teguran mereka. Istri saya menjawab,"kita perlu tahu dong kenapa mereka melakukan ini- itu, supaya nanti jika anak saya menemui hal semacam itu, saya bisa menjelaskannya".    Kadang- kadang kita berani mengatakan suatu perbuatan atau pemahaman orang lain salah, tanpa kita tahu alasan mereka melakukannya. Mungkin mereka mempunyai dalil yang kita belum tahu atau terpikir. Saya beri satu contoh yang populer. Banyak orang yang berziarah kubur ke makam Wali (9) atau ulama- ulama yang dianggap berjasa dalam penyebaran Agama Islam. Banyak dari mereka yang ketika berada di samping makam Sang Wali meminta agar Sang Wali mendo'akan mereka. Atau membaca do'a dalam bahasa Arab yang diberikan (dijual) oleh panitia pengurus makam, yang menurut penyelidikan beberapa da'i, ternyata isinya meminta agar Sang Wali mendo'akan mereka. Banyak orang yang memvonis perbuatan ini termasuk perbuatan musyrik. Apakah anda termasuk yang memvonis syirik? Kalau iya, tunggu dulu.
   Saya mengetahui bahwa ada sebagian dari mereka yang mempunyai dalil dari Al Qur'an yang (menurut mereka) membenarkan perbuatan ini. Sudahkah anda tahu? Dalilnya Al Qur'an lho, jangan main- main! Silahkan simak QS 2: 154 dan QS 3: 169.

وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَـٰكِن لَّا تَشْعُرُ‌ونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS 2: 154)


وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَ‌بِّهِمْ يُرْ‌زَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS 3:169)

Jadi menurut mereka, Sang Wali ini masih hidup, karena mereka gugur sebagai syuhada, sah- sah saja dong minta dido'akan orang yang masih hidup, ya, to? Bayangkan jika kita tidak tahu dalil ini dan terlanjur memvonis mereka musyrik. Bisa- bisa mereka menjawab,"ini menurut Qur'an, lho. Anda percaya Qur'an nggak? Kalau percaya, jangan memvonis saya sebagai orang musyrik. Kalau tidak percaya Qur'an, berarti sampeyan ini orang kafir!" Nah lho, malah kita yang terkena vonis kafir. Masih mau memvonis mereka musyrik? Silahkan cari alasan yang lain. Bagi saya jika mereka mengetahui sifat- sifat اللَّـهُ , itu akan jauh lebih berarti. Tugas kita membetulkan aqidah mereka (tentu saja aqidah kita terlebih dahulu). 
   Maka dari itu mempelajari ilmu yang 'nyeleneh'pun perlu. Tentu lebih diutamakan belajar ilmu yang benar. Secara sedarhana, jika kita ingin membangun rumah yang aman dari maling, kita harus tahu 'ilmu maling'. Kita mesti tahu maling itu kira- kira akan masuk dari mana. Kalau ada kemungkinan dari jendela, ya kita pasang teralis. Maling bisa dengan mudah melepas engsel pintu jika arah terbukanya pintu adalah keluar, maka kita bikin pintu yang jika membuka daunnya ada di dalam, dst...dst... Itu semua memungkinkan jika kita tahu ilmu maling tadi, baik melalui belajar, pengalaman, maupum naluri.
   Dan terkadang untuk mengetahui kebenaran, kita juga harus mengetahui mana yang salah. Makanya Al Qur'an disebut Al Furqon karena menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Nabi Ibrahim a.s pun sebelum menemukan kebenaran, yaitu اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah Tuhan alam ini, mempelajari ilmu, yang pada akhirnya beliau sadar bahwa ilmu itu sesat, yaitu menuhankan bintang, bulan, dan matahari.
   Ada kisah unik dalam Al Qur'an, dimana ilmu sesat justru menuntun pada hidayah. Alkisah Fir'aun memandang mu'jizat Nabi Musa a.s sebagai sihit. Maka dari itu ia mengumpulkan ahli- ahli sihir se Mesir untuk mengalahkan sihir Musa a.s itu, dengan imbalan kedudukan yang tinggi jika mereka berhasil. Tatkala Musa a.s dan para penyihir itu telah berhadapan, maka Musa a.s mempersilahkan mereka untuk melakukan atraksinya terlebih dahulu. Merekapun mempraktekkan ilmu sihir mereka. Tali- tali dan tongkat yang mereka lemparkan seolah- olah menjadi ular dalam pandangan orang awam. Kemudian Musa a.s melemparkan tongkatnya dan berubah menjadi ular besar yang memakan 'ular- ular' kecil milik para penyihir tersebut atas izin اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Para penyihir, yang tentu saja tahu betul seluk beluk persihiran paham bahwa apa yang dilakukan Musa a.s bukanlah sihir, melainkan mu'jizat. Seketika mereka menyatakan beriman kepada Tuhannya Musa a.s. Bahkan mereka sangat kokoh imannya, sehingga ancaman potong tangan dan kaki dari Fir'aun pun tidak menyurutkan iman mereka. Bagi orang- orang yang tidak paham ilmu persihiran, mereka menganggap para tukang sihir itu kong kalikong dengan Musa a.s untuk mengelabuhi Fir'aun dan kaumnya. Dan mereka tetap dalam kekafirannya. (QS 20: 63- 73)   
   Demikianlah, ilmu sesat semacam sihir (QS 2: 102) ternyata bisa juga membawa rahmat bagi pemiliknya. Yang menjadi dasar adalah hati nurani. Para tukang sihir Fir'aun mengikuti hati nurani mereka yang membenarkan mu'jizat yang dibawa Musa a.s. Jadi, jika kita mampu mengikuti hati nurani, maka kita akan bisa mengendalikan ilmu yang kita miliki. 
Allahu a'lam bishshawab.

Selasa, 11 September 2012

Kok Abu Jahal Yang Ketiban Julukan Abu Jahal?


بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 KOK ABU JAHAL YANG KETIBAN JULUKAN ABU JAHAL?
   Kok judulnya tumpang tindih, ya? Soalnya kalau diganti ‘Biografi Nggak Komplet Abu Jahal’ juga tetap nggak mutu. Dan nama Abu Jahal adalah yang paling populer diantara nama- nama lain yang disandang tokoh yang dimaksud. Jadi terinspirasi sebuah karya sastra lama (sudah lupa apa prosa, cerpen, atau novel, dan juga penulisnya, maklum sudah sejak jaman SMP) berjudul Open.
Dalam masyarakat Arab, sesuai survey lapangan (bukan menurut kamus manapun), kata ‘abu’ bisa berarti bapak, bisa juga berarti orang yang mempunyai(sesuatu yang khas/ istimewa). Contoh yang berarti bapak/ bapaknya: Abu Thalib berarti bapaknya Thalib, Abu Said artinya bapaknya si Said. Contoh yang berarti yang mempunyai: yang sekarang ada Abu Shareb artinya laki- laki yang mempunyai kumis yang cukup mencolok, bisa kita katakan dalam bahasa Indonesia Pak Kumis. Jaman Nabi SAW ada Abu Hurairah yang artinya orang yang mempunyai banyak kucing karena beliau suka dengan kucing. Ada lagi Abu Lahab yang artinya orang yang mempunyai nyala api karena dipipinya terdapat rona merah. Ali r.a dipanggil Abu Thurab (yang mempunyai debu) karena suatu saat Rasulullah SAW pernah menemui beliau ketika banyak debu yang menempel di bajunya.
   Jadi Abu Jahal bisa berarti ‘bapaknya kebodohan’ atau ‘orang yang mempunyai kebodohan’. Dari mana dapatnya? Kenapa dia yang ketiban julukan yang amat buruk ini, padahal dia bukan satu- satunya pemuka Suku Quraisy yang memusuhi Rasulullah SAW. Ada Abu Lahab yang secara terang- terangan maupun dari belakang menghalangi dakwah beliau SAW. Ada pula Umayah bin Khalaf yang sangat membenci Islam. Tentu semua tahu bagaimana perlakuannya kepada Bilal bin Rabbah. Kemudian juga ada Abu Sufyan, sang menteri perekonomian Quraisy.
   Nama aslinya Amr bin Hisyam, oleh masyarakat Quraisy biasa disebut atau dipanggil Abal Hakam, artinya orang yang mempunyai hukum atau ringkasnya ahli hukum. Dialah hakim untuk kaum Quraisy, karena dia menguasai undang- undang suku Quraisy. Dan dia adalah salah seorang dari ‘dua Umar’ yang oleh Nabi SAW didoakan supaya salah satunya mendapat hidayah dari Allah SWT untuk masuk Islam. Tapi ternyata Allah SWT memilih memberikan hidayahNya kepada Umar yang satunya, ibnu Khattab.
   Pada waktu itu kaum Quraisy tidaklah bisa dikatakan kaum yang bodoh ataupun tertinggal. Terbukti mereka sudah mahir dalam berdagang. Dan tentu saja dalam bidang sastra mereka sangat terkenal. Jadi siapa yang memberikan istilah ‘Jaman Jahiliyah’ untuk jaman itu? Ya, tentu saja  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى melalui RasulNya Muhammad SAW. Dan wahyu yang pertama kali turun yang berisikan kata ‘jahiliyah’ menurut beberapa sumber adalah QS Al Maidah (5) ayat 50:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS 5:50).
   Ternyata ayat yang pertama kali memakai kata jahiliyah adalah untuk menyebut hukum yang mereka (Kaum Quraisy) pakai. Jadi menurut  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  hukum yang mereka pakai adalah hukum yang sangat bodoh, tertinggal, nggak mutu. Kalau seseorang mempunyai anak buah (preman), kemudian preman- preman itu suka membuat kerusuhan, maka orang itu bisa disebut sebagai bapak/ mbah/ biangnya kerusuhan.
   Demikian pula nasib Abal Hakam (Abu Al Hakam), karena hukum yang ia kuasai dan ia praktekkan ternyata dicap sebagai hukum yang bodoh dan tertinggal, maka produknya pun sudah pasti bodoh dan tertinggal. Karena Hakam (versi Quraisy)= Jahal (atau jahil versi  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى lewat QS 5: 50 di atas) akhirnya namanya diubah oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  menjadi Abu Jahal.
Jadi, begitulah kenapa Abu Jahal mendapat julukan Abu Jahal*.
Allahu a’lam.
 
*Terinspirasi dari kata- kata:..jadi, begitulah kenapa Open diberi nama Open.