بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
TERORISME DI INDONESIA, SIAPA YANG TERTEROR?
Beberapa tahun belakangan ini isu teror bom sering menghiasi berita di berbagai media massa di negeri kita. Sejak terjadinya kasus bom Bali 12 Oktober 2002, seolah- olah teror bom terus menjadi bahan berita yang hadir dari waktu ke waktu, sampai kasus di Solo yang belum lama ini berlalu. Dan bukan menjadi rahasia lagi bahwa pelaku teror tersebut selalu dikaitkan dengan sekelompok orang yang oleh pihak berwenang diidentifikasi sebagai penganut agama Islam. Dan secara khusus mereka menuding sebuah pondok pesantren.
Tentu banyak pertanyaan tentang siapa sebenarnya pelaku teror tersebut, apa motifnya, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang berpendapat seandainya memang pelaku teror itu orang Islam, maka mereka itu sebenarnya tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar, atau salah dalam memahami ajaran Islam. Atau bisa jadi pelakunya hanya mengaku- aku beragama Islam untuk menodai citra Agama Islam. Kita masih menunggu yang sebenarnya.
Kalau kita lihat sasaran teror- teror yang telah terjadi, maka kita tidak akan menemukan secara khusus siapa atau apa target teror tersebut. Jika kita simpulkan bahwa targetnya adalah orang- orang yang gemar hura- hura, maka cara yang ditempuh mestinya tidak akan mencelakai orang yang tidak suka berhura- hura. Tapi kenyataannya korban yang jatuh tidak pandang bulu, baik yang sedang hura- hura atau yang kebetulan melintas di dekat TKP. Begitu pula kasus yang lain, selalu terjadi di tempat umum yang besar kemungkinan tidak hanya orang non muslim yang ada, tapi sangat mungkin ada orang Islam juga di tempat itu. Apalagi jika kita lihat kasus penembakan polisi di Solo, maka sangat jauh dari target itu.
Maka kita lihat apa efeknya sekarang terhadap masyarakat. Kelompok masyarakat mana yang terteror dengan adanya aksi- aksi teror yang telah berlalu. Apakah orang yang gemar pergi ke diskotik atau ke tempat maksiat lain akan berpikir kalau- kalau tempat yang akan dikunjunginya nanti akan dibom? Saya rasa jangankan berpikir ke situ, berpikir kalau- kalau dirinya akan mati karena overdosis, atau kecelakaan saat pulang dari tempat maksiat karena mengemudi dalam keadaan mabuk-pun mereka tidak memusingkannya. Apalagi tempat maksiatnya dibom orang, kemungkinannya jauh lebih kecil dibanding resiko overdosis atau kecelakaan lalulintas.
Bagaimana dengan pihak yang bergantung banyak pada industri pariwisata? Saya sempat ngobrol dengan teman saya pemilik agen penjualan tiket bus di Terminal Bus Umbulharjo Yogya (waktu itu terminalnya masih belum pindah) beberapa waktu setelah terjadinya bom Bali, dia mengeluh bahwa penjualan tiket bus ke Denpasar turun drastis. Tapi tidak sampai berselang 1 tahun, kondisinya sudah jauh membaik. Dan kita semua pun tahu bahwa memang dalam waktu yang relatif singkat periwisata di Bali sudah pulih seperti sebelum kasus bom Bali tersebut.
Bagaimana dengan pihak yang bergantung banyak pada industri pariwisata? Saya sempat ngobrol dengan teman saya pemilik agen penjualan tiket bus di Terminal Bus Umbulharjo Yogya (waktu itu terminalnya masih belum pindah) beberapa waktu setelah terjadinya bom Bali, dia mengeluh bahwa penjualan tiket bus ke Denpasar turun drastis. Tapi tidak sampai berselang 1 tahun, kondisinya sudah jauh membaik. Dan kita semua pun tahu bahwa memang dalam waktu yang relatif singkat periwisata di Bali sudah pulih seperti sebelum kasus bom Bali tersebut.
Lalu siapa lagi? Apakah pemerintah, tentara, atau polisi? Bagi pemerintah (dengan mengabaikan prasangka buruk sebagian masyarakat pada pemerintah) hal tersebut bisa disebut wajar, tentu ada orang yang senang dan ada yang tidak senang. Bagi polisi atau tentara, tentu sebelum mendaftarkan diri sebagai pelindung masyarakat mereka sudah tahu resiko yang dihadapi, teroris adalah salah satunya. Bahkan mereka berani bilang, kalau takut peluru nggak usah jadi tentara atau polisi.
Siapa lagi, musuh masyarakat mungkin, sebutlah koruptor. Seingat saya tidak ada korban dari terduga kasus korupsi diantara korban- korban teror tersebut. Seluruh korban bisa disebut sebagai orang awam atau rakyat jelata, meskipun warga negara asing.
Tapi jika kita cermati dari obrolan di sekitar tempat tinggal kita, ada satu hal yang bisa saya tangkap, yang saya simpulkan inilah efek teror- teror itu. Orang- orang mulai hilang kepercayaan terhadap para ulama, atau terhadap orang yang sekedar berakhlak baik (masyarakat biasanya menyebut sebagai 'orang alim'). Setidaknya ada sedikit rasa curiga kepada orang yang rajin ke masjid, jangan- jangan...
Lebih jauh lagi orang tua mulai berpikir berkali- kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren. Jangan- jangan nanti diajari jadi teroris, begitu kekhawatiran mereka. Akhirnya mereka menyekolahkan anaknya ke sekolah umum yang sudah pasti kadar pendidikan Agama Islamnya jauh di bawah sekolah- sekolah Islam, Madrasah, atau pondok pesantren. Secara tidak langsung mereka menjauhkan, atau setidaknya memberi jarak anak mereka dengan ilmu Agama Islam. Ini terbukti ketika anak saya yang bersekolah di SDIT kelas 1 mendapat pelajaran tentang komputer dan bagian- bagiannya, serta cara kerja mesin ATM, maka orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah umum berkomentar dengan serius, "wah awas tuh, nanti lama-lama diajari bikin bom." Dan saya yakin banyak pula cerita serupa. Silahkan anda survey masyarakat sekitar anda, niscaya anda berkesimpulan yang sama dengan saya.
Menurut saya masyarakat muslimlah yang merasakan teror lebih dalam. Mereka malah berprasangka buruk dengan orang yang rajin beribadah, orang yang justru semestinya bisa dipercaya. Kalau orang baik- baik mereka jauhi, mau bergaul dengan siapa lagi? Mereka ketakutan untuk menyekolahkan anak- anak mereka ke lembaga pendidikan Islami. Padahal perbaikan akhlak hanya akan tercapai jika anak- anak kita mendapat ilmu agama yang cukup. Dan perasaan demikian ini bertahan dalam waktu yang lama, bahkan mungkin makin lama makin terasa. Bandingkan dengan efek bom Bali terhadap kondisi pariwisata di Bali, mungkin hanya sekitar 1 tahun. Perhatikan juga efek bom di Hotel Marriott, bom dan penembakan di Solo, semua hanya terasa sebentar. Jika kondisinya demikian, pihak mana yang diuntungkan, kita sudah tahu.
Tapi mari kita ambil pelajarannya. Tentu kita tidak boleh membiarkan anak kita jauh dari ilmu Agama Islam. Tapi jangan sampai pula anak kita terjerumus kedalam hal yang tidak kita inginkan. Di sinilah peran kita sebagai orang tua dituntut lebih waspada. Orang tua seyogyanya mengerti ilmu agama pula, sehingga mampu memilah dan memilih lembaga pendidikan mana yang benar- benar mengajarkan Agama Islam yang sesungguhnya. Kita tidak bisa melepaskan anak kita begitu saja kepada pihak sekolah, madrasah, maupun pesantren. Kita harus aktif mengontrol anak- anak kita. Jika menurut kita ada penyimpangan dari tingkah laku anak kita, atau pelajaran yang dia terima, kita bisa segera menentukan sikap. Dan tanpa memahami ilmu agama, mustahil kita bisa mengontrol anak kita dengan baik. Inilah tantangan kita saat ini.
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّـهُ ۖ وَاللَّـهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
(QS Ali Imran 3:54)
Allahu a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar