Selasa, 29 Juli 2014

Tebak- tebakan Pohon Khuldi

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

TEBAK- TEBAKAN POHON KHULDI

   Sampai hari ini perdebatan tentang pohon yang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى melarang Nabi Adam a.s untuk mendekatinya terus menjadi topik yang hangat dan semakin menambah penasaran. Ada yang mencoba  meneliti untuk mengetahui pohon apa sebenarnya yang dimaksud dalam cerita awal peradaban manusia itu. Ada yang menurut saja dengan pendapat penganut agama lain, yang menurut saya mereka juga sekedar menerka saja, bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon apel.
   Sekarang mari kita renungkan, jika seandainya diketemukan bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon tertentu, lalu pertanyaannya, mau diapakan pohon itu? Ditebang, dijauhi, atau malah dikeramatkan? Saya rasa tidak banyak manfaat yang bisa kita ambil andaikan kita benar- benar mengetahui secara fisik pohon yang dimaksud. Lantas, apa tidak perlu kita mengkajinya? Jawabannya jelas dan tegas: PERLU. Sebab Al Qur'an diturunkan oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebagai pelajaran buat kita, dan kita dituntut untuk mengambil pelajaran darinya. Lha terus kalau nantinya pohon itu ketemu 'barangnya', mau apa, toh nggak terlalu berpengaruh terhadap kemajuan kehidupan (baca: peradaban) kita.
   Mari kita coba melihat dari sisi lain. Jika kita hanya melihat suatu 'cerita jaman dahulu' hanya dari sisi fisikalnya saja, maka bisa jadi perdebatannya tidak akan ketemu dan tidak akan selesai- selesai, padahal ceritanya sudah selesai sejak dahulu kala. Maka salah satu sudut pandang yang bisa kita coba adalah dari sisi filosofi. Dari sisi filosofi ini kita mencoba mencari hikmah peristiwa Nabi Adam a.s, Iblis, dan pohon khuldi tersebut.
   Tentu kita semua sudah familiar dengan cerita yang sedang kita bahas, maka saya kira tidak perlu banyak menukil ayat- ayat yang bersangkutan. Namun rasanya perlu saya tulis ringkasan ceritanya. اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menempatkan Nabi Adam a.s di dalam surga. Di dalam surga itu Nabi adam bersama Siti Hawa hidup dengan diberi kebebasan menikmati apa saja kecuali sebuah pohon kayu. Iblis yang menyebut pohon itu sebagai pohon khuldi (keabadian) menggoda Nabi Adam a.s dan Siti Hawa untuk memakan buahnya. Akhirnya Nabi Adam a.s dan Siti Hawa terbujuk oleh rayuan Iblis sehingga dimurkai oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
   Perlu diingat bahwa kita tidak sedang membicarakan fisik pohon itu, namun filosofinya. Maka yang kita cari adalah perumpamaan- perumpamaan yang diberikan oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kepada kita melalui Al Qur'an. Ternyata yang bisa kita temukan dari sekian banyak perumpamaan adalah pohon yang disebut dalam Al Qur'an surat Ibrahim (14) ayat 24-26, yang isinya:
أَلَمْ تَرَ‌ كَيْفَ ضَرَ‌بَ اللَّـهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَ‌ةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْ‌عُهَا فِي السَّمَاءِ 

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَ‌بِّهَا ۗ وَيَضْرِ‌بُ اللَّـهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُ‌ونَ 

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَ‌ةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْ‌ضِ مَا لَهَا مِن قَرَ‌ارٍ‌ 

   Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (24)
 pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (25)
  Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (26)

Kalimat yang baik atau kalimat thayibah menurut para ulama adalah dua kalimat syahadat, dan kalimat- kalimat lain yang menyuruh atau mengajarkan kebaikan dan ketakwaan. Singkatnya kalimat yang baik adalah ajaran dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  itu sendiri, yaitu Islam. Sedangkan kalimat yang buruk adalah kebalikannya, yaitu setiap kalimat yang mengandung ajaran pembangkangan, kemungkaran, kedzaliman, kufur, dan lain- lain yang secara singkat bisa disebut sebagai perbuatan dosa.
   Sekarang jadi kelihatan sangat simpel, اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mempersilahkan Nabi Adam a.s dan Siti Hawa untuk menikmati segalanya kecuali pohon larangan yang dengan kata lain bisa bermakna mereka dilarang untuk mendekati hal- hal yang bisa bersifat mendekatkan mereka pada pembangkangan, kemungkaran, kedzaliman, kufur, dan hal- hal yang senada lainnya yang menuju satu kata: dosa. Artinya pula اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah menetapkan aturan- aturanNya untuk dilaksanakan oleh Nabi Adam a.s. Namun sayangnya leluhur kita Nabi Adam a.s terbujuk oleh rayuan musuhnya yaitu Iblis yang membuat beliau tergelincir untuk melakukan hal yang dilarang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
   Yang lebih menarik lagi ketika kita baca surat Al A'raf yang juga membahas cerita ini. Kita perhatikan ayat 22 dari Surat Al A'raf tersebut:

فَدَلَّاهُمَا بِغُرُ‌ورٍ‌ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَ‌ةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَ‌قِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَ‌بُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَن تِلْكُمَا الشَّجَرَ‌ةِ وَأَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ

maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (22)  

Kemudian mari kita hubungkan dengan kelanjutan ayat tersebut, kita loncat ke ayat 26nya (masih di surat yang sama):

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِ‌ي سَوْآتِكُمْ وَرِ‌يشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ‌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُ‌ونَ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (26)  

Sudah ketemu? Menarik, bukan? Ya, di ayat 22 اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengisahkan setelah Nabi Adam a.s dan Siti Hawa memakan (bukan hanya mendekati pohonnya) buah dari pohon tersebut, maka nampaklah aurat mereka dan mereka berusaha menggantinya dengan daun- daun surga. Kemudian di ayat 26nya  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىmengingatkan kembali kepada cerita Nabi Adam a.s tadi dan menyinggung tentang pakaian serta menyebutkan bahwa pakaian yang paling baik adalah pakaian takwa. Bisa kita ambil pelajaran bahwa pakaian terbaik di sisi اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah pakaian takwa, bukan pakaian yang secara fisik materi yang kita pakai sekarang ini, dan bukan pula pakaian dari daun- daun surga yang Nabi Adam a.s dan Siti Hawa memakainya untuk mencoba menggantikan pakaian takwa yang terlepas dari mereka. Maka tatkala mereka memakan buah dari pohon khuldi, yaitu si pohon buruk, hakekatnya adalah mereka melepaskan ketakwaan mereka. Lepas dari takwa artinya hanya satu: berbuat dosa.
   Dari dua ayat di atas, yakni Surat Al A'raf ayat 22 dan 26, maka pemisalan pohon khuldi dengan pohon yang disebut dalam Surat Ibrahim ayat 24-26 menjadi semakin kuat.
   Jika kita memegang hal ini sebagai pelajaran yang bisa kita petik hikmahnya dari cerita 'Pohon Khuldi' tersebut, maka Insya Allah kita akan mendapat manfaat yang besar. Dan pohon khuldi itu sekarang ini ada! Dekat sekali dengan kita, bukan hanya di depan mata, bahkan mengelilingi kita, tidak perlu repot- repot mencari, meneliti, apalagi memperdebatkan untuk mengetahui wujudnya. Seandainya tiap- tiap diri kita mampu mengambil pelajaran untuk tidak sekali kali mendekati pohon khuldi itu, Insya Allah dunia ini akan maju dengan peradaban yang gemilang.........

Allahu a'lam bishshawab.

*Special thanks to my lovely wife for her inspirations* 

Sabtu, 26 Oktober 2013

Beda Ibadahnya Jin Dengan Ibadahnya Manusia

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

BEDA IBADAHNYA JIN DENGAN IBADAHNYA MANUSIA

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

  Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
  (QS 51: 56)

   Kita tentu akrab dengan ayat di atas, ya itulah Surat Adz Dzariyat ayat 56. Ayat tersebut dengan jelas tugas yang diemban oleh jin dan manusia dalam kehidupan ini. Dengan kata lain tujuan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan jin dan manusia adalah untuk mengabdi/ beribadah kepadaNya. 
   Lalu apakah cara ibadah antara jin dengan manusia itu sama? Ternyata tidak. Ini bisa kita temukan di beberapa ayat yang menceritakan awal mula penciptaan manusia pertama, yaitu Adam a.s. Contohnya adalah Al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 30:


وَإِذْ قَالَ رَ‌بُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْ‌ضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS 2: 30)

Selain beribadah kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , ternyata ada lagi tugas yang harus diemban manusia, bahkan jika kita analisa ayat di atas, justru untuk tugas inilah manusia diciptakan! Artinya jika tidak ada posisi "khalifah di muka bumi" itu, rasanya tidak perlu اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan manusia. Di ayat itu jelas sebelum manusia diciptakan sudah ada makhluk yang bernama malaikat. Dan di ayat- ayat selanjutnya dan ayat- ayat lain juga disebutkan bahwa Iblis dan bangsanya (jin) juga telah diciptakan sebelum manusia. Tapi jabatan "khalifah di muka bumi" itu tidak diberikan kepada malaikat maupun jin.
   Jelas dari analisa di atas bisa disimpulkan bahwa jika manusia dalam hidupnya tidak menjadi khalifah di muka bumi, maka hidupnya sia- sia. Tentu tidak semua orang bisa menjadi khalifah di muka bumi, karena di saat yang bersamaan hanya boleh ada satu khalifah. Namun sekurang- kurangnya manusia punya cita- cita menjadi khalifah di muka bumi ini, paling tidak mendukung salah satu diantara manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Jika tidak ada keinginan atau kesadaran bahwa dirinya diciptakan fungsinya adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi, maka sia- sialah hidupnya.
   Ibarat sebuah jam tangan, ia dipakai tidak sekedar sebagai hiasan tangan, melainkan fungsi utamanya sebagai penunjuk waktu. Seandainya tangan kiri kita mengenakan jam tangan yang sangat indah, dan tangan kanan kita menggunakan gelang yang sangat indah pula, maka banyak orang akan terpesona. Namun jika ternyata jam tangan yang kita pakai mati atau tidak berfungsi menunjukkan waktu, maka ceritanya akan lain. Orang tetap akan mengagumi gelang kita meskipun ia tidak dapat menunjukkan waktu, karena itu bukan tugasnya. Tapi orang tidak akan memandang bagus jam tangan kita yang mati, meskipun tampilannya sangat indah. Bahkan bisa jadi orang akan mentertawakan kita karena memakai jam mati.
   Kemudian bagaimana cara yang benar sebagai khalifah di muka bumi? Karena kita ditugasi oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjadi mandatarisNya, maka sudah sangat jelas kita harus melaksanakan apa yang Dia mau. Tidak bisa kita melakukan apa yang kita mau sedangkan itu bertentangan dengan apa yang Dia mau. Jika perilaku kita bertentangan dengan kemauanNya, tentu batallah jabatan kita sebagai "khalifah di muka bumi" ini.
   Bagaimana dengan jin? Karena yang ditugasi sebagai khalifah di muka bumi adalah manusia, maka bangsa jin tidak diberi kewajiban menjalankan ibadah yang berhubungan dengan kekhalifahan (kepemimpinan) dan tugas- tugas sosial lainnya. Bangsa jin tidak diberi kewajiban menolong dan menegakkan agama Allah. Mereka tidak wajib menjaga kelestarian bumi ini, dan sebagainya yang merupakan tugas manusia sebagai pemimpin di bumi ini. Kecuali hanya sekedar menyampaikan tentang kebenaran ayat- ayat Al Qur'an kepada makhluk sebangsanya.
   Jika kita perhatikan di Surat Al Jin dan Surat Al Ahqaf  29- 32, maka ayat- ayat yang menceritakan kehidupan jin merupakan ayat- ayat aqidah. Jadi jelaslah perbedaan ibadahnya manusia dengan ibadahnya jin. Maka mari kita beribadah seperti yang ditugaskan kepada kita, tidak hanya beribadah selayaknya jin beribadah, jika tidak, bisa- bisa kita jadi barang tertawaan seperti jam yang indah namun rusak...

Allahu a'lam bishshawab.

Senin, 16 September 2013

Baiti Jannati Bagian 2

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 BAITI JANNATI (BAGIAN 2)

   Telah dibahas di posting saya sebelumnya bahwa slogan "Baiti Jannati" mengandung pengertian tentang pelaksanaan ajaran- ajaran Islam dalam rumah tangga kita. Tentunya pelaksanaan ajaran- ajaran Islam oleh seluruh anggota keluarga idealnya dimulai dari kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga selain melaksanakan ajaran- ajaran Islam untuk dirinya sendiri, juga menyuruh kepada anggota keluarga yang lain, yaitu istri dan anak- anak. Di dalam rumah, tentu saja pelaksanaan ajaran- ajaran Islam tersebut dibimbing dan diawasi oleh kepala keluarga. Ketika telah terjalin kesadaran menjalankan ajaran- ajaran Islam oleh seluruh anggota keluarga, kemudian terjadilah saling mengawasi, dalam artian saling mengingatkan untuk melaksanakan maupun mengingatkan jika ada anggota keluarga yang tidak melaksanakan.
   Proses yang demikian itu akan menjadi efektif jika pelaksanaannya dilakukan secara intensif. Artinya si pembimbing, dalam hal ini kepala rumah tangga, terus menerus membimbing dan terus menerus pula mengawasi. Hal ini bisa terjadi karena memang frekuensi pertemuan antara masing- masing anggota keluarga sangat tinggi. Maka di setiap kesempatan berinteraksi antar anggota keluarga, bisa dijadikan kesempatan untuk membimbing anak dan istri untuk memahami dan melaksanakan ajaran- ajaran Islam. Dan tentu saja tidak memerlukan waktu khusus untuk mengawasi pelaksanaannya, karena setiap saat pun kepala keluarga bisa melihat dari dekat apa yang dilakukan oleh masing- masing anggota keluarga. Bisa ditebak jika proses pembimbingan hanya dilakukan sesekali dan tanpa pengawasan yang ketat, tentu hasilnya tidak akan bagus.
   Hasil dari bimbingan dan pengawasan yang intensif itulah yang menjadikan slogan "Baiti Jannati" terlaksana. Inilah kunci untuk melangkah ke tahap berikutnya, "Kampungku Surgaku", dan seterusnya sampai "Semestaku Surgaku".
   Jadi setelah kita membimbing diri kita (Syakhshiyah), langkah yang kedua adalah membimbing dan mengawasi keluarga kita (Usrah), dan kemudian tahap selanjutnya adalah membimbing dan mengawasi tetangga- tetangga kita (Qariyah). Supaya kampung kita menjadi "Surga" pada tahapan selanjutnya, maka kunci yang kita pakai untuk men-"Surga"-kan keluarga kita, yaitu bimbingan dan pengawasan yang intensif terus kita pegang. Tanpa bimbingan dan pengawasan yang intensif, hampir mustahil hasilnya akan memuaskan.
   Kita bisa menengok apa yang dilakukan suri tauladan kita, Rasulullah SAW dalam men-"Surga"-kan Jazirah Arab kala itu. Pertama beliau membimbing dan mengawasi keluarga beliau dalam memahami dan melaksanakan ajaran yang beliau bawa, yaitu Islam. Tentu frekuensi pertemuan beliau dengan keluarga sangat tinggi. Hasilnya, pasti kita mengenal sosok putri kesayangan beliau, yaitu Fatimah. Kita tentu sudah banyak mengetahui akhlaknya yang sangat mulia, ketabahannya, sampai Rasulullah SAW mengabarkan bahwa Fatimah adalah salah seorang ahli syurga. Dan kita tentu mengenal Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a, bagaimana pengetahuan agama beliau yang sampai- sampai diibaratkan jika Rasulullah SAW adalah gudang ilmu, maka Sayidina Ali r.a adalah gerbangnya. Dan kita ingat juga kepatuhan Sayidina Ali r.a yang bersedia menggantikan Rasulullah SAW tidur di atas ranjang beliau ketika orang- orang Quraisy mengepung hendak membunuh Rasulullah SAW. Itu semua karena mereka selalu mendapat bimbingan dan pengawasan langsung dari Rasulullah SAW. Kita tahu bahwa sejak kecil Sayidina Ali r.a berada dalam bimbingan Rasulullah SAW dan bukan dalam pemeliharaan ayahnya yaitu Abu Thalib.
   Dalam pada itu beliau juga aktif berupaya men-"Surga"-kan Mekah. Langkah yang beliau tempuh adalah membimbing dan mengawasi sahabat- sahabat beliau yang telah memeluk Islam di dalam Darul Arqam. Di sini pun Rasulullah SAW melakukannya secara intensif. Dari Darul Arqam inilah terciptanya generasi as Sabiqun al Awwalun yang sangat terkenal akan kualitas keislamannya. Dari sinilah muncul nama- nama Abu Bakar ash Shiddiq, Hamzah bin Abdul Mutthalib,, Ubai bin Kaab, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Mas'ud, Mus'ab bin Umair, dan sampai kepada Umar bin Khattab, serta tokoh- tokoh lain yang begitu hebat memperjuangkan Islam.
   Begitu pula yang terjadi pada penduduk Yatsrib (Madinah) sebelum Rasulullah SAW melakukan hijrah. Dari segelintir orang yang telah membukakan hatinya untuk menerima Islam, karena strategi pertemuan intensif tetap dilakukan, maka akhirnya hampir di setiap rumah di Yatsrib terdengar ayat- ayat suci Al Qur'an setiap harinya. Ini tak lepas dari strategi Rasulullah SAW yang mengirim juru dakwah beliau yaitu Mus'ab bin Umair untuk membimbing dan mengawasi penduduk Yatsrib. Kala itu Mus'ab bin Umair menetap di Yatsrib dalam kurun waktu yang lama, bisa dibilang setahun penuh beliau bertugas membimbing dan mengawasi penduduk Yatsrib. Hasilnya, penduduk Yatsrib dengan senang hati menerima orang- orang Mekah sebagai saudara mereka. Dan kelak merekapun menjadi penolong agama Allah yang sangat tangguh.
   Secara sederhana, salah satu kunci sukses dalam men-"Surga"-kan kampung kita adalah bimbingan dan pengawasan yang intensif. Jika bimbingan hanya dilakukan sesaat saja, kemudian ditinggalkan begitu saja, maka hanya akan menjadi hangat- hangat tahi ayam, setelah beberapa waktu yang singkat segera lupa lagi. Ini bukan hal yang mustahil dilakukan karena kewajiban setiap Muslim adalah menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat. Dan pengawasannya pun bisa dilakukan dengan cara saling mengawasi dan mengingatkan berdasar Surat Al Ashr. Maka jika kita ingin Semesta Alam ini menjadi "Surga Dunia", hendaknya kita mencari metode yang tepat agar langkah kita tidak berhenti di tahap Usrah (keluarga) saja.

Allahu a'lam bishshawab.

Minggu, 11 Agustus 2013

Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi Muhammad SAW

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 PERJANJIAN HUDAIBIYAH, BUKTI KEJENIUSAN POLITIK NABI MUHAMMAD SAW

   Berkembangnya Agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.
   Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kaum musyrikin Mekah. Ini terjadi pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah. Pada saat itu rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah Haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh Suku Quraisy, penduduk Mekah. Maka setelah terjadi negosiasi beberapa waktu, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai. Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama- sama dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku- suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik menyerang Madinah. Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang dibuat oleh Kaum Muslimin berupa parit. Serta berkat bantuan dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berupa badai yang sangat dingin yang menerpa pasukan musyrikin tersebut. Perang ini dipandang sebagai akhir dari usaha Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin Madinah.
   Sedangkan isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut menurut riwayat, intinya adalah:
  1. Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
  2. Bagi penduduk Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
  3. Bagi penduduk Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
  4. Bagi penduduk selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
  5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah.
  6. Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dipersilahkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.
   Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
  1. Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
  2. Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
  3. Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
  4. Point ini bisa disebut imbang.
  5. Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
  6. Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Pada saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja. Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan seperti itu.
   Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 2 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
  1. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
  2. Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur'an Surat Al Hajj ayat 39- 40.
   Maka dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
   Kemudian dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
   Dalam pada itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan itu benar- benar terjadi. Maka ketika Bani Bakr yang menyatakan berpihak kepada Quraisy dan didukung beberapa tokoh Quraisy diantaranya Ikrima bin Abu Jahal menyerang Bani Khuza'ah yang menyatakan memihak Madinah, Nabi Muhammad segera menyiapkan rencana untuk menghukum Kaum Quraisy. Dan pada akhirnya, terjadilah penaklukan Mekah tanpa perlawanan berarti dari penduduk Mekah.
   Maka tepatlah ketika Kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah, dalam perjalanan turun Surat Al Fath (Kemenangan)....

 إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata

Allahu a'lam bishshawab.

Rabu, 31 Juli 2013

"Ketidak Sempurnaan" Itu Adalah Kesempurnaan

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

 "KETIDAK SEMPURNAAN" ITU ADALAH KESEMPURNAAN

   Seandainya baru pertama kali saya membaca Surat Maryam, niscaya pada awal- awal surat ini, saya berpikir ujung dari tiap ayat akan sama semua sampai akhir, yaitu '..yya' atau '...y-a' (Yaa sukun- Hamzah). Tentu saya berharap Surat Maryam ini akan seperti Surat An Naas atau Surat Asy Syams yang akhir ayatnya sama dari ayat pertama sampai terakhir, yaitu 'naas' pada Surat An Naas dan 'ha' pada Surat Asy Syams. Tentu harapan saya semakin besar karena setelah sekian banyak ayat yang saya baca dalam Surat Maryam ini terus menerus berakhir dengan bunyi 'yya' dan 'y-a' tadi, kecuali ayat pertama yang berisi huruf- huruf abjad (Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad). Namun ternyata pada ayat ke- 34 akhirannya berubah tidak lagi berbunyi 'yya' atau 'y-a'. Dan hanya berselang 7 ayat, kembali akhiran 'yya' muncul lagi dari ayat 41 sampai ayat 74, kemudian berubah lagi sampai akhir surat, yaitu ayat 98.
   Bagi saya yang tidak mengetahui seni sastra, terutama sastra Arab, dan hanya tahu bahwa keindahan Syair itu adalah ujung tiap- tiap barisnya seragam, maka tentu awalnya menyayangkan sekali perubahan bunyi dari tiap ayat dalam Surat Maryam tadi. Timbul dipikiran saya, kenapa ayat- ayat yang bunyi akhirannya beda digabung dengan ayat- ayat yang sangat panjang dan bunyi akhir tiap ayatnya sudah sama semua. Apalagi pada ayat 33 itu bisa dijadikan penutup tema cerita, dan ayat 41 pun sepertinya bukan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Kemudian Surat Maryam inipun bisa saja diakhiri di ayat 74, artinya ayat 34- 40 dan ayat 75- 98 dijadikan surat lain, atau digabung ke surat yang lain. Jika demikian "sempurna"lah Surat Maryam ini. Tapi, begitukah?
   Banyak orang, khususnya yang tidak menyukai Islam, suka mencari- cari kelemahan Islam. Salah satu yang mengganggu mereka adalah klaim bahwa Al Qur'an yang ada sekarang ini bukanlah seperti aslinya. Ada pula yang menyangsikan kebenaran penyusunan Al Qur'an yang dilakukan oleh Utsman r.a. Mereka menuduh bahwa dalam penyusunan Al Qur'an ini, Utsman melakukan kesalahan, tebukti ada Al Qur'an versi lain. Namun kenyataannya tuduhan mereka itu tanpa disertai bukti- bukti yang valid, hanya didasarkan kedengkian bahwa kitab suci yang mereka punyai tidak asli seperti Al Qur'an adanya.
   Surat Maryam adalah salah salah satu bukti bahwa Utsman r.a tidak menyusun Al Qur'an menurut keinginannya. Seandainya beliau dalam menyusun Al Qur'an memakai sedikit saja nafsunya, atau seleranya, niscaya beliau akan mencoba menyusun Al Qur'an itu seindah- indahnya seperti selera beliau. Namun karena beliau menyusun Al Qur'an seperti apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW, maka beliau tidak berani merubah- rubah susunan ayat dalam Al Qur'an, apalagi menambah atau mengurangi. Dan jika beliau menyusun Al Qur'an menurut selera beliau, pasti hasilnya tidak akan seindah aslinya, tidak sempurna! Itu hanya akan menjadi seperti syair- syair buatan manusia. Maka meskipun bunyi akhiran tiap ayatnya berbeda- beda, namun Al Qur'an tetap yang paling indah, dan sempurna. Maka dengan perbedaan yang tadinya saya sayangkan, ternyata itu merupakan cara اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjaga keontentikan Al Qur'an. Masyaa Allah.
   Dan seandainya Utsman r.a mencoba merubah Al Qur'an, maka pada saat itu masih banyak para sahabat yang dulunya langsung mendapat bimbingan dari Rasulullah SAW. Dan diantaranya ada Istri Rasulullah SAW yaitu Aisyah, dan sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, yaitu Ali r.a. Dan seperti kita ketahui bahwa sifat Ali r.a sangat tegas, tidak mungkin beliau membiarkan kemungkaran, atau pengkhianatan berada didepan beliau. Tentu Ali r.a lah yang pertama- tama memprotes jika Utsman r.a melakukan tindakan yang tidak sesuai denagn perintah Rasulullah SAW. Seandainya ada alasan bahwa tidak boleh menentang Khalifah, maka tentu Ali r.a bisa merevisi Al Qur'an pada saat beliau menjabat sebagai Khalifah. Namun kenyataannya beliau tidak meralat atau merevisi. Artinya Al Qur'an yang disusun oleh Utsman ini benar- benar seperti apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, persisi seperti yang diketahui oleh Ali r.a.

Allahu a'lam bishshawab.

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? (Asy Syu'araa' 224- 226)

Sabtu, 13 Juli 2013

Baiti Jannati

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

BAITI JANNATI
(SEKUEL DARI 'JANGAN NUNGGU NANTI DI AKHERAT')

   Baiti jannati, atau dalam Bahasa Indonesianya 'Rumahku Surgaku' adalah slogan yang sangat termasyur. Sering kita menemukan pembahasan dengan tema ini di berbagai ruang publik. Tema ini selalu dirangkai dengan pembahasan mengenai keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Pasti pembahasannya akan menjadi sangat indah, bahkan sering dibumbui romantisme dalam keluarga. Tapi di sini kita akan mengupas tema Baiti Jannati ini dari sisi lain secara singkat, yang mungkin tidak semenarik/ sesyahdu pembahasan- pembahasan yang biasa kita temui sebelumnya.
   Menjadikan rumah sendiri sebagai surga, tentulah merupakan keinginan kita semua. Ini karena surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Tapi apakah semua tempat yang berisi kenikmatan adalah surga? Belum tentu. Bisa jadi tempat itu hanya sebagai surga dunia yang lebih cocok diistilahkan sebagai tempat didapatkannya kesenangan dunia yang menipu. Maka disini, kita merefresh kembali makna dari surga itu.
   Seperti yang banyak disebut dalam Al Qur'an dan hadits- hadits, bahwa orang yang beriman dan beramal sholeh akan ditempatkan  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dalam surga. Atau dengan definisi lain, orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (kalaupun melakukan kesalahan segera bertaubat) akan dibalasi dengan surga. Artinya surga adalah suatu tempat yang isinya adalah orang- orang yang beriman dan beramal sholeh, atau orang- orang yang mengikuti segala perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan menjauhi segala laranganNya (atau yang bertaubat jika melakukan kesalahan). Jika penghuninya bukan orang yang mengikuti perintahNya dan atau melanggar laranganNya, maka tempat itu bukanlah surga. Logikanya sederhana, bukan?
   Maka sebuah rumah bisa dikatakan menjadi surga bila di dalam rumah itu dilaksanakan perintah- perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika rumah itu dijadikan tempat untuk ingkar terhadap perintah dan laranganNya, maka rumah itu tidak bisa dikatakan sebagai surga, meskipun penghuninya rukun, saling mencintai, segala kebutuhan tercukupi, bahkan berlebih, rumahnya indah dan nyaman, sejuk, terasa tentram dan damai jika memasukinya. Itu hanya sebagai kenikmatan dunia yang bisa- bisa menjerumuskan penghuninya ke neraka.
   Jika kita kembali kepada kisah manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s, maka ada suatu hal yang menarik untuk kita hubungkan dengan tema ini. Kita tahu bahwa Nabi Adam a.s pada awalnya tinggal di 'Jannah'. Di situ Nabi Adam merasa nyaman, segala kebutuhannya terpenuhi. Namun, ketika Nabi Adam a.s terjebak oleh hasutan syaitan, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى 'menurunkan'nya dari 'Jannah'. Alkisah sejak saat itu Nabi Adam a.s tinggal di bumi ini, bukan di jannah/ surga lagi. Yang menarik adalah sebab keluarnya Nabi Adam a.s dari jannah/ surga adalah karena melanggar perintah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى untuk tidak menuruti kata- kata Iblis, dan untuk tidak mendekati buah yang dilarang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Dengan dilanggarnya larangan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di tempat itu, maka 'turun'lah status Nabi Adam a.s dari penghuni jannah/ surga menjadi penghuni bumi. Ini karena jannah/ surga bukanlah tempat orang- orang yang melanggar ketentuanNya.
   Maka dari itu, untuk masuk surga tidak perlu menunggu nanti di akherat. Kita mulai sekarang bisa membangun surga kita. Insya Allah jika kita berhasil membangun surga kita di dunia ini, di akherat pun akan menghuni surga pula. Di sana kita akan ditemani bidadari- bidadari surga, menempati tempat yang indah dan nyaman, sejuk, penuh kenikmatan, segala kebutuhan tidak perlu diusahakan melainkan akan terpenuhi sendiri...dst.
   Dan jika kita telah berhasil menjadikan rumah kita menjadi surga kita, mudah- mudahan dengan usaha bersama kita bisa menjadikan kampungku surgaku, berlanjut ke kotaku surgaku, negeriku surgaku, akhirnya menjadi bumiku surgaku seperti waktu Nabi Adam a.s belum melanggar aturanNya... Insya Allah...

 Allahu a'lam bishshawab.

Salam untuk 'Bidadari Surgaku'...(insya Allah)

Minggu, 07 Juli 2013

Rukyah dan Hisab, Kenapa Harus Berbeda?



بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 RUKYAH DAN HISAB, KENAPA HARUS BERBEDA?

   Menyambut Ramadhan, bulan mulia dan penuh kemuliaan. Setiap orang tidak sabar menanti datangnya bulan baru, tanggal 1 Ramadhan. Sayangnya sudah berkali- kali suasana menjelang bergantinya bulan ini terusik oleh perselisihan tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan. Sudah pasti hal ini sangat menggangu perasaan Umat Islam, terlebih bagi mereka yang berada dalam pihak 'hanya mengikuti keputusan' yang berharap agar mereka melakukan ibadah puasa tanpa keraguan.
   Sudah umum kita pahami bahwa perbedaan itu, katanya akibat dari perbedaan metode penentuan, yaitu metode rukyah (melihat hilal dengan mata) dan hisab (melihat hilal dengan perhitungan). Namun rasanya aneh jika hanya karena masalah itu yang menjadi penyebabnya. Hal ini dirasakan karena hampir setiap penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, maupun 1 Zulhijjah terjadi perbedaan. Di sini penulis hanya mencoba memaparkan hal- hal dibalik penetapan tanggal- tanggal di atas, yang mungkin mempengaruhi mempengaruhi hasil pengamatan atau perhitungan.

Metode Rukyah

   Metode ini adalah metode yang dipakai oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pada masa itu menurut para ahli sejarah, Bangsa Arab belum menggunakan hitungan dalam menentukan pergantian bulan. Hal ini terekam juga dalam beberapa hadits (contohnya hadits Bukhari no. 931). Maka metode yang digunakan adalah melihat hilal. Jika cuaca menghalangi hilal, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari (hadits Bukhari no. 928). Jika ada salah seorang yang berhasil melihat hilal, maka cukup untuk menjadi dalil penetapan pergantian bulan ini.
   Kelebihan dari metode ini adalah Rasulullah SAW menggunakannya. Kelemahannya adalah sangat terpengaruh oleh cuaca, serta kejelian orang yang melakukannya.
   Namun di sini saya ingin sedikit memberi komentar. Rasanya tidak bisa dibilang konsisten, orang yang ketika menentukan pergantian bulan dengan cara melihat kejadian alam, namun ketika menetapkan waktu sholat tidak pernah mengamati posisi matahari, yang juga merupakan kejadian alam. Saya yakin dulu di jaman Rasulullah SAW ketika hendak mengumandangkan azan, mereka memastikan bahwa posisi matahari telah berada dalam posisi waktu sholat terkait. Hal ini hampir tidak pernah saya temui selama hidup saya. Bisa dipastikan muazin- muazin sekarang ini cenderung melihat jadwal sholat dan jam.
   Maka sangat bagus jika selain mengamati hilal menjelang pergantian bulan, kita juga mengamati posisi matahari ketika hendak mengumandangkan azan.

Metode Hisab

   Metode hisab adalah menghitung bulan menggunakan sains. Bisa dari hasil pengamatan hal yang terus berulang, maupun menggunakan ilmu astronomi yang lebih modern. Hal ini mudah saja dilakukan, karena perhitungan jumlah hari dalam satu bulan terus berulang dan berselang- seling saja antara 29 dan 30 hari (seperti tertuang dalam hadits Bukhari no. 931). Hal ini juga di-cross check dengan pengamatan satelit.
   Kelebihan dari metode ini adalah bisa menentukan tanggal 1 setiap bulan jauh- jauh hari sebelumnya, bahkan bertahun- tahun sebelum dan juga setelahnya. Dan satu lagi kelebihannya adalah tidak bergantung pada cuaca. Kelemahannya adalah Rasulullah tidak memakai metode ini.
   Jika pengambilan ketetapan dikembalikan pada prinsip bahwa suatu peraturan/ hukum ditetapkan untuk mengambil mashlahat sebanyak- banyaknya dan meninggalkan mudharat sebanyak- banyaknya, maka rasanya metode ini tepat jika diterapkan. Salah satu mashlahatnya adalah Umat Islam mengetahui jauh- jauh hari kapan bulan berganti, sehingga bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dengan sistem rukyah, umat masih menunggu kabar sampai malam. Seperti yang terjadi di Qatar ini, dengan sistem rukyah biasanya pengumumannya baru sampai kepada umat setelah sholat Isya. Satu hal lagi yaitu tidak perlu menyebar orang banyak pada malam pengamatan, karena sudah ditetapkan sebelumnya oleh tim kecil.

Hal Lain Yang Mungkin Mempengaruhi Penetapan.

   Pada akhirnya, biasanya satu pihak akan memulai berpuasa, atau merayakan hari raya bersamaan dengan Umat Islam yang tinggal di Mekah. Dan satu pihak lagi akan melaksanakan hal sama 1 hari setelah Umat Islam di Mekah melaksanakannya. (Hal ini mengesampingkan Umat Islam yang melaksanakan puasa atau merayakan hari raya dengan selisih 2 hari atau lebih). Kira- kira ada apa di balik perbedaan ini? Bagi yang penetapan awal bulannya sama dengan pemerintah Saudi, maka hal ini tidak akan memunculkan perdebatan.
   Ada sekelompok Umat Islam yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka tidak sudi memakai peraturan yang ditetapkan oleh kaum kafir. Jika kaum kafir menetapkan bahwa awal dimulainya hari (pukul 00:00) adalah dari daerah mereka (Greenwich), maka kelompok ini bercita- cita mengubah standardnya menjadi Mekahlah patokan waktu sedunia. Pengaruhnya adalah Mekah akan mengalami pergantian hari pertama kali dibanding wilayah lain (segaris bujur). Artinya pada saat maghrib di Mekah, maka Mekah sudah berganti hari dari Selasa ke Rabu, sedangkan wilayah yang lain termasuk Indonesia pada saat yang sama masih hari Selasa (dalam hitungan kalender yang berlaku sekarang sudah hari Rabu).
   Dengan ide ini, maka wilayah Indonesia akan berada "di belakang" negara Saudi Arabia (Mekah). Akibatnya, meskipun berada di lebih timur dari Mekah yang boleh dikatakan melihat terbitnya matahari dan bulan terlebih dahulu, namun tetap tertinggal 1 hari dari Mekah. Maka ketika Saudi memulai puasa hari Selasa, maka negara- negara itu, termasuk Indonesia, memulainya pada hari Rabu berdasar kalender yang berlaku saat ini. Dalam pandangan orang- oarang idealis di atas, hari itu tetaplah hari Selasa.
   Sedangkan kelompok lain memakai standard bahwa benua yang dihuni sebagian besar manusia ini sambung menyambung dari timur ke barat. Dimulai dari Kepulauan Indonesia sampai ke pantai barat Afrika, kemudian di sebelah baratnya Benua Amerika yang terpisah oleh Samudera Atlantik. Jika dibandingkan, Samudera Pasifik lebih lebar dibanding Samudera Atlantik. Maka layak jika dianggap bahwa tempat terbit matahari adalah dari Samudera Pasifik. Maka hitungan haripun selayaknya dimulai dari kepulauan Indonesia. Hal positif dari standard ini adalah daerah berpenghuni yang termasuk mengalami pergantian hari paling lambat (pantai barat Benua Amerika) berjarak sangat jauh dengan daerah berpenghuni tempat dimulainya perhitungan hari (negara- negara di Asia Timur).
   Pengaruhnya Indonesia mengalami pergantian hari lebih awal dari negara- negara di sebelah baratnya, termasuk Mekah. Maka orang yang tinggal di Indonesia bertemu tanggal 1-nya pun menjadi paling awal. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan puasa dan Sholat 'Id di Indonesia berada dalam hari yang sama dengan Mekah, hanya berselisih hitungan jam saja. Dan karena Mekah termasuk berada di pertengahan, maka selisih waktu antara Mekah dan daerah- daerah lainpun tidak terlalu jauh, tidak sampai 12 jam. Berbeda dengan standard yang dibahas sebelumnya yang selisih waktu antara Mekah dan Jakarta bisa mencapai 19 sampai 20 jam (dengan standard waktu sekarang), apalagi Mekah dengan Afghanistan.

Pilih Yang Mana?

   Maka jika memang yang menjadikan perbedaan awal Bulan Ramadhan, Syawal, maupun Zulhijjah adalah soal idealisme standard semata, silahkan anda pilih sesauai idealisme anda. Yang patut dikhawatirkan adalah jika ternyata di balik perbedaan ini ada unsur kesengajaan untuk membuat Umat Islam resah. Kita semua tahu bahwa dengan perbedaan ini musuh- musuh Islam bersorak kegirangan. Dan mereka dengan segala daya upayanya terus mengganggu ketenangan Umat Islam dan membuat kekacauan. Bahkan banyak pula yang mengaku Islam namun tingkah lakunya merusak Islam. Mereka berharap dengan gamangnya Umat Islam melakukan ibadahnya, maka akan mudah diserang sisi aqidahnya.
   Menurut hemat saya perbedaan yang meresahkan tetap harus dihilangkan. Dan itu bukan hal yang mustahil. Jika anda membaca posting sebelumnya yaitu "Jika Satrio Piningit Muncul" maka Insya Allah anda akan menemukan solusi untuk masalah ini.

Allahu a'lam bishshawab.