ILMU YANG BERTINGKAT (PRAKATA)
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillahi rabbil 'lamin, puji syukur saya panjatkan kehadirat اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNYA kepada kita, dan memberi ijin atas terbinya blog ini.
Shalawat dan salam juga kita pajatkan untuk junjungan kita, Rasulullah مُحَمَّدٍ SAW sebagai uswatun hasanah untuk kita semua.
Mungkin banyak yang berkomentar mengatakan saya lancang karena berani menulis tentang agama. Tulisan agama selama ini menjadi hal yang sakral, yang hanya boleh diutarakan oleh orang- orang yang berilmu tinggi dalam bidang agama, nahwu sharafnya, asbabun nuzulnya, shirohnya, sanadnya, perawinya, dan lain- lain. Intinya orang yang akan mengutarakan masalah agama haruslah mempunyai kemampuan yang hanya bisa dicapai dengan belajar dalam waktu yang sangat lama.
Yang jadi masalah adalah Rasulullah SAW telah memberi amanat kepada setiap diri kita untuk menyebarkan Islam walaupun sekedar satu ayat. Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Bagi orang semacam saya yang sudah terlanjur berumur dan tidak mungkin kembali lagi, dan ingin sekali berpartisipasi dalam syiar Islam, tentu akan sangat kesulitan untuk memulai belajar dari nol dan kemudian entah berapa tahun lagi untuk sekedar boleh menyampaikan yang satu ayat itu.
Terus bagaimana? Akhirnya saya beranikan diri mengemukakan apa yang selama ini saya dapat dari hasil mengaji melalui berbagai cara. Apa nggak takut salah? Ya ada pemikiran mungkin sekali apa yang saya sampaikan salah, tapi justru itulah kenapa saya sampaikan, biar kalau ada yang lebih tahu bisa mengoreksi, tidak tersimpan di dalam hati dan otak saya sebagai sesuatu yang salah. Karena sesungguhnya ilmu jika diberikan justru akan bertambah banyak. Inilah yang menjadi dalil saya. Mudah- mudahan اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menunjukkan yang lebih benar.
Saya hanya sekedar menyampaikan yang saya tahu, yang saya pahami. Misalkan yang saya tahu bahwa matahari itu lebih terang dari bulan, maka itu yang saya katakan, tidak lebih. Karena hanya itu pengetahuan saya. Seandainya ada orang yang mau menambahkan lebih detail, silahkan dan terima kasih. Pun jika misalnya menurut penelitian apa yang saya katakan salah, kalau saya tidak mempunyai bukti untuk menolak, ya tidak akan saya tolak.
Ada suatu sistem yang biasa dipakai dalam belajar membaca Al Qur'an, yaitu metode Iqra'. Biasanya jika ada sebuah majelis tempat belajar Al Qur'an, sebutlah TPA, dengan murid yang banyak dan guru yang terbatas, maka akan dilakukan sistem belajar- mengajar. Artinya santri yang sudah lancar Iqra' 3 diminta untuk mengajari santri yang baru masuk Iqra' 1, yang lancar Iqra' 5 mengajari yang mulai belajar Iqra' 3, dan seterusnya. Tidak perlu menunggu sampai santri fasih membaca Al Qur'an lengkap dengan ilmu tajwid baru boleh mengajar santri yang baru mulai belajar Iqra' 1. Ini bagus dan efektif.
Ada suatu sistem yang biasa dipakai dalam belajar membaca Al Qur'an, yaitu metode Iqra'. Biasanya jika ada sebuah majelis tempat belajar Al Qur'an, sebutlah TPA, dengan murid yang banyak dan guru yang terbatas, maka akan dilakukan sistem belajar- mengajar. Artinya santri yang sudah lancar Iqra' 3 diminta untuk mengajari santri yang baru masuk Iqra' 1, yang lancar Iqra' 5 mengajari yang mulai belajar Iqra' 3, dan seterusnya. Tidak perlu menunggu sampai santri fasih membaca Al Qur'an lengkap dengan ilmu tajwid baru boleh mengajar santri yang baru mulai belajar Iqra' 1. Ini bagus dan efektif.
Menurut riwayat, Rasulullah SAW mengutus beberapa orang ke Kampung Bani Quraidhah. Beliau berpesan,"hendaklah kalian sholat ashar di Bani Quraidhah". Dalam perjalanan, masalah timbul ketika waktu Ashar tiba, dan diperkirakan mereka akan sampai di Kampung Bani Quraidhah setelah Maghrib. Sebagian orang berpendirian mereka akan tetap melaksanakan sholat Ashar di Kampung Bani Quraidhah sesuai pesan Rasulullah SAW. Mereka memegang teguh prinsip "sami'na wa 'atho'na". Sedangkan sebagian lagi mengerjakan sholat Ashar di tengah perjalanan, karena berpegang pada sabda Nabi SAW "sholatlah pada waktunya". Dan mereka pun memaknai pesan Rasulullah SAW "hendaklah kalian sholat ashar di Bani Quraidhah" sebagai isyarat bahwa mereka diminta berjalan ke Kampung Bani Quraidhah dengan segera. Ketika hal ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau membenarkan kedua- duanya. Inilah contoh memahami dengan tingkatan ilmu yang berbeda. Asal ada dalilnya yang kuat, boleh saja.
Contoh lain dalam perang penaklukan Danaskus. Alkisah Khalifah Umar ibnu Khattab r.a mencopot jabatan Khalid bin Walid dari jabatan panglima perang dan digantikan oleh Ibnu Ubaidah bin Al- Jarrah. Banyak anggota pasukan yang tidak setuju dengan kebijaksanaan sang Amirul Mu'minin, dan mereka memprovokasi Khalid bin Walid untuk tidak turun dari jabatannya. Tapi apa komentar Khalid bin Walid? Beliau menjawab dengan singkat,"aku takut kepada Tuhannya Umar". Sebagian orang menerima perkataan Khalid bin Walid dengan asumsi bahwa Khalid bin Walid ini benar- benar orang yang beriman, sehingga hanya takut kepada اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى saja. Sedangkan sebagian orang yang lebih tinggi ilmunya berpikir,"ya, jika اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ridho, siapapun pemimpinnya akan menang, jika tidak ridho, maka siapapun pemimpinnya akan kalah. Jika kita tidak menerima keputusan Amirul Mu'minin, maka kita tidak akan diridhoi oleh اللَّـهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى". Ada dua tipe penerimaan, sesuai kadar keilmuan masing- masing, tapi dua- duanya benar.
Untuk itu saya berharap agar kita menghormati perbedaan pandangan, asal masih di jalur jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar