Minggu, 07 Juli 2013

Rukyah dan Hisab, Kenapa Harus Berbeda?



بِسْمِ اللَّـهِ الرَّ‌حْمَـٰنِ الرَّ‌حِيمِ

 RUKYAH DAN HISAB, KENAPA HARUS BERBEDA?

   Menyambut Ramadhan, bulan mulia dan penuh kemuliaan. Setiap orang tidak sabar menanti datangnya bulan baru, tanggal 1 Ramadhan. Sayangnya sudah berkali- kali suasana menjelang bergantinya bulan ini terusik oleh perselisihan tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan. Sudah pasti hal ini sangat menggangu perasaan Umat Islam, terlebih bagi mereka yang berada dalam pihak 'hanya mengikuti keputusan' yang berharap agar mereka melakukan ibadah puasa tanpa keraguan.
   Sudah umum kita pahami bahwa perbedaan itu, katanya akibat dari perbedaan metode penentuan, yaitu metode rukyah (melihat hilal dengan mata) dan hisab (melihat hilal dengan perhitungan). Namun rasanya aneh jika hanya karena masalah itu yang menjadi penyebabnya. Hal ini dirasakan karena hampir setiap penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, maupun 1 Zulhijjah terjadi perbedaan. Di sini penulis hanya mencoba memaparkan hal- hal dibalik penetapan tanggal- tanggal di atas, yang mungkin mempengaruhi mempengaruhi hasil pengamatan atau perhitungan.

Metode Rukyah

   Metode ini adalah metode yang dipakai oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pada masa itu menurut para ahli sejarah, Bangsa Arab belum menggunakan hitungan dalam menentukan pergantian bulan. Hal ini terekam juga dalam beberapa hadits (contohnya hadits Bukhari no. 931). Maka metode yang digunakan adalah melihat hilal. Jika cuaca menghalangi hilal, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari (hadits Bukhari no. 928). Jika ada salah seorang yang berhasil melihat hilal, maka cukup untuk menjadi dalil penetapan pergantian bulan ini.
   Kelebihan dari metode ini adalah Rasulullah SAW menggunakannya. Kelemahannya adalah sangat terpengaruh oleh cuaca, serta kejelian orang yang melakukannya.
   Namun di sini saya ingin sedikit memberi komentar. Rasanya tidak bisa dibilang konsisten, orang yang ketika menentukan pergantian bulan dengan cara melihat kejadian alam, namun ketika menetapkan waktu sholat tidak pernah mengamati posisi matahari, yang juga merupakan kejadian alam. Saya yakin dulu di jaman Rasulullah SAW ketika hendak mengumandangkan azan, mereka memastikan bahwa posisi matahari telah berada dalam posisi waktu sholat terkait. Hal ini hampir tidak pernah saya temui selama hidup saya. Bisa dipastikan muazin- muazin sekarang ini cenderung melihat jadwal sholat dan jam.
   Maka sangat bagus jika selain mengamati hilal menjelang pergantian bulan, kita juga mengamati posisi matahari ketika hendak mengumandangkan azan.

Metode Hisab

   Metode hisab adalah menghitung bulan menggunakan sains. Bisa dari hasil pengamatan hal yang terus berulang, maupun menggunakan ilmu astronomi yang lebih modern. Hal ini mudah saja dilakukan, karena perhitungan jumlah hari dalam satu bulan terus berulang dan berselang- seling saja antara 29 dan 30 hari (seperti tertuang dalam hadits Bukhari no. 931). Hal ini juga di-cross check dengan pengamatan satelit.
   Kelebihan dari metode ini adalah bisa menentukan tanggal 1 setiap bulan jauh- jauh hari sebelumnya, bahkan bertahun- tahun sebelum dan juga setelahnya. Dan satu lagi kelebihannya adalah tidak bergantung pada cuaca. Kelemahannya adalah Rasulullah tidak memakai metode ini.
   Jika pengambilan ketetapan dikembalikan pada prinsip bahwa suatu peraturan/ hukum ditetapkan untuk mengambil mashlahat sebanyak- banyaknya dan meninggalkan mudharat sebanyak- banyaknya, maka rasanya metode ini tepat jika diterapkan. Salah satu mashlahatnya adalah Umat Islam mengetahui jauh- jauh hari kapan bulan berganti, sehingga bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dengan sistem rukyah, umat masih menunggu kabar sampai malam. Seperti yang terjadi di Qatar ini, dengan sistem rukyah biasanya pengumumannya baru sampai kepada umat setelah sholat Isya. Satu hal lagi yaitu tidak perlu menyebar orang banyak pada malam pengamatan, karena sudah ditetapkan sebelumnya oleh tim kecil.

Hal Lain Yang Mungkin Mempengaruhi Penetapan.

   Pada akhirnya, biasanya satu pihak akan memulai berpuasa, atau merayakan hari raya bersamaan dengan Umat Islam yang tinggal di Mekah. Dan satu pihak lagi akan melaksanakan hal sama 1 hari setelah Umat Islam di Mekah melaksanakannya. (Hal ini mengesampingkan Umat Islam yang melaksanakan puasa atau merayakan hari raya dengan selisih 2 hari atau lebih). Kira- kira ada apa di balik perbedaan ini? Bagi yang penetapan awal bulannya sama dengan pemerintah Saudi, maka hal ini tidak akan memunculkan perdebatan.
   Ada sekelompok Umat Islam yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka tidak sudi memakai peraturan yang ditetapkan oleh kaum kafir. Jika kaum kafir menetapkan bahwa awal dimulainya hari (pukul 00:00) adalah dari daerah mereka (Greenwich), maka kelompok ini bercita- cita mengubah standardnya menjadi Mekahlah patokan waktu sedunia. Pengaruhnya adalah Mekah akan mengalami pergantian hari pertama kali dibanding wilayah lain (segaris bujur). Artinya pada saat maghrib di Mekah, maka Mekah sudah berganti hari dari Selasa ke Rabu, sedangkan wilayah yang lain termasuk Indonesia pada saat yang sama masih hari Selasa (dalam hitungan kalender yang berlaku sekarang sudah hari Rabu).
   Dengan ide ini, maka wilayah Indonesia akan berada "di belakang" negara Saudi Arabia (Mekah). Akibatnya, meskipun berada di lebih timur dari Mekah yang boleh dikatakan melihat terbitnya matahari dan bulan terlebih dahulu, namun tetap tertinggal 1 hari dari Mekah. Maka ketika Saudi memulai puasa hari Selasa, maka negara- negara itu, termasuk Indonesia, memulainya pada hari Rabu berdasar kalender yang berlaku saat ini. Dalam pandangan orang- oarang idealis di atas, hari itu tetaplah hari Selasa.
   Sedangkan kelompok lain memakai standard bahwa benua yang dihuni sebagian besar manusia ini sambung menyambung dari timur ke barat. Dimulai dari Kepulauan Indonesia sampai ke pantai barat Afrika, kemudian di sebelah baratnya Benua Amerika yang terpisah oleh Samudera Atlantik. Jika dibandingkan, Samudera Pasifik lebih lebar dibanding Samudera Atlantik. Maka layak jika dianggap bahwa tempat terbit matahari adalah dari Samudera Pasifik. Maka hitungan haripun selayaknya dimulai dari kepulauan Indonesia. Hal positif dari standard ini adalah daerah berpenghuni yang termasuk mengalami pergantian hari paling lambat (pantai barat Benua Amerika) berjarak sangat jauh dengan daerah berpenghuni tempat dimulainya perhitungan hari (negara- negara di Asia Timur).
   Pengaruhnya Indonesia mengalami pergantian hari lebih awal dari negara- negara di sebelah baratnya, termasuk Mekah. Maka orang yang tinggal di Indonesia bertemu tanggal 1-nya pun menjadi paling awal. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan puasa dan Sholat 'Id di Indonesia berada dalam hari yang sama dengan Mekah, hanya berselisih hitungan jam saja. Dan karena Mekah termasuk berada di pertengahan, maka selisih waktu antara Mekah dan daerah- daerah lainpun tidak terlalu jauh, tidak sampai 12 jam. Berbeda dengan standard yang dibahas sebelumnya yang selisih waktu antara Mekah dan Jakarta bisa mencapai 19 sampai 20 jam (dengan standard waktu sekarang), apalagi Mekah dengan Afghanistan.

Pilih Yang Mana?

   Maka jika memang yang menjadikan perbedaan awal Bulan Ramadhan, Syawal, maupun Zulhijjah adalah soal idealisme standard semata, silahkan anda pilih sesauai idealisme anda. Yang patut dikhawatirkan adalah jika ternyata di balik perbedaan ini ada unsur kesengajaan untuk membuat Umat Islam resah. Kita semua tahu bahwa dengan perbedaan ini musuh- musuh Islam bersorak kegirangan. Dan mereka dengan segala daya upayanya terus mengganggu ketenangan Umat Islam dan membuat kekacauan. Bahkan banyak pula yang mengaku Islam namun tingkah lakunya merusak Islam. Mereka berharap dengan gamangnya Umat Islam melakukan ibadahnya, maka akan mudah diserang sisi aqidahnya.
   Menurut hemat saya perbedaan yang meresahkan tetap harus dihilangkan. Dan itu bukan hal yang mustahil. Jika anda membaca posting sebelumnya yaitu "Jika Satrio Piningit Muncul" maka Insya Allah anda akan menemukan solusi untuk masalah ini.

Allahu a'lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar