Minggu, 24 Maret 2013

Manual Book Manusia

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ 

MANUAL BOOK MANUSIA 


وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْ‌ضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِ‌هِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِ‌هِم مُّعْرِ‌ضُونَ

 Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS Al Mukminun (23):71)

 Manual Book
     Kita acap kali membeli barang- barang elektronik untuk keperluan kita. Umumnya perusahaan pembuat perangkat elektronik tersebut menyertakan buku petunjuk penggunaan atau manual book di dalam kemasan produknya. Kalaupun tidak, pasti ada petunjuk singkat untuk menemukan manual book terkait, misalkan konsumen diminta mengunjungi situs internet perusahaan terkait. Yang jelas buku petunjuk itu ada, berbentuk hard copy maupun soft copy. Demikian pula produk- produk lain seperti mobil, mainan, peralatan listrik, dan lainnya juga memerlukan buku petunjuk tersebut.
   Tujuan disediakannya manual book ini sangat jelas, yaitu supaya produk yang mereka pasarkan akan berfungsi dengan baik sesuai tujuannya. Selain itu supaya konsumen bisa dengan mudah mengoperasikannya, awet, dan tidak membahayakan.
    Tentu saja hanya manufacturer yang bersangkutan yang berhak menyusun dan menerbitkan buku tersebut. Jelas karena merekalah pihak yang mengetahui secara pasti detail, cara menggunakan, cara merawat, cara memecahkan masalah jika ada, dan lain- lain. Bahkan jika barangnya berbeda seri saja, maka buku petunjuknya akan beda meskipun pabrik pembuatnya sama. Tidak mungkin manual book untuk produk dengan spesifikasi 'A' diaplikasikan ke produk dengan spesifikasi 'B'. Dan tidak akan sesuai jika kita merubah prinsip- prinsip di dalam manual book mengoperasikan suatu produk yang bersangkutan. Sudah tentu tidak akan bekerja seperti semestinya.
   Bisa kita bayangkan, jika kita punya mobile phone dengan tombol qwerty, tidak mungkin kita memakai manual book untuk mobile phone yang touchscreen. Biar layarnya dipencet sampai gepeng ya nggak bakalan berubah displaynya.

Manual Book Untuk Manusia
   Bagaimana dengan manusia? Suatu produk super canggih yang memerlukan penanganan khusus ini tentu saja mempunyai manual book juga. Jika tidak, tentu akan saling berbenturan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Jika demikian, akan rusaklah produk ini, paling tidak fungsinya tidak akan tercapai. Padahal fungsi manusia tidak main- main, sebagai pemimpin di bumi ini. Yang unik adalah kita harus mengaplikasikannya kepada diri kita sendiri, karena kitalah produk itu. Maka, di mana kita bisa menemukan manual book itu, supaya kita bisa berfungsi sesuai desain Penciptanya?
   Jawabannya jelas, Sang Pencipta telah menerbitkan buku petunjuk itu. Dan jika manusia tidak mengerti hal- hal yang dimaksudkan oleh manual book itu, maka Dia telah menugaskan utusan-Nya untuk memberi contoh. Ya, اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah menurunkan kitab- kitab suci, sejak dari jaman dulu, dan mengutus Rasul- rasul-Nya untuk menyampaikan, menjelaskan, sekaligus mengaplikasikannya ke dalam diri mereka sendiri. Jadi, manusia- manusia yang lain, selain mendapatkan info lengkap dari kitab- kitab tersebut, juga bisa belajar dari penjelasan- penjelasan dari para Rasul, dan juga mencontoh Sang Rasul sebagai sample product, sebagai suri tauladan.
   Bagi yang mengoperasikan dirinya sendiri dengan merujuk manual book tersebut, insya Allah dia akan berfungsi sebagaimana semestinya, seperti yang diinginkan oleh Penciptanya. Bagi yang merujuk manual book selain 'keluaran' dari Sang Pencipta, tentu saja jangan berharap akan berfungsi dengan baik. Bisa jadi malah akan membahayakan dirinya dan orang lain. Ini justru menjadi kebalikan dari tujuan penciptaan kita.
   Ada lagi manusia yang tidak puas dengan isi manual book tersebut. Dia merasa apa yang ada di dalam kitab- kitab buatan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى itu tidak bisa atau tidak cocok untuk diterapkan. Rupanya dia merasa lebih mengetahui daripada Yang Maha Pencipta tentang dirinya, dan bumi seisinya ini, padahal اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mencipta, bukan dia. Bahkan dia tidak melihat sama sekali ketika اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan langit dan bumi, dan dirinya sendiri. Betapa sangat sombongnya orang semacam ini. Dia berani merubah- rubah manual book yang sudah pasti 100% benar, dan pasti cocok jika diterapkan. Sayangnya masih banyak manusia yang sependapat dengan dia, yang akhirnya mengikuti manual book yang sudah tidak asli itu. Akibatnya, sama saja, fungsinya tidak akan tercapai.

Al Qur'an Sebagai Manual Book Edisi Terbaru
   Kitab- kitab yang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah turunkan berlaku sampai pada masa- masa tertentu. Manual book itu menjadi tidak relevan lagi ketika اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah merubah kondisi ciptaanNya. Sebagai gambaran, jika sebuah perusahaan telah mengeluarkan produk yang lebih maju tehnologinya, sehingga manual booknya perlu disesuaikan dengan produk tersebut. Begitu pula Al Qur'an, kitab ini merevisi kitab- kitab sebelumnya, agar sesuai dengan kondisi semesta. Al Qur'an berfungsi membenarkan dan menyempurnakan kitab- kitab sebelumnya.
   Apa yang dibenarkan oleh Al Qur'an dari kitab- kitab sebelumnya? Para ulama sepakat bahwa yang dibenarkan adalah prinsip- prinsip utama dalam beragama, misalnya ketauhidan. Maka banyak sekali hal- hal yang sama yang terdapat dalam Al Qur'an dan kitab- kitab sebelumnya. Misalnya hanya menyembah kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى , mengerjakan sholat, menunaikan zakat, dan lain- lain.
   Sedangkan yang disempurnakan adalah masalah syariat. Misalnya tentang tatacara ibadah, hubungan muamalah, hukum- hukum, dan sebagainya.
   Dan Al Qur'an ini adalah kitab terakhir yang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى turunkan. Ini sudah sempurna, berlaku untuk seluruh manusia dan tak terbatas waktunya, bahkan nanti di akheratpun masih berlaku. Nggak percaya? Di dalam Al Qur'an terdapat gambaran tentang hari hisab, keadaan para penghuni syurga dan neraka. Jangan berpikir itu hanya penggambaran, itu adalah aturan yang nanti berlaku di akherat. Peraturannya barang siapa yang amal sholehnya di dunia lebih berat dari amal buruknya, maka dia berhak masuk surga yang mempunyai fasilitas- fasilitas seperti yang tercantum dalam Al Qur'an. Sebaliknya bagi yang di dunia amal buruknya lebih berat dari amal sholehnya, maka dia masuk neraka. Peraturan yang sangat jelas, dan pasti akan berlaku nanti di akherat.

Ayat- ayat Muhkamat dan mutasyabihat
   Petunjuk- petunjuk dalam Al Qur'an yang dirinci melalui ayat- ayat, terbagi menjadi ayat muhkamat dan ayat muhtasyabihat. Sebagian ulama mengartikan ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya. Sedangkan ayat muhtasyabihat adalah ayat- ayat yang untuk memahaminya diperlukan pengkajian khusus, atau ayat yang belum berlaku sampai nanti suatu saat keadaan memungkinkannya untuk berlaku, dan ada pula yang menyerahkan artinya kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى saja.
   Sebagian ulama yang lain memaknainya lebih rinci, yaitu ayat muhkamat adalah ayat- ayat yang berhubungan dengan prinsip beragama. Ini seperti yang tertulis di atas, menyangkut masalah- masalah tauhid, mengikuti jalan yang lurus dan meninggalkan langkah- langkah syaitan, tujuan penciptaan manusia, dan lain- lain. Inipun sesuai dengan pendapat ulama yang saya urai di alenia sebelumnya. Ayat- ayat ini karena berisi hal- hal prinsipil, maka tidak bisa ditawar- tawar lagi, harus dilaksanakan dan segera. Bagi yang melanggar ayat- ayat ini bisa dikatakan Islamnya tidak benar, atau bahkan mungkin gugur.
   Sedangkan ayat muhtasyabihat, adalah ayat- ayat yang berhubungan dengan tekhnis pelaksanaan agama. Bisa jadi memang perintah- perintah dalam ayat itu belum bisa dilaksanakan dengan sempurna. Atau bisa pula melakukan amal yang sama dengan cara- cara yang berbeda. Yang penting pengaplikasian ayat- ayat ini tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip yang telah diatur dalam ayat muhkamat.
   Contoh pelaksanaan ayat muhtasyabihat ini misalkan, bahwa hukum rajam bagi pezina adalah wajib. Namun ada kisah ketika seorang wanita melapor bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah hasil berzina, maka Rasulullah SAW memutuskan menunda pelaksanaan hukuman bagi wanita tersebut. Hukuman itu ditunda sampai wanita tersebut melahirkan. Kemudian dia melapor lagi, namun oleh Rasulullah SAW ditunda lagi sampai dia menuntaskan masa menyusui bayinya. Baru setelah bayi itu sampai pada masa disapih, beliau SAW melaksanakan hukuman.
   Di sini bisa diambil contoh, bahwa hukumannya wajib (prinsipil), tapi tekhnisnya, yaitu waktu pelaksanaannya bisa ditolerir. Berbeda dengan beribadah kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى harus murni, dan terus menerus dalam kemurniannya. Tidak ada toleransi sama sekali dalam hal ini, karena ini adalah hal yang prinsipil, baik sifat maupun waktu pelaksanaannya.        

Penutup
   Maka mari kita berdo'a kepada  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, agar selalu dalam petunjukNya dalam mengoperasikan diri kita agar tidak keliru mengambil aturan- aturan dari manual book yang lain, atau yang sudah tidak orisinil lagi. Al Qur'an inilah petunjuk dari   اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kepada jalan yang lurus. Kita tidak perlu ragu, tidak perlu lagi merevisi, apalagi mencari penggantinya.

Allahu a'lam bishshawab.

Sabtu, 23 Maret 2013

Toleransi Beragama di Zaman Rasulullah

 بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 TOLERANSI BERAGAMA DI ZAMAN RASULULLAH

   Zaman sekarang ini, baik di Indonesia maupun dimanapun di seluruh dunia, Agama Islam dicap sebagai agama yang intoleran terhadap penganut agama lain. Entah ini karena memang kebencian (atau kedengkian) penganut agama lain terhadap Islam, atau karena Islamofobia, atau mungkin karena perilaku pemeluk Agama Islam sendiri yang memang bersikap intoleran kepada pemeluk agama lain, terutama ketika pemeluk Agama Islam menjadi masyarakat mayoritas. Kadang- kadang dengan dalih amar ma'ruf nahyi munkar, mereka melakukan tindakan yang bisa disebut arogan. Tapi benarkah Rasulullah melakukan hal- hal seperti itu. Dalam kisah siroh nabawiyah bisa kita temukan bagaimana sikap Rasulullah menghadapi pemeluk agama lain, maupun pemeluk Agama Islam yang tidak taat, saat periode Mekah dan periode Madinah.
   Hubungan dengan pemeluk agama lain terjadi baik pada waktu Rasulullah SAW masih berada di Mekah, maupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Pada saat di Mekah, beliau sehari- harinya berbaur dengan masyarakat pagan, penyembah berhala. Bermacam- macam tipe manusia yang beliau hadapi, yaitu orang yang tidak menentang dakwah beliau, meskipun tidak bersedia masuk Islam, maupun orang- orang yang menentang dakwah beliau.
   Dalam upaya kaum musyrik menghalangi dakwah beliau, mereka menggunakan cara kasar maupun halus. Cara kasar yang mereka tempuh diantaranya dengan secara langsung menyiksa pengikut beliau SAW, dan melakukan intimidasi baik kepada Rasulullah SAW maupun pengikut beliau, bahkan percobaan pembunuhan terhadap diri Rsulullah sendiri. Cara halus diantaranya dengan boikot sosial dan ekonomi, menyebar tuduhan- tuduhan untuk merusak citra Rasulullah, dan upaya diplomasi kepada Rasulullah SAW.
   Kondisi umat Islam pada saat itu adalah kaum minoritas yang lemah. Namun kondisi itu terbantu dengan adanya perlindungan dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW, yang merupakan tokoh yang terpandang di kalangan Suku Quraisy. Sedangkan penguasa saat itu adalah orang- orang musyrik. Bagaimana Rasulullah menyikapi orang- orang musyrik itu, terutama dalam kaitan dengan toleransi beragama?
   Suatu ketika para pemuka kaum Quraisy berusaha menghentikan dakwah Nabi SAW dengan cara halus, yaitu diplomasi. Dikisahkan mereka mengutus diplomat mereka, Uthbah bin Rabiah untuk membujuk Nabi SAW. Langkah pertama dengan menawarkan 3-ta (harta, tahta, wanita) kepada Rasulullah SAW gagal. Usaha kedua, dengan menawarkan konsep toleransi beragama, yaitu dengan cara saling bergantian melaksanakan ibadah agama mereka. Artinya kaum musyrik pada waktu tertentu mengikuti Islam, namun di waktu lain umat Islam juga melaksanakan ibadah cara kaum musyrik. Menanggapi ajakan ini, turunlah Surat Al Kafirun ayat 1-6.


قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿١ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥

 لَكُمْ  دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (6)

Inilah sikap Rasulullah SAW terhadap ajakan kaum musyrik. Mereka menawarkan konsep yang salah dalam bertoleransi antar agama. Dalam Surat Al Kafirun jelas sekali bahwa toleransi itu bukan ikut melaksanakan ibadah pemeluk agama lain.
   Dua kali mengalami kegagalan, Uthbah bin Rabiah tidak menyerah. Dia sekali lagi menemui Rasulullah SAW untuk menawarkan konsep toleransi beragama yang lain. Dia meminta agar Rasullah SAW untuk sekedar duduk- duduk bersama mereka, dan dia berjanji akan menikuti dakwah Nabi SAW. Untuk ini, اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan Surat Al Israa' (17) ayat 73-75

 وَإِن كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِ‌يَ عَلَيْنَا غَيْرَ‌هُ ۖ وَإِذًا لَّاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا ﴿٧٣ وَلَوْلَا أَن ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْ‌كَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا ﴿٧٤ إِذًا لَّأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرً‌ا ﴿٧٥ 


Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. (73) Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, (74) kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (75)

Ayat- ayat inipun menolak konsep toleransi beragama yang ditawarkan orang- orang musyrik itu. Padahal sepintas tidak ada kerugian yang akan diderita Rasulullah SAW waktu itu, (dan umat Islam saat ini pun sepertinya tidak akan rugi jika mengikuti ajakan mereka). Namun اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى membuka rahasia potensi buruk jika mengikuti kemauan pemeluk agama lain tersebut dalam ayat 73 tadi. Jika sudah menjadi sahabat, maka sulit untuk menolak ajakan- ajakan selanjutnya yang mungkin semakin menjerumuskan keyakinan umat Islam.
   Lalu, timbul pertanyaan, hal- hal di atas kan terjadi saat umat Islam tidak berdaya, tidak mampu memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk Islam, bagaimana saat umat Islam sudah kuat, samakah konsepnya, atau akan menjadi orang- orang yang mengajak umat agama lain mengikuti ibadah umat Islam? Di Madinah, dimana umat Islam pada waktu itu sudah kuat, sudah menjadi mayoritas, bahkan Rasulullah SAW sudah menjadi pemimpin masyarakat Madinah, kita bisa menemukan jawabannya.
   Madinah yang masyarakatnya terdiri dari bermacam- macam suku bangsa dan pemeluk agama yang berbeda, merupakan contoh suatu negara heterogen. Pada waktu itu Madinah dihuni oleh pemeluk Agama Islam, Yahudi, sebagian kecil Nasrani, dan juga para penyembah berhala. Bagaimana hubungan Umat Islam waktu itu dengan pemeluk agama lain, terutama Yahudi yang jumlah penduduknya cukup besar? Di dalam naskah Piagam Madinah (Madinah Charter/ Sahifah Madinah) yang dirancang oleh Rasulullah Muhammad SAW, kita menemukan konsep toleransi antar umat beragama versi Islam. Pada pasal 25 kita temukan bahwa: "bagi Kaum Yahudi agama mereka, dan bagi Kaum Muslim agama mereka. Kebebasan ini juga berlaku bagi sekutu- sekutu mereka masing- masing, kecuali bagi orang yang berbuat zalim dan jahat, hukumannya hanya akan menimpa diri dan keluarganya." (Naskah Piagam Madinah yang asli tidak terbagi dalam pasal- pasal. Pembagian pasal dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya 'Mohammed en de joden te Madina'. -Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW "The Super Leader Super Manager" volume 5, Kepemimpinan Sosial Politik halaman 95- karya Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec).
   Jelas sekali di sini tidak ada pemaksaan dari pihak Kaum Muslim yang waktu itu sedang berkuasa terhadap pemeluk agama lain untuk mengikuti Agama Islam. Begitupun Umat Islam dilarang mengikuti ibadah mereka. Pada waktu Kaum Yahudi melanggar salah satu pasal dari Piagam Madinah dan karenanya mereka diperangi dan dikalahkan, tetap tidak ada pemaksaan agar mereka masuk Islam. Bahkan pada saat penaklukan Khaibar, kitab- kitab suci mereka diserahkan kembali kepada mereka dalam keadaan utuh.
   Sealain itu ayat- ayat Al Qur'an yang turun pada fase Madinah (ayat Madaniyah) juga mendasari konsep kebebasan dan toleransi beragama versi Islam ini. Diantaranya bisa kita temukan di Surat Al Baqarah (2) ayat 256:

لَا إِكْرَ‌اهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّ‌شْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ‌ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْ‌وَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (256)

Sangat jelas dan tegas, tidak ada paksaan dalam beragama. Karena yang benar sudah sangat jelas, maka bagi yang tidak mengikuti kebenaran berarti memang tidak mau. Jika dipaksa, maka imannya tidak akan benar. Yang terjadi malah mereka akan menjadi orang munafik (Islam KTP). Dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa golongan munafik adalah penghuni neraka paling dasar, jadi masih mending orang yang jelas- jelas kafir. Pun dalam catatan sejarah, orang munafiklah yang lebih berbahaya bagi umat Islam daripada pihak lain yang jelas- jelas menyatakan permusuhan.

Kita lihat juga Surat Al Kahfi (18) ayat 29:
  
 وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ‌ ......  ﴿٢٩

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir"....(29)

Dan umat Muslimpun dilarang untuk menjelek- jelekkan keyakinan mereka. Ini adalah adab yang sangat terpuji dalam bertoleransi. Silahkan simak Al Qur'an  Surat Al An'am (6) ayat 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ فَيَسُبُّوا اللَّـهَ عَدْوًا بِغَيْرِ‌ عِلْمٍ ۗ .... ﴿١٠٨

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.... (108)

   Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa sesungguhnya Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi antar umat beragama. Dalilnya jelas tercantum dalam undang- undangnya orang Islam yaitu Al Qur'an, bukan semata- mata karena kebijakan penganutnya. Dan prakteknyapun sudah dilakukan dengan sempurna pada masa generasi Islam yang mula- mula.
   Lalu bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap orang yang mengaku Islam tapi tidak melaksanakan Islam dengan baik (kaum munafik/ Islam KTP)? Apakah beliau memaksa untuk melaksanakan syariat Islam?
   Tersebutlah kisah Ka'ab bin Malik r.a pada waktu perang Tabuk. Beliau sebelumnya belum pernah absen dalam setiap panggilan perang yang melibatkan kaum Muslimin. Namun saat itu beliau enggan ikut dikarenakan suatu alasan yang tidak patut untuk dituruti. Sepulang Rasulullah SAW dari peperangan, orang- orang munafik menghadap beliau menyampaikan uzur masing- masing, dan Rasulullah SAW menerima begitu saja uzur mereka tanpa memberi sanksi sama sekali. Pada saat Ka'ab bin Malik r.a menghadap, beliau tidak menyampaikan uzur, hanya meminta maaf. Maka Rasulullah SAW memberi hukuman kepada Ka'ab bin Malik berupa boikot kepada Ka'ab. Artinya seluruh kaum Mukmin, termasuk keluarganya, dilarang berhubungan dengan Ka'ab, bahkan sekedar bertegur sapa atau mengucap salam. Hal ini berlaku sampai 40 hari, bahkan menurut suatu riwayat ditambah 10 hari lagi sampai turun Surat At Taubah (9) ayat 118.
   Jelas sekali perlakuan Rasulullah SAW terhadap orang yang benar- benar keislamannya, dalam contoh di atas Ka'ab bin Malik r.a, dengan orang- orang yang sekedar mengaku Islam (Islam KTP). Jadi tidak benar jika untuk mengingatkan orang yang mengaku beragama Islam yang sedang berbuat salah dengan cara pemaksaan. Lebih bijaksana jika kita tegur sesuai kualitas keislamannya.
   Tapi Rasulullah tidak tinggal diam begitu saja ketika ada pihak yang berlaku intoleran dalam beragama. Hal ini berdasar Al Qur'an Surat Al Baqarah (2) ayat 217:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ‌ الْحَرَ‌امِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ‌ ۖ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ وَكُفْرٌ‌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَ‌امِ وَإِخْرَ‌اجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ‌ عِندَ اللَّـهِ ۚ 

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ‌ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُ‌دُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْ‌تَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ‌ فَأُولَـٰئِكَ 

حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَ‌ةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ‌ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢١٧

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (217)

Ini artinya kita diperbolehkan memerangi orang- orang yang menghalangi manusia dari jalan  Allah (ibadah, dakwah, dll). Halal untuk memerangi orang yang terlebih dahulu melanggar toleransi antar agama. Tapi di sini batasan memerangi sangat jelas, yaitu jika umat Islam diganggu dalam hal agama, seperti tercantum dalam Al Qur'an surat Al Mumtahanah (60) ayat 8:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِ‌جُوكُم مِّن دِيَارِ‌كُمْ أَن تَبَرُّ‌وهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8)

Izin berperangpun turun ketika umat Islam diganggu dalam hal keyakinan mereka. Bisa kita lihat di dalam Al Qur'an surat Al Hajj (22) ayat 39-40:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّـهَ عَلَىٰ نَصْرِ‌هِمْ لَقَدِيرٌ‌ ﴿٣٩ الَّذِينَ أُخْرِ‌جُوا مِن دِيَارِ‌هِم بِغَيْرِ‌ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَ‌بُّنَا اللَّـهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ 

اللَّـه النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ‌ فِيهَا اسْمُ اللَّـهِ كَثِيرً‌ا ۗ وَلَيَنصُرَ‌نَّ اللَّـهُ مَن يَنصُرُ‌هُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَقَوِيٌّ 

عَزِيزٌ ﴿٤٠
 

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (39) (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (40) 

   Dalam kasus peperangan yang lain, peperangan terjadi karena pelanggaran salah satu pihak terhadap kesepakatan yang melibatkan pihak- pihak tersebut, yang biasanya dalam perjanjian itu tertulis bagi yang melanggar perjanjian berhak untuk diperangi.
   Maka, salah besar jika ada yang beranggapan bahwa Islam itu anti toleran. Islam mengajarkan kepada umatnya agar toleran terhadap penganut agama lain dengan batas- batas yang sangat jelas. Tidak ada paksaan dalam beragama, bahkan ketika umat Islam berkuasa penuh.

Allahu a'lam bishshawab.
 

Kamis, 07 Maret 2013

Bershalawat Ingin Masuk Syurga

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

BERSHALAWAT INGIN MASUK SYURGA

Tradisi Baru
   Pada waktu saya cuti Bulan Desember lalu, saat menjelang sholat Jum'at di masjid dekat rumah mertua saya, ada sesuatu yang baru yang belum saya temui sebelumnya. Salah seorang dari jamaah yang hadir mengkomando seluruh jamaah untuk mengumandangkan sholawat (saya lupa nama shalawatnya) sebanyak 80 kali supaya dosa- dosa kita selama 80 tahun diampuni oleh   اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Kemudian secara berjamaah para jammah sholat Jum'at membaca bersama- sama. Shalawatnya berbunyi seperti ini: Allahumma shalli 'ala Muhammad abdika wa rasulikan nabiyyin ummiyyin.

Cara Mudah Masuk Syurga
   Jika seandainya shalawat kita diijabah oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى maka kita bisa membuat perhitungan seperti ini: dosa kita sudah diampuni selama 80 tahun. Kita hitung umur kita: orang zaman sekarang rata- rata meninggal dunia antara usia 70- 80 tahun. Kalau kita hitung dari aqil baligh, kira- kira umur 9 tahun, maka kemungkinan dosa kita yang tercatat adalah sepanjang 61- 71 tahun. Berarti masih ada surplus 9- 19 tahun dosa kita diampuni oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Jadi untuk menjadikan timbangan amal kebaikan kita lebih berat dari amal kejahatan kita, cukup dengan bersedekah 500 rupiah, dan kita sudah bisa masuk syurga. Kan timbangan amal keburukannya sudah kosong. Ya, kan? Ternyata murah sekali ya tiket ke syurga itu, hanya dengan Rp 500,- dan bershalawat 80 kali yang memakan waktu kurang dari 15 menit, kita sudah bisa menikmati bidadari- bidadari, minuman anggur, susu, buah- buahan, tak ada terik matahari, dan segala kenikmatan super lainnya, lebih murah dari harga plembungan (balon). Tak perlu repot- repot menahan diri dari hawa nafsu, toh dosa kita sudah diampuni, malah nyisa lagi jatah pengampunannya. Sebegitu mudahkah cara masuk syurga? Nanti dulu...

Arti Shalawat
   Shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalla, yang bisa berarti do'a, ibadah, keberkahan, kesejahteraan atau kemuliaan. Shalawat umat mukmin kepada Rasulullah SAW berarti do'a agar اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Rasulullah SAW. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa bershalawat kepada Rasulullah SAW adalah ekspresi kecintaan umatnya kepada beliau.
   Memang banyak hadits yang menyebutkan bahwa dengan bershalawat kepada Rasulullah SAW, maka kita akan mendapat balasan kebaikan yang berlipat ganda, seperti itu intinya. Yang jadi masalah adalah, adakah kita dalam bershalawat benar- benar mendo'akan Rasulullah SAW agar mendapat rahmat dan kesejahteraan dari اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ? Bukankah banyak dari kita yang bershalawat karena ingin masuk syurga? Kalau tidak diiming- imingi pengampunan dosa atau mendapat pahala, akankah kita mengekspresikan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW? Dan, sudahkah kita benar- benar mencintai beliau?

Menshalawati Diri Sendiri, Bukan Nabi
   Kalau kita bershalawat karena mengharap pahala, atau diampuni dosa kita, kemudian karena itu kita masuk syurga, tanpa benar- benar dalam hati dan kesadaran kita mendo'akan Nabi SAW, bukankah itu sama dengan 'memanfaatkan'  Nabi untuk bisa masuk syurga? Sedangkan ekspresi cinta kita kepada Nabi SAW melalui shalawat, belum tentu menjadi bukti kecintaan kita terhadap beliau.
  Shahabat Anas bin Malik r.a pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, kira- kira seperti ini " ya Rasulullah, aku sangat mencintai anda, aku senang karena bisa berkumpul dengan engkau. Tapi apakah di akherat nanti aku bisa berkumpul dengan engkau seperti sekarang ini?" Kemudian Rasulullah SAW menjawab,"di akherat orang akan berkumpul dengan yang dicintainya." Mendengar jawaban itu, Anas bin Malik r.a pun sampai menangis karena bahagia.
   Rasa cinta bisa diungkapkan dengan kata- kata, tapi yang lebih penting adalah bukti melalui amal kita. Seorang laki- laki bisa dengan mudah menyatakan cinta kepada seorang wanita. Tapi ketika laki- laki tersebut tidak mau menuruti keinginan sang wanita, maka pastilah wanita itu menganggap cintanya tidak sungguh- sungguh. Demikian pula cinta kita kepada Nabi SAW, jika kita tidak mau mengikuti sunah beliau yang beliau wajibkan untuk kita ikuti, tentu kita dipandang tidak sungguh- sungguh dalam mencintai beliau, bahkan bisa jadi tidak cinta sama sekali.
   Shalawat kita kepada Nabi SAW akan membantu kita secara otomatis ketika kita lantunkan dengan kesadaran bahwa Nabi SAW memang layak kita cintai karena jasa beliau, karena keagungan beliau. Dengan rasa cinta kita yang kita ekspresikan dengan shalawat nabi, dan kita refleksikan dalam bentuk mengikuti sunah beliau, maka balasan berlipat ganda itu akan kita terima dengan sendirinya.
   Jadi ketika shalawat hanya kita jadikan 'passwords' untuk bisa masuk surga, maka tujuan shalawat yang kita lantunkan tidak tercapai. Kita selalu mengupamakan Rasulullah SAW sebagai bejana kebaikan yang sudah penuh, jika kita mendo'akan beliau, maka kebaikan itu akan tumpah dan kembali kepada kita sendiri. Kalau begitu, untuk siapa kita bershalawat, untuk Nabi SAW atau untuk diri kita sendiri? Jangan sampai shalawat yang kita lantunkan hanya sekedar menjadi 'rayuan gombal' sedangkan bukti kecintaan kita kepada Nabi SAW tidak kita refleksikan dengan benar.

Allahu a'lam bishshawab.

Senin, 04 Maret 2013

Sudah Menolong Allah, Atau Baru Menolong Diri Sendiri?

  بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

SUDAH MENOLONG ALLAH, ATAU BARU MENOLONG DIRI SENDIRI?

   Sering kita melakukan ibadah seperti apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Kita berusaha melakukannya dengan sebaik- baiknya, tentu saja. Kita berharap اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى meridhoi kita sesuai tujuan ibadah kita. Dan insya Allah pahala akan mengalir kepada kita.
   Tapi apakah pernah kita merenungkan, apakah manfaat ibadah kita dirasakan juga oleh orang lain, atau hanya kita sendiri yang merasakannya. Sudah pasti jika kita melaksanakan sholat, kita akan merasa tenteram. Jika kita melaksanakan wiridan, maka beban hidup serasa lepas. Dan sebagainya. Namun seperti yang sudah kita ketahui, Islam tidak hanya mengajarkan untuk beribadah untuk kepentingan diri sendiri. Orang lain pun mempunyai hak untuk merasakan hasil ibadah kita. Contoh sederhananya adalah اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىmenganjurkan kita untuk bershadaqah. Tentu orang yang menerima shadaqah kita akan ikut merasakan hasil ibadah kita, salah satunya dengan merasakan kebahagiaan. Semakin banyak orang yang kita beri shadaqah, maka luasan ibadah kita pun bertambah.
   Ada beberapa tingkatan dalam beribadah, jika kita kategorikan secara luasnya pengaruh ibadah kita terhadap orang lain, bahkan bisa juga terhadap yang bukan manusia. Tidak perlu perpikir rumit, karena penggolongan ini sama saja dengan posisi kita sebagai makhluk sosial.
  1. Ibadah untuk diri sendiri.
  2. Ibadah untuk keluarga.
  3. Ibadah untuk masyarakat (dari tingkat tetangga sampai seluruh dunia).
  4. Ibadah untuk alam semesta.
  5. Ibadah untuk اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .
   Ibadah untuk diri sendiri sudah jelas, segala amal ibadah kita pasti akan kembali ke kita juga.

QS  45: 15
  مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۖ ثُمَّ إِلَىٰ رَ‌بِّكُمْ تُرْ‌جَعُونَ

Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabbmulah kamu dikembalikan.
Lihat juga QS 41: 46.

   Setelah kita menyelamatkan diri kita, maka  menyuruh kita untuk menyelamatkan keluarga kita, artinya dengan menyelamatkan keluarga kita dari api nerakapun merupakan ibadah yang wajib kita lakukan.
 QS 66: 6


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارً‌ا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَ‌ةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّـهَ مَا أَمَرَ‌هُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا 

يُؤْمَرُ‌ونَ






Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

   Islam adalah agama sosial, banyak sekali perintah- perintah untuk memperhatikan sesama manusia, khususnya terhadap sesama muslim. Hal ini tercermin dalam kewajiban- kewajiban kita untuk bershadaqah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, memberi perlindungan kepada orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslim, dan terutama saling menolong sesama muslim. Bahkan oleh  اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kita divonis celaka jika kita menelantarkan anak yatim dan orang miskin, meskipun kita sholat dengan baik.
QS 107: 1-7

أَرَ‌أَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١

فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤

الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥

الَّذِينَ هُمْ يُرَ‌اءُونَ ﴿٦

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿٧

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.   

Dalam surat Al Ma'uun di atas sudah mulai jelas bahwa ibadah untuk diri sendiri ternyata tidak ada manfaatnya jika tidak dibarengi dengan ibadah untuk kepentingan sesama. Bahkan divonis celaka, ada juga yang nengartikan 'wayl' dengan  Neraka Wayl. Naudzubillah, sudah sholat tapi tetap masuk neraka?

   Tingkatan selanjutnya adalah beribadah untuk kepentingan alam semesta, mencakup seluruh benda hidup dan benda mati. Ini sesauai dengan fungsi diutusnya Rasul sebagai rahmat bagi semesta alam.
QS 21: 107 

وَمَا أَرْ‌سَلْنَاكَ إِلَّا رَ‌حْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Rasulullah diutus oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebagai rahmat bagi semesta alam, begitupun para pengikutnya yang mengamalkan sunahnya akan menjadi rahmat bagi semesta alam juga. Dan ternyata memang alam inipun turut beribadah kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .
QS 22: 18

أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يَسْجُدُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْ‌ضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ‌ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ‌ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ‌ مِّنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ‌

حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَن يُهِنِ اللَّـهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِ‌مٍ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
 



Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan adzab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

  Yang terakhir adalah beribadah untuk اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Maksudnya? Ternyata kita oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى diwajibkan untuk menolongNya, dalam kosakata lain menolong agamaNya. Lho, memang اللَّـهُ سُبْحَانَهُ  وَتَعَالَى butuh kita untuk menegakkan agamaNya? Kenapa nggak اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang turun tangan? Bukannya Dia Maha Perkasa? Ya, sangat mudah bagi اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى untuk melaksanakan segala keinginanNya. Tapi itulah sunatullah. Dia berkehendak untuk menguji kadar keimanan hamba- hamba yang mengaku beriman kepadaNya.
QS 29: 2

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَ‌كُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan lihat pula QS 2: 214.

اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  menjamin, jika kita tidak berusaha menolong agamaNya, maka bisa dipastikan pengikut- pengikutnya akan musnah oleh musuh- musuh Allah. Mungkin ada yang berpikiran bahwa cukup dengan sholat, dzikir, shalawatan, maka اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menolong kita. Bagaimana kita melindungi sesama muslim jika kita tidak punya kemampuan untuk melindungi? Bagaimana kita membendung pemurtadan yang sangat marak menyerang orang- orang terdekat kita kalau kita hanya sholat, dzikir dan shalawatan. Musuh- musuh Allah telah bergerak sedemikian hebatnya dengan didukung kekuatan ekonomi, politik, sistem, dan mungkin di luar negeri sampai dengan kekuatan senjata. Apakah kita masih merasa cukup hanya dengan sholat, dzikir dan shalawatan, sedangkan masalah kemaslahatan sesama muslim kita serahkan sepenuhnya kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ?
   Maka ada baiknya jika kita kaji QS 22: 40

الَّذِينَ أُخْرِ‌جُوا مِن دِيَارِ‌هِم بِغَيْرِ‌ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَ‌بُّنَا اللَّـهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّـهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ

يُذْكَرُ‌ فِيهَا اسْمُ اللَّـهِ كَثِيرً‌ا ۗ وَلَيَنصُرَ‌نَّ اللَّـهُ مَن يَنصُرُ‌هُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Allah akan menolong orang yang menolong (agama)Nya. Maka logikanya sangat mudah, jika kita ingin ditolong oleh Allah, maka kita harus menolong (agama)Nya. Kalau tidak, seperti isi ayat di atas, maka akan hancurlah rumah- rumah ibadah, meskipun penghuninya rajin menyebut nama Allah (beribadah secara verbal/ ritual saja). Maka jika rumah- rumah ibadah sebagai simbol eksistensi penganutnya sudah hancur, tinggal menunggu hancurnya para penganut agama tersebut.

Allahu a'lam bishshawab.